• Narasi
  • Anti-Woeker Vereeniging dan Perang Melawan Lintah Darat di Masa Kolonial Belanda

Anti-Woeker Vereeniging dan Perang Melawan Lintah Darat di Masa Kolonial Belanda

Pinjol ilegal adalah praktik rente dan riba zaman now. Perang tak berkesudahan melawan praktik rente dan riba sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda.

Jatmika Aji Santika

Lulusan Sejarah dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Pengurus Anti-Woeker Vereeniging (Perserikatan Anti Riba) di Bandung Agustus 1939. (Sumber: Delpher.nl)

21 September 2023


BandungBergerak.id – Kondisi ekonomi selalu menjadi salah satu persoalan yang dihadapi bagi pasangan yang sudah berkeluarga. Demi memperoleh bantuan keuangan, banyak orang menjatuhkan pilihannya pada rentenir, pinjaman online, atau pun bank keliling. Proses peminjaman yang mudah, persyaratan tak berkelit, pinjaman tanpa jaminan, dan pencairan dana yang cepat menjadi alasan mengapa banyak orang memilih meminjam ke rentenir ketimbang bank konvensional. Karena kepepet orang tidak lagi memikirkan bunga yang setinggi langit dari peminjaman tersebut. Akibatnya, bukan mengatasi krisis finansial tetapi malah membuat keadaan finansial semakin tercekik.

Tidak sedikit kita temukan, para laki-laki tidak bertanggung jawab yang menjadikan istrinya hanya sebagai objek pemuas hasrat seksualnya, soal menunjang kebutuhan sehari-hari, pihak suami lepas tangan tanpa memberikan penghasilan yang memadai. Sekali pun dapat uang banyak, mereka limpahkan uang tersebut untuk judi online. Lakon-lakon seperti ini yang membuat ibu rumah tangga harus menjadi tulang punggung keluarga, kondisi keuangan yang rentan mendorong ibu rumah tangga tergelincir dana lintah darat.

Di Majalengka, sekumpulan ibu-ibu membentuk grup musik yang disebut Mother Bank. Grup musik ini menyuarakan keluhan ibu-ibu yang di himpit masalah ekonomi dalam kehidupan rumah tangga. Lirik dalam lagu berjudul “Jalan-jalan” menggambarkan kesulitan keuangan yang dialami karena harus hidup dengan lilitan hutang.

Ibu-ibu ini menjadi korban rentenir keliling atau disebut Bank Emok. Mereka menjalani hari-hari dengan pikiran pusing, memikirkan bunga yang semakin hari kian membesar dan sulit mereka bayar, bahkan dalam lirik lagu tersebut di hari liburan pun mereka harus memikirkan cicilan hutang.

Berangkat dari permasalahan seperti ini, pasangan bernama Ismal Muntaha dan Bunga yang berasal dari Jatiwangi art Factory menawarkan solusi kepada ibu-ibu dengan memberikan pinjaman tanpa bunga, hal ini untuk membantu warga lepas dari jeratan Bank Keliling dengan bunga selangit. Hasilnya, banyak ibu-ibu yang terbantu dengan hadirnya pinjaman nirlaba tersebut. Para nasabah yang tergabung, karena sering berkumpul, akhirnya membuat Grup Musik Mother Bank.

Solidaritas emak-emak dalam Grup Musik Mother Bank menjadi simbol perlawanan terhadap bank-bank keliling yang menyengsarakan kehidupan masyarakat.

