• Opini
  • Tragedi Eva Eryani dan Dehumanisasi Bandung Kota HAM

Tragedi Eva Eryani dan Dehumanisasi Bandung Kota HAM

Dan yang dilakukan oleh Pemkot Bandung dalam tindakannya menggusur bedeng terakhir yang bertahan di Tamansari adalah pelanggaran atas hak asasi manusia.

Akbar Adi Benta

Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan (Unpas) Bandung.

Pagar seng pembatas antara rumah deret Tamansari dan rumah Eva Eryani, Bandung, Rabu, 18 Oktober 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

19 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Opini ini adalah tulisan yang sempat tertunda ketika saya masih berkuliah dulu. Sempat terpikir untuk tidak meneruskan tulisan opini ini. Sampai pada suatu sore, di hari Rabu 18 Oktober 2023. Saya mendapat informasi yang mengabarkan bahwasanya rumah bedeng terakhir yang bertahan di Tamansari, sudah habis hangus dibakar oleh Satpol PP, sekumpulan ormas, dan warga yang diadu domba dengan pemilik rumah bedeng itu.

Rumah itu adalah rumah Eva Eryani Evendi, seorang wanita berusia 53 tahun yang tangguh, gigih, berjuang menuntut keadilan kepada pemerintah kota yang sudah mengambil ruang hidupnya pada 5 tahun lalu.

Tapi, sepertinya pemerintah kota terlalu pengecut untuk berhadapan langsung dengan wanita luar biasa itu. Hingga akhirnya, Rabu 18 Oktober 2023 Pemkot harus mengadu domba Eva Eryani Evendi dengan warga yang juga korban penggusuran Tamansari RW 11. Warga Tamansari yang melawan Eva adalah warga yang sudah kadung pro terhadap rumah deret, yang pembangunannya sudah setengah jalan itu.

Akhirnya, Eva harus menyaksikan rumah bedengnya terbakar tepat di depan mata kepalanya sendiri. Untuk kedua kalinya – setelah tragedi 12 Desember 2019 – Eva kembali kehilangan ruang hidupnya.

Selanjutnya, pukul setengah delapan malam di hari yang sama. Dengan dukungan warga dan solidaritas dari Dago Elos. Eva Eryani Evendi melakukan jumpa pers di Dago Elos. Isi dari jumpa pers itu mengabarkan bahwasanya ada lebih dari 50 orang Ormas (Organisasi Masyarakat) yang turut andil dalam tindakan pembongkaran paksa dan pembakaran rumah bedeng milik Eva itu.

Selain itu, Eva bersama kuasa hukumnya, Deti Sopandi , juga sempat disekap dan di jauhkan dari tim kuasa hukumnya. Dua orang dari tim kuasa hukum Eva  dipukul oleh Ormas. Tapi Polisi dan TNI yang menyaksikan pemukulan itu membiarkannya.

Saat disekap, Eva dan Deti mengalami kekerasan fisik dan pelecehan secara verbal oleh Satpol PP dan Ormas. Selama penyekapan, Ormas dan Satpol PP melakukan perusakan dan penjarahan harta benda milik Eva Eryani. Pihak BHABINKAMTIBMAS (Polisi) AIPDA Deni Novriatna dan BABINSA (TNI), menyaksikan seluruh proses tersebut. Namun, melakukan pembiaran terhadap seluruh tindak kekerasan, pelecehan seksual, perusakan serta penjarahan harta milik Eva Eryani.

Jika dilihat dari unggah akun Instagram @tamansarimelawan, semua kebengisan dan tindakan-tindakan yang biasanya dilakukan oleh bangsa kolonial dapat terlihat dengan jelas di akun tersebut.

Bahkan rekaman video rumah bedeng milik Eva yang dibakar dapat dilihat dengan jelas. Anehnya, ketika sekumpulan massa yang membakar rumah bedeng itu telah pergi, seketika saja pemadam kebakaran datang, seolah tidak terjadi apa-apa.

