Bersuara lewat Inisiatif "Bilik Tilik, Kotak Otak"
Pameran karya “Bilik Tilik, Kotak Otak: Thinking of The Box” merespons isu seputar sungai dan sampah. Bagian dari Bandung Design Biennale 2023 dengan tema "Sekitar".
Yasmin Zahra Khairunnisa
Penulis Konten
6 November 2023
BandungBergerak.id – "Ada data dari Waste4Change, 46 persen sungai di Indonesia sudah tercemar berat, dan salah satunya adalah Sungai Ciliwung," papar Zizi dari Extinction Rebellion (XR) Indonesia, dalam bedah karya sekaligus penutupan pameran "Bilik Tilik, Kotak Otak; Thinking of The Box", Sabtu, 28 Oktober 2023. Sungai dan sampah menjadi dua isu yang diangkat dan direspons oleh karya dengan sebutan BTKO.SPACE, yang telah berlangsung sejak awal Oktober. Karya ini juga menjadi bagian dari Bandung Design Biennale 2023 dengan tema "Sekitar".
Mengingat kondisi darurat sampah yang terjadi di Bandung Raya, “Bilik Tilik, Kotak Otak” hadir sebagai sarana reflektif milik bersama, sekaligus tempat menyuarakan pendapat dengan format karya pameran interaktif dan partisipatoris. Apa yang membuatnya menjadi reflektif, ternyata berasal dari pemikiran tentang manusia dengan pikirannya.
"Kita selalu terjebak sama thinking outside the box, padahal box-nya sendiri, kitanya, manusianya pernah dipikirin nggak sih?" tutur Zizi saat menjelaskan latar belakang munculnya ide pembuatan karya ini sebagai sarana berkesadaran dan bersuara, khususnya tentang sungai dan sampah.
Bilik ini diletakkan di dua sisi berbeda Sungai Cikapundung, tepatnya di Kampung Cibarani, Ciumbuleuit tempat pameran ini dibuka, dan di Stocker House, Braga, tempat berlangsungnya bedah karya sekaligus penutupan rangkaian pameran. Penempatan di dua titik yang memiliki tata ruang berbeda ini sengaja menjadi salah satu konsep karya, dengan tujuan memberikan perbedaan perspektif dalam melihat sungai itu sendiri. Seperti ungkapan Zizi, di Kampung Cibarani Bilik benar-benar menghadap sungai, suaranya jelas terdengar, dan ditempatkan di alam. Berbeda dengan di Stocker House Braga yang merupakan kawasan urban dengan hiruk pikuk kota dan sungai yang terhalang oleh dinding-dinding bangunan.
Penutupan pameran ini juga turut menghadirkan akademisi Muhammad Zaini Dahlan dalam Gelar Wicara berjudul "Peran Desain yang Berkembang dari Masa Lampau". Salah satu pembahasannya ialah mengenai konsep Patan