• Narasi
  • Penyakit Sifilis di Bandung di Masa Kolonial

Penyakit Sifilis di Bandung di Masa Kolonial

Tio Biauw Sing menulis disertasi berjudul De Syphilis In Het Regentschap Bandoeng tahun 1941 memotret sejarah panjang sifilis di Bandung sejak awal era kolonial.

Jatmika Aji Santika

Lulusan Sejarah dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Buku Tio Biauw Sing De Syphilis in Het Regentschap Bandoeng. (Sumber: Delpher. nl)

13 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Bandung menjadi kota dengan kasus sifilis tertinggi di provinsi Jawa Barat. Hal ini didasarkan pada screening yang dilakukan oleh Rochady H. S. Wibawa, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu 2020-2023. “Setelah dilakukan pemeriksaan, dari sekitar 29.522 pemeriksaan, 830 orang dinyatakan positif sifilis. Angka ini tergolong paling tinggi jika dibandingkan dengan kota metropolitan lainnya di Jawa Barat, Depok dari 10.713 yang diperiksa hanya 3 yang positif sifilis, Bekasi hanya 53 orang yang dinyatakan positif sifilis dari 8.548 orang yang diperiksa”. Rochady mengaku pemeriksaan ini terbatas pada beberapa daerah, angka penderita sifilis sebetulnya lebih tinggi jika screening menjangkau seluruh wilayah Bandung. Rata-rata usia warga yang positif menderita sifilis ialah usia-usia produktif.

Rochady menyebut Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah berupaya untuk menangani permasalahan penyakit kelamin tersebut dengan menyediakan obat di puskesmas terdekat dan rumah sakit, para penderita raja singa (sifilis) ini dapat sembuh dengan cuma-cuma. Lebih lanjut lagi, mengingat penyebaran sifilis seringkali disebabkan karena hubungan seksual yang tidak sehat, Dinkes menghimbau masyarakat agar melakukan hubungan seksual dengan pasangannya saja dan memakai kontrasepsi.  

Sebenarnya kota Bandung memiliki sejarah panjang dengan penyakit sifilis, penyakit raja singa sudah menjangkiti warga Bandung sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Sebuah disertasi ditulis pada tahun 1941 oleh Tio Biauw Sing berjudul De Syphilis In Het Regentschap Bandoeng, buku ini menjabarkan bagaimana penyakit sifilis menjangkiti masyarakat Bandung pada saat itu, lengkap dengan penjelasan mengapa penyakit sifilis dapat menyebar, serta daerah paling banyak penderita sifilis. Penjabaran komprehensif seperti yang dilakukan Tio Biauw Sing tidak kita temukan lagi pada Dinas Kesehatan Bandung yang hanya bisa menyebut angka-angka dan himbauan-himbauan sepintas.

Baca Juga: Penelitian Etnografi di Era Kekinian dan Zaman Kolonial
Prostitusi di Bandung Era Kolonial
Anti-Woeker Vereeniging dan Perang Melawan Lintah Darat di Masa Kolonial Belanda

Sifilis di Masa Lalu

Menurut Wilde, seorang ahli tanah dan manusia abad ke-19, masyarakat Sunda saat itu menyebut sifilis dengan sebutan penyakit “Raja Singa” atau “Kasakit Jawa”, Wilde juga mengatakan masyarakat Sunda menyebut sifilis dengan sebutan penyakit “nyeri kiih” atau “beungangeun”. Istilah yang tepat untuk penyakit yang terakhir disebut ialah gonorea, sebuah gejala penyakit yang berbeda dengan sifilis.

Bumi Priangan yang selama ini terkenal akan alamnya yang indah, udaranya yang segar, orangnya yang ramah, di abad ke-19 hingga 20 Priangan rupanya terkenal akan hal lain, Priangan disebut sebagai wilayah yang banyak terinfeksi penyakit kelamin (is de Preanger een door en door venerisch besmet land).

Bandung menjadi salah satu kota yang menyumbang  pasien penyakit “Raja Singa” dengan angka yang tinggi. Pada tahun 1920, Rumah Sakit Sipil Bandung melakukan pemeriksaan pada 3.722 orang dan hasilnya ialah 427 orang memiliki penyakit seksual menular (sifilis).