Konferensi pers itu ditutup dengan pernyataan sikap yang menyatakan:

  1. Mengutuk praktik adu domba yang dilakukan oleh Pemkot Bandung.
  2. Mengutuk pembiaran yang dilakukan pihak kepolisian dan TNI atas kekerasan, pelecehan, penyekapan, perusakan, dan penjarahan yang dilakukan Satpol PP dan Ormas Gema Peta.
  3. Meminta Pemerintah Indonesia untuk mencabut kewarganegaraan Eva Eryani Evendi dan meminta suaka perlindungan kepada negara lain yang lebih beradab.

Dengan hangusnya rumah bedeng milik Eva Eryani Evendi itu, bukan berarti beliau telah kalah. Sejak hanya Eva Eryani Evendi yang tersisa melawan Pemkot dan berjuang menuntut keadilan atas sengketa tanah Tamansari. Sejak itu Eva Eryani Evendi sudah menang. Beliau sudah melawan sebaik-baiknya dan dengan cara yang terhormat.

Menolak Lupa Tragedi 12 Desember 2019

Perampasan tanah biasanya terjadi karena mengutamakan kepentingan ekonomi, politik, hingga program pembangunan. Setidaknya ada dua kelompok kepentingan yang berperan sebagai aktor perampasan tanah. Aktor pertama adalah pemilik modal yang memiliki kepentingan atas lahan dan bertujuan untuk memultiplikasi kapital. Aktor kedua adalah pemerintah atau negara yang punya kuasa untuk memberikan izin serta regulasi.

Pengakuan atas kepemilikan tanah harus disertai dengan kepemilikan surat berharga, seperti sertifikat tanah dan akta tanah. Sertifikat tanah berfungsi untuk membuktikan siapa manusia yang memiliki dan berhak atas tanah yang diimpikan.

Sengketa tanah adalah hal yang mengerikan. Pasalnya, manusia bisa menghilangkan rasa kemanusiaannya demi mendapatkan tanah yang dia idamkan. Dampak dari itu, pada gilirannya tanah akan berubah kedudukannya. Dari yang mulanya anugerah Tuhan, berubah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan demi keuntungan serta kepentingan manusia.

Setiap manusia yang berada di muka bumi ini layak untuk memiliki ruang hidup. Jangankan manusia, tumbuhan dan hewan sekalipun layak untuk memiliki hak yang sama perihal ruang hidup. Lantas apa yang terjadi ketika ruang hidup manusia direnggut, atau dengan kata lain dirampok?

Petaka itu terjadi pada tanggal 12 Desember 2019. Warga Tamansari RW 11 harus kehilangan ruang hidup mereka. Rumah mereka dihancurkan persis di depan mata kepala orang dewasa dan anak-anak. Saat itu barang-barang mereka diangkut oleh ratusan anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Penggusuran rumah-rumah warga Tamansari RW 11 itu terjadi karena Pemkot (Pemerintah Kota) Bandung mengklaim tanah yang sudah dihuni oleh warga Tamansari sejak tahun 1958 itu adalah milik mereka. Kemudian masyarakat yang sudah tinggal selama kurang-lebih tiga generasi itu dipaksa untuk hengkang dari permukaannya.

Padahal, menurut UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa setiap masyarakat yang telah tinggal atau menggarap tanah negara bebas lebih dari 20 tahun, maka mereka berhak untuk diprioritaskan sebagai pemilik tanah tersebut. Selanjutnya, sampai rumah korban penggusuran Tamansari berubah menjadi abu, Pemkot tidak pernah menunjukkan kepada warga bukti kepemilikan sertifikat hak atas tanah Tamansari RW 11.

Waktu itu, Pemkot menawarkan warga untuk dipindahkan ke Rusunawa yang terletak di daerah Rancacili, Kota Bandung. Selain itu, Pemkot Bandung juga berjanji memberikan uang kerohiman sejumlah 20 persen dari NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) dan dijanjikan hak atas unit rumah deret.

Pemkot Bandung juga menawarkan pilihan lain berupa pemberian uang ganti rugi pada warga sebesar 75 persen dari luas tanah riil, namun tidak mendapatkan hak atas unit rumah deret.