Kesadaran bahwa keberadaan lintah darat adalah hal yang merugikan dan harus dilawan, rupanya sudah dilakukan sejak masa Hindia-Belanda. Sebelum bangsa ini merdeka, di masa kolonial terdapat sebuah perserikatan yang didirikan untuk memerangi lintah darat dan melindungi para korban. Kelompok perserikatan tersebut bernama Anti-Woeker Vereeniging

Penampilan Motherbank di Zona 1 pintu masuk Perhutana, Sabtu, (6/5/2023). (Foto: Andzar Agung Fauzan)
Penampilan Motherbank di Zona 1 pintu masuk Perhutana, Sabtu, (6/5/2023). (Foto: Andzar Agung Fauzan)

Perserikatan Anti Riba

Sebuah buku yang disusun oleh perserikatan yang memerangi riba (lintah darat) Anti-Woeker Vereeniging berjudul Gedenkboek uitgegeven ter gelegenheid van het 12,5 jarig bestaan der Anti Woeker Vereeniging te Bandoeng 22 Febr. 1927-22 Aug.1939 menjelaskan bahwa pada tanggal 10 Oktober 1926 Panitia Persiapan Pembentukan Perkumpulan Pemberantasan Riba Bandung bertemu untuk pertama kalinya di Lodge St. Jan di Bandung (sekarang Jalan Wastukencana), pertemuan ini dipimpin oleh Mr. C. J. Hulshoff.

Empat bulan kemudian, pada tanggal 22 Februari 1927, Hulshofff mengadakan pertemuan yang membahas Anggaran Dasar dan Peraturan Internal dari “Perserikatan Anti Riba”. Anti-Woeker Vereeniging secara resmi berdiri dan memiliki legalitas hukum berdasarkan surat keputusan pemerintah tanggal 4 Juli 1927 No. 96.

Komposisi organisasi tersebut ialah W. Verment menduduki posisi ketua, (Hulshoff tidak menjadi ketua karena akan segera meninggalkan Hindia-Belanda dan berangkat ke Eropa).  E. Sieburgh menduduki posisi Sekretaris. Divisi Propaganda dan Publikasi ditempati oleh F. H. W. Rooyacker. Misi utama dalam pembentukan badan ini ialah pemberantasan praktik lintah darat yang disebut sebagai “zoo diep ingevreten maatschappelijk euvel: den woeker” kejahatan sosial yang sudah mendarah daging.

Dalam rangka memberantas para lintah darat, Anti Woeker Vereeniging menggariskan beberapa point ; pertama membuat para rentenir nakal alias lintah darat tidak nyaman sehingga angkat kaki dari masyarakat. Kedua, menolong dengan membebaskan nasabah yang terlanjur jatuh ke tangan rentenir. Ketiga, menyediakan dana kredit jika lembaga penyedia dana bantuan lainnya tidak bersedia. Salah satu implementasi dari perjuangan Anti Woeker Vereeniging dalam memberantas lintah darat ialah pendirian Algemeene Volkscredietbank (Bank Perkreditan Rakyat Umum) yang mengizinkan pengambilan kredit jangka panjang sampai dengan lima tahun atau lebih, dengan jaminan tertentu.

Pada beberapa kasus, pengacara Anti Woeker Vereeniging memberikan bantuan sepenuhnya tanpa pamrih kepada klien asosiasi yang menjadi korban lintah darat, bantuan itu berupa pelunasan hutang maupun dalam kasus hukum. Pada tahun pertama keberadaannya, asosiasi ini memiliki nama baik dan mendapat tempat di masyarakat tercatat 131 orang meminta nasihat atau bantuan dari Asosiasi Anti Riba, termasuk 66 orang Eropa, 2 orang Tiongkok, dan 63 orang Pribumi.

Dalam headline koran Het Nieuws van den Dag voor Ned.-Indië, van Vrijdag, 29 Sept. 1933. No. 226 TweedeBlad, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur bahwa pemberi pinjaman hanya dapat mengenakan tingkat bunga sebesar 2% per bulan, dalam satu tahun bunga tidak boleh lebih dari sekitar 19%, sementara pemberi pinjaman harus memiliki izin untuk meminjamkan uang dari pemerintah, yang melanggar peraturan akan mendapat hukuman selama 2 tahun. Aturan ini diberlakukan untuk membuat lintah darat tidak leluasa beraksi.