Daerah Cimahi, Cicadas, Lembang, Banjaran dikabarkan menjadi sumber penularan penyakit sifilis dengan angka sangat tinggi.  (de hooge frequentiecijfers van Tjimahi, Tjitjadas, Lembang en Bandjaran veroorloven ons de conclusie te trekken, dat deze plaatsen voor hun achterland de infectiebronnen waren en zijn) Hal ini dapat dikatakan wajar karena tempat-tempat ini merupakan jalan yang sering dilalui banyak orang, banyak para pelancong yang melepaskan penatnya dengan “pergi jajan” sejenak. 

Praktik prostitusi menjadi biang utama persebaran penyakit sifilis, penyakit kelamin (Geslachtsziekten) ini dengan mudah menular melalui hubungan seksual. Di masa kolonial, praktik prostitusi sudah marak dijumpai di Bandung. Rumah Bordil tersebar di daerah Cimahi, Cicadas, Alun-alun. Masing-masing rumah bordil beroperasi dengan cara yang unik. Rumah bordil Cimahi, diceritakan, karena tidak memiliki rumah yang besar harus beroperasi di sebelah rumah keluarga baik-baik (door de groote woningnood treft men de bordeelen aan naast de woningen van behoorlijke families). Di Cicadas, tempat-tempat pelacuran disembunyikan sebagai warung (De gelegenheden worden eenigszins gecamoufleerd als warongs). Alun-alun bahkan menjadi tempat mangkal para pelacur Pribumi yang “berdiri pada tonggak-tonggak kawat dan tiang-tiang lampoe” (Gani Jaelani Perempuan Sunda dan Pelacuran di Zaman Kolonial).

Meskipun pada tahun 1852 pemerintah telah memberlakukan aturan untuk mengawasi praktik prostitusi demi mencegah akibat berbahaya dari prostitusi (Dr. R. D. G. Ph. SIMONS Het onrustbarende aantal geslachtsziekten en de noodzakelijkheid eener sociaal-hygiënische bestrijding hiervan in Nederlandsch-Indië 1941, hal 1647), kenyataannya praktik prostitusi dapat terus berlangsung karena mendapat perlindungan secara diam-diam dari aparat keamanan dan elit birokrat.  

Menurut Gani Jaelani dalam jurnal Dilema Negara Kolonial Seksualitas dan Moralitas di Hindia Belanda Awal Abad XX, polisi pada saat itu menjadi pihak yang membiarkan praktik pelacuran tumbuh, bukan hanya polisi berpangkat rendah namun hingga kepala polisinya. Selain memberikan perlindungan, banyak di antara mereka bahkan menjadi konsumen. Pejabat pribumi juga turut terlibat dalam melindungi praktik pelacuran, Gani Jaelani menuturkan di masa itu seorang Lurah Astanaanyar, secara diam-diam mengelola dan melindungi praktik-praktik prostitusi dan memperoleh keuntungan karena melindungi praktik pelacuran tersebut.  

Plesiran rupanya sangat diminati oleh para serdadu Eropa. Di Cimahi, para tentara Eropa disela-sela waktu senggang, mereka sering memesan seorang wanita untuk memuaskan hasrat mereka. Van Kol dalam Uit Onze Kolonien menyebut bahwa para serdadu Eropa tersebut sering meminta seorang wanita datang untuk bermalam setiap enam minggu (Elke zes weken wordt een vrouw gedurende een nacht toegelaten bij diegenen die daarom verzoeken). Para serdadu yang melampiaskan hasratnya pada pelacur biasanya seorang yang hidup tanpa gundik (huidhouster). Akibatnya, banyak para tentara Eropa menderita penyakit sifilis, Van Kol menyebut rumah sakit militer menyediakan sebuah ruang untuk 500 orang sakit dan hampir seluruhnya sudah terisi oleh pasien penyakit sifilis. (Er is plaats voor 500 zieken; op het oogenblik waren er 425)

Penyebab Penyakit Sifilis di Bandung pada Masa Kolonial

Demikian dikatakan bahwa penyebab dari tingginya angka sifilis ialah karena maraknya praktik prostitusi yang tidak dapat dilepaskan dari banyaknya perempuan yang memilih bekerja dengan cara menjual dirinya. Pertanyaan lebih lanjut kemudian muncul, mengapa kaum perempuan memilih untuk terjerumus kedalam praktik prostitusi ? Kasus di masa kolonial dapat menjadi bahan untuk menjawab persoalan tersebut.