Sekarang, di atas tanah Tamansari RW 11 sudah berdiri kokoh rumah deret – sebenarnya lebih terlihat seperti rumah susun – hasil dari proyek tender yang dimenangkan oleh PT. Sartonia Agung. Padahal, PT. Sartonia Agung sendiri termasuk dalam daftar hitam, seperti yang tercatat pada data yang diterbitkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP). Hal ini tentu menjadi kejanggalan, bagaimana bisa pemerintah Kota Bandung bersepakat menjalin kontrak dengan perusahaan yang pernah masuk dalam daftar hitam?

Baca Juga: Lagi-lagi Teror untuk Eva Eryani di Tamansari
Mempertahankan Ruang Hidup di Rumah Bedeng Tamansari
Pemkot Bandung Menggusur Satu-satunya Rumah Warga Tamansari yang Bertahan dari Proyek Rumah Deret

Tragedi 2019: Warga Melawan Rumah Digusur

Tanggal 11 Desember 2019, warga menerima SP (Surat Peringatan) yang berisikan informasi penggusuran. Namun, dalam surat tersebut tidak tertulis kepada siapa surat itu ditujukan. Begitu juga dengan identitas pengirimnya, serta tanggal berapa surat itu dibuat.

Sehari kemudian pada 12 Desember 2019. Pagi-pagi sekali. Polisi, TNI, dan Satpol PP sudah bersiap dengan barisannya. Disinyalir 2000 orang saat itu. Bentrokan tak terhindarkan ketika rumah warga dihancurkan secara paksa tepat di depan mata mereka, bahkan di depan anak-anak.

Saat katastrofe di Tamansari itu terjadi, seluruh barang-barang yang berada di rumah warga diangkut oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Tidak peduli barang itu akan rusak atau tidak, yang penting rumah harus segera dikosongkan. Karena, tugas prajurit hanyalah patuh pada perintah pimpinan.

Seluruh warga yang menolak, bersatu melindungi tempat tinggal mereka, ruang hidup mereka. Namun apalah daya, mereka hanyalah orang kecil, mimpi bisa menang melawan laskar serdadu.

Saat itu, ketika warga Tamansari sedang ditindas oleh negara sendiri. Pada saat itu kelompok solidaritas ada untuk membantu mereka. Membantu warga Tamansari RW 11 untuk mempertahankan ruang hidupnya. Mereka, kelompok solidaritas mengerti, di atas semua kepentingan, ada yang jauh lebih penting. Yaitu kemanusiaan.

Dewasa itu Tamansari mengharu-biru. Aparat memberangus orang-orang berpakaian hitam secara membabi buta, tidak peduli orang itu siapa, mungkin mahasiswa, mungkin karyawan pabrik, atau mungkin penjual gorengan, mereka tidak peduli. Selama berpakaian serba hitam, tangkap! Tidak sedikit juga dari mereka, baik warga atau solidaritas yang mendapatkan bogem mentah dari aparat.

Sempat pula beredar video amatir yang mengabadikan situasi Tamansari yang sedang dalam situasi katastrofe itu. Video amatir yang beredar memperlihatkan betapa kejamnya proses penggusuran demi ambisi program pemerintah.

Ketika Warga Menyerah, Eva Eryani Bertahan

Sekarang, persis di samping rumah susun yang terbuat dari beton itu masih tersisa satu rumah bedeng yang masih bertahan, rumah seorang pemenang, rumah yang dimiliki wanita teguh atas pendiriannya (Sebelum akhirnya dibakar pada 18 Oktober 2023). Wanita yang tidak gentar dalam memperjuangkan hak atas ruang hidupnya. Wonder Woman dunia nyata itu bernama Eva Eriani Efendi.

Bagi beliau, konflik tanah Tamansari RW 11 bukan semata-mata persoalan mencari siapa pemilik sah atas tanah tersebut. Atau persoalan hitung-hitungan mengenai siapa yang untung atau siapa yang rugi. Melainkan lebih dari itu. Bagi Eva, rumahnya yang sudah kadung hancur karena kebengisan negara itu, adalah amanah dari orang tuanya yang harus diperjuangkan hingga tuntas. Menurutnya jika dia menyerah saat ini, itu akan menjadi hutang seumur hidup.