Baca Juga: Seruan Perang Melawan Rentenir dari Hotel Berbintang
Motherbank, Sebuah Kisah Keteladanan para Ibu di Jatisura
Kemiskinan Mendorong Warga Jawa Barat Meminjam Uang ke Pinjol

Mengusir Lintah Darat

Kekejaman lintah darat dilukiskan lebih tepat oleh Ajip Rosidi dalam novel Anak Tanahair Secercah Kisah. Roman-roman melukiskan penderitaan orang-orang melarat yang diperas oleh lintah darat yang kejam tetapi  selalu bersedia menghapuskan utang seseorang apabila orang itu mempunyai anak perawan dan anak perawan itu diberikan sebagai istri mudanya entah nomor berapa.

Di masa kolonial, seperti dilaporkan dalam buku Gedenkboek uitgegeven ter gelegenheid van het 12,5 jarig bestaan der Anti Woeker Vereeniging te Bandoeng 22 Febr. 1927-22 Aug.1939, sebelum berdirinya Anti Woeker Vereeniging, para rentenir ini leluasa bergerak menyasar para pensiunan prajurit, pegawai negeri, pekerja, guru, dan masyarakat yang sedang kesulitan secara finansial. Setelah berdirinya Anti Woeker Vereeniging (Perserikatan Anti Riba) di Bandung, para rentenir tidak leluasa bergerak dan beberapa rentenir lebih memilih menjalankan roda bisnisnya ke luar Bandung seperti Cirebon, Indramayu, Semarang, Malang, Purworejo, Tegal bahkan hingga keluar pulau Jawa. Tetapi, Perserikatan Anti Riba bergerak cepat menyebar ke seluruh kota di luar Bandung dengan menjadi lembaga penyedia dana dan bantuan hukum guna memberantas lintah darat (riba).

Salah satu kasusnya ialah seorang warga Singkawang dikabarkan berhutang sebesar f 300 kepada seorang rentenir di Tegal. Ternyata debitur ini membayar terlalu banyak dari jumlah hutang yang seharusnya dilunasi, ia kemudian dibantu oleh seorang pengacara dari Perserikatan Anti Riba (Anti Woeker Vereeniging) dengan menuntut agar kelebihan pembayaran tersebut diminta kembali. Gugatan ini rupanya dikabulkan oleh Hakim Residen di Tegal. Si rentenir  yang awalnya akan menerima uang sebanyak f 300, kali ini gagal menerima jumlah uang sebanyak itu, tidak hanya itu si rentenir harus membayar uang sebanyak f 160, 50 kepada si korban.

Berdirinya Perserikatan Anti-Woeker Vereeniging disebut sebagai “Van Bandoeng Begint de Victorie”, kemenangan dimulai dari Bandung. Berkat keberhasilannya memberantas lintah darat, Perserikatan Anti Woeker Vereeniging mendirikan Perserikatan ini di Batavia, Jogja, Kediri, Magelang, Makassar, Malang, Medan, Purworejo, Semarang, Surabaya. Surat kabar Indische Courant Tweede Blad II menceritakan bahwa berkat kesuksesan majalah ini,  pada tahun 1933 Persatuan Masyarakat Anti Riba di Hindia Belanda didirikan dan diakui sebagai badan hukum berdasarkan Keputusan Pemerintah tanggal 26 Agustus 1933 Nomor 21. Asosiasi ini bahkan menerbitkan majalah bulanan "De Woeker", yang diterbitkan oleh Tuan A.F.P. Schun, tertanggal Januari 1939.

Anti Woeker Vereeniging atau Persatuan anti riba Bandung menempati tempat terhormat di antara perkumpulan-perkumpulan yang ada dan pengurus perkumpulan Asosiasi Anti Riba banyak yang merasa berbahagia atas kerja keras mereka. Residen Priangan saat itu, E. Tacoma, pada tanggal 1 Agustus 1939 mengucapkan terima kasih kepada Anti Woeker Vereeniging yang telah berhasil mencegah dan meringankan penderitaan masyarakat melalui bantuan asosiasi ini yang tanpa pamrih (die door hun belanglooze hulp zooveel leed weten te voorkomen en te verzachten).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//