Tio Biauw Sing dalam De Syphilis In Het Regentschap Bandoeng menyebutkan bahwa banyak  perempuan yang bermigrasi dari desa ke kota karena mengalami kesulitan ekonomi. Pada masa itu banyak perempuan dari desa (Garut) memilih bermigrasi ke kota dan bekerja sebagai pelacur. Perempuan-perempuan tersebut berstatus janda yang baru diceraikan oleh suaminya dan tidak boleh langsung menikah dengan pria baru sebelum menunggu 100 hari, dalam keadaan miskin dan terlantar seperti ini, prostitusi adalah satu-satunya jalan termudah bagi mereka untuk memperoleh uang. Tidak hanya para gadis desa, perempuan yang berasal dari daerah Bandung pun banyak yang memilih bekerja di bidang prostitusi, para wanita ini banyak yang bermigrasi ke tempat hiburan, peternakan, dan hotel-hotel besar orang-orang Eropa seperti di Lembang selama musim-musim liburan, sebagian besar wanita ini berasal dari Banjaran dan Cicadas. (Gedurende de vacantie-maanden ondergaat Lembang letterlijk een invasie van publieke vrouwen, waarvan een groot gedeelte afkomstig is van Bandjaran en Tjitjadas).

Selain karena migrasi untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik, nilai yang berlaku di masyarakat saat itu juga menjadi penyebab mengapa wanita berprilaku dan memilih bekerja sebagai pelacur. Pada saat itu masyarakat Sunda terbilang sangat longgar dan toleran mengenai perilaku seksual, salah satu kisah diceritakan sebagai berikut :

Voor de vrouwen inde hoogere leeftijdsklasse (30-45 jaar) kan de reden zijn de tijdelijke verhuizing naar de stad in hun weduwenstaat, om na een bepaalde, vreugdevolle, periode weer in Bandjaran terug te komen, om daar weer over te gaan tot een geregeld en maatschappelijk leven (Een overgang van het leven van prostituée naar het normale leven door huwelijk gaat zeer gemakkelijk zonder diepgaande conflicten en ingrijpende veranderingen, wat te danken is aan de groote verdraagzaamheid van den Soendanees)

Bahwa seorang wanita kisaran usia 30-45 pergi dari Banjaran ke daerah kota Bandung dalam keadaan menjanda, ia pergi bersenang-senang (prostitusi), setelah itu dia kembali ke tempat asalnya (Banjaran) dan beralih menjalani kehidupan normal seperti biasa tanpa banyak orang yang menghakimi dan mempermasalahkan hal tersebut. Dengan seksualitas yang longgar di masyarakat Sunda dikabarkan perempuan di masa itu mudah bercerai dan menikah hingga memiliki suami hingga enam sampai tujuh. (In Priangan, waar vele vrouwen zes tot zeven mannen hebben gehad en echtscheiding en huwelijk gemakkelijk tot stand komen). Hal-hal seperti ini yang memudahkan penyakit sifilis menular di masyarakat.

Dalam upaya untuk mencegah penyebaran penyakit sifilis di masyarakat, pemerintah kolonial pada saat itu mewajibkan setiap perempuan untuk mendaftar ke rumah sakit untuk menjalani perawatan dan pemeriksaan kesehatan. Van Kol menyebutkan pemerintah juga memberikan vaksin pada perempuan baik gadis-gadis Eropa maupun pribumi. (Groepjes lachende en stoeiende Europeesche meisjes, een lange rij Soendaneesche vrouwen en kinderen, een aantal meiden met zuigelingen op den arm, te wachten op de hulp van den vaccinateur).

Demikian pembahasan seputar penyakit sifilis, Bandung di masa kolonial juga menjadi kota dengan angka sifilis paling tinggi seperti sekarang, praktik prostitusi menjadi penyebab utama dari persebaran penyakit sifilis, adapun maraknya wisata plesiran tersebut didorong oleh kebutuhan ekonomi dan nilai-nilai yang berlaku saat itu sangatlah longgar terkait dengan seksualitas sehingga wanita memilih bekerja sebagai wanita penghibur. Pemerintah kolonial pun mencegah penyebaran penyakit tersebut dengan menyediakan layanan kesehatan kepada masyarakat khususnya kaum perempuan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//