“Kalau memang ini tanah Pemkot, kenapa masih disisakan satu bangunan?” itu yang dikatakan beliau saat saya wawancara pada hari Selasa (8/2/2022) lalu.

Alasan Pembangunan Rumah Deret

Alasan pembangunan rumah deret – yang ternyata rumah susun –  di Tamansari itu adalah untuk pemenuhan kebutuhan rumah layak huni sekaligus penanganan “kawasan kumuh” dan “pengentasan kemiskinan.”

Terdengar aneh memang. Lagi pula, apa ukuran kawasan itu kumuh atau tidak. Frasa “kawasan kumuh” seolah-olah berkonotasi bahwa rumah warga ketika sebelum dihancurkan itu tidak layak huni.

Mungkin memang benar, dengan tidak ada kawasan kumuh, kota akan bertambah cantik, dan Wali Kota akan mendapatkan pujian akan itu. Tapi, apalah arti kota yang cantik, apabila upaya mempersoleknya didapatkan dengan cara melemparkan gas air mata, memukul warga, dan perlakuan dehumanisasi lainnya sehingga meninggalkan trauma mendalam terhadap warga dan terkhusus anak-anak.

Kemudian, , impian untuk “pengentasan kemiskinan”. Tentunya ini nawaitu yang paling mulia. Tapi hasil dari nawaitu itu dapat terlihat jelas kontradiksinya dengan kondisi riil yang dialami oleh Eva Eriani.

Setelah mengalami penggusuran warga menjadi miskin, atau mungkin bertambah miskin. Warga mengalami banyak kerugian, banyak barang berharga warga yang hilang dan rusak pasca penggusuran. Warga yang sebelumnya memiliki usaha kos-kosan sebagai sumber pemasukannya, kini sumber pemasukan tersebut sirna laksana dihempas badai. Warga yang sebelumnya memiliki warung-warung kecil sebagai tempat mencari rupiah, kini warung itu tinggal kenangan. 

Rasanya butir ke dua yang tercantum di dalam Pancasila, hanya dapat menjadi dongeng pengantar tidur bagi warga Tamansari yang menjadi korban penggusuran pada saat itu. Mencoba meretrospeksi proses penggusuran yang dilakukan pada waktu itu amatlah menyakitkan. Tindakan yang dilakukan aparatur negara kala itu adalah tindakan yang sangat tidak manusiawi, tidak adil dan tidak beradab.

Maka dari itu, sudah jelas bahwa nawaitu untuk “mengentaskan kemiskinan” hanyalah rayuan gombal. Nyatanya hidup warga pasca penggusuran saat itu menjadi menderita. Saat itu untuk mengisi perut saja warga harus bergantung pada dapur umum. Alih-alih “mengentaskan kemiskinan” nawaitu tersebut lebih pantas disebut “pengentasan kemanusiaan.”

Sumber segala hukum yang ada di Indonesia ini adalah Pancasila, inilah lima dasar dari Negara Indonesia yang sudah dibuat, dibentuk, disusun, serta dirumuskan oleh para pendahulu kita. Fungsinya adalah untuk menjadi pedoman dalam menjalankan pemerintahan di negeri dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini. Maka dari itu, apa pun urgensi pembangunan yang dilakukan oleh negara, dan itu bertentangan dengan Pancasila, maka semua itu patut dipertanyakan.

Butir kedua dari Pancasila itu berbunyi: Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan ditempatkan setelah sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa. Hal ini menunjukkan bahwa rasa kemanusiaan teramat penting untuk ditanamkan dalam sistem pemerintahan bangsa ini, karena sejatinya sejak manusia lahir ke dunia, hak asasi manusia itu sudah terjamin. Dan yang dilakukan oleh Pemkot dalam tindakannya merampas ruang hidup itu adalah pelanggaran atas hak asasi manusia. Terlebih dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 tertulis bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Itu berarti seharusnya, kemakmuran rakyat di atas segala kepentingan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//