Pertempuran Mode di Era Kolonial
Saat bangsa kita masih dijajah Belanda, pakaian bukan hanya kain penutup tubuh, melainkan juga menjadi simbol status dan perlawanan.
Alda Agustine Budiono
Pemerhati Sejarah dan Pengajar Bahasa Inggris
26 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Di Jalan Braga ada sebuah bangunan putih bertingkat dekat Gedung Merdeka yang dulu selalu tertutup. Sekarang di kacanya tertulis “Filosofi Kopi” karena memang sudah menjadi coffee shop. Tidak banyak yang tahu bahwa di masa Hindia Belanda, gedung bergaya art deco ini pernah menjadi salah satu arena pertempuran mode.
Butik-butik Fashion di Bandung Baheula
Dulu, di era 1920an, tempat ini dikenal dengan nama Au Bon Marche Mode Magazijn. Nama toko diambil dari Le Bon Marche, salah satu toko terkenal di Paris. Didirikan oleh A. Makkinga pada tahun 1913, berbagai mode busana yang sedang tren di Paris pada saat itu dijual di sini. Toko ini sangat bergengsi; bisa dilihat dari iklan-iklan di berbagai majalah. Iklan itu menawarkan berbagai mode pakaian elegan bermotif bunga dari bahan sutra lembut. Untuk lebih meyakinkan calon pembeli, tertulis wij brengen steeds de laatste mode (kami selalu menyajikan mode terbaru). Zie geregeld onze etalages (Lihatlah etalase kami yang tersusun rapi). Harga baju-baju yang selangit sangat kontras dengan frasa bahasa Prancis au bon marche yang artinya “belanja murah meriah”.
Pesaing utama Au Bon Marche adalah Onderling Belang milik H. J. M. Koch yang berpusat di Amsterdam lalu membuka cabang keduanya di Bandung. Toko ini memamerkan pakaian-pakaian model paling baru di Belanda, dan berjaya antara tahun 1920an sampai 1940an, karena saat itu Bandung menjadi salah satu tujuan utama turis-turis dari Eropa.
Namun pada tahun 1945 toko ini mulai mengalami kemunduran, seiring pecahnya Perang Dunia II, kemudian tutup. Setelah itu, bangunan bekas toko digunakan oleh Kantor Poesat Djawatan Tambang dan Geologi sebagai Kementerian Pertambangan dan Energi. PT Sarinah mengambil alih gedung ini pada tahun 1960an lalu dipugar untuk menjadi pusat perbelanjaan. Sempat terbengkalai, kini eks Onderling Belang ini sudah cantik kembali, bercat putih anggun, dengan tulisan Sarinah berwarna merah di bagian depannya.
Baca Juga: Jejak Perpaduan Budaya Kuliner di Masa Hindia Belanda
Penyakit Sifilis di Bandung di Masa Kolonial
Jejak Oppa Korea dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Pakaian Sebagai Simbol Status dan Identitas
Saat bangsa kita masih dijajah Belanda, pakaian bukan hanya kain penutup tubuh, melainkan juga menjadi simbol status. Ini bisa dilihat pada Student Hidjo, novel karya Marco Kartodikromo, yang ditulisnya saat mendekam di penjara Weltevreden, Batavia, tahun 1917-1918. Di novel ini, tokoh utama Hidjo digambarkan sudah terpengaruh cara berpakaian bangsa Eropa karena menempuh ilmu di Delft, Belanda; bercelana panjang, memakai dasi, mengenakan jas dengan dua pena terselip di sakunya.
Surat kabar Kaoem Moeda edisi 25 September 1917 menulis pengalaman seorang jurnalis bernama Keok yang mengalami diskriminasi di Hindia Belanda hanya karena pakaian. Keok memesan makanan dan minuman di sebuah bioskop, dilayani oleh orang lokal. Awalnya dia mengenakan pakaian khas bumiputra; mungkin kain batik, baju lurik, dan blangkon. Orang lokal ini menolak melayani. Penasaran, dia mengganti pakaiannya dengan setelan jas gaya barat lalu kembali lagi ke bioskop tersebut. Hasilnya, si pelayan mau membawakan pesanannya. Margono Djojohadikusumo, kakek dari Prabowo Subianto, mengenang pengalamannya saat belajar di Europeeche Lagere School (ELS) pada tahun 1901. Para pelajar Jawa saat itu sering dicela kepala sekolah karena masih mengenakan kain batik dan jas tertutup, serta tidak “nyeker” alias tidak memakai alas kaki. Para siswa keturunan Indo-Eropa, yang berkulit coklat, sering dijuluki “pribumi kotor”.
Seiring dengan semakin banyaknya sekolah modern yang dibuka di Hindia Belanda (STOVIA tahun 1899), Technische Hoogere School/THS tahun 1920), dan makin banyaknya pelajar pribumi yang mengenyam pendidikan Barat, cara berpakaian pun lama kelamaan ikut berubah. Pada akhir abad ke-19, murid-murid STOVIA masih mengenakan busana tradisional. Namun, sepuluh tahun kemudian, sekitar tahun 1911, mereka telah mengenakan celana panjang dan jas putih. Para pemuda juga mulai memangkas rambut mereka dan tidak lagi memakai penutup kepala seperti blangkon.
Kees van Dijk, penulis Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan Sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi, menulis bahwa memakai pakaian ala Barat sama dengan melangkah ke alam dunia Eropa, tidak bisa dibedakan apakah seseorang adalah pribumi, Indo, atau Belanda totok. Hal ini juga menunjukkan bahwa seseorang sudah menjadi modern dan menentang nilai-nilai tata krama dan etika yang dianut oleh kaum elite tradisional. Bahkan mengenakan busana tradisional sering dianggap merendahkan diri sendiri. Presiden Soekarno bahkan mengutuk penggunaan sarung sebagai pakaian sehari-hari. Sarung dianggapnya sebagai pakaian kuno inlander yang merendahkan. Dengan mengenakan pantalon (celana panjang) maka orang Indonesia berdiri tegak layaknya Eropa.
Namun ada juga yang kurang setuju dengan gaya berpakaian kebarat-baratan ini. R.M. Soetatmo Mangoenkoesoemo dalam surat kabar Der Indier bertanya “Apakah jas yang baik membuat seseorang tampil baik?” Menurutnya, orang Jawa berpakaian seperti orang Eropa hanya supaya mendapat perlakuan yang lebih baik dan tidak dicibir oleh orang Belanda. Pada tahun 1917, surat kabar Oetoesan Melajoe menulis bahwa orang Melayu yang tidak mau mengenakan pakaian nasionalnya berarti mempermalukan dirinya sendiri dan mengingkari kebangsaannya.
Terlepas dari pro dan kontra, mode pakaian Barat sudah menjadi bagian dari kehidupan bangsa kita.
*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Alda Agustine Budiono, atau tulisan-tulisan lain tentang sejarah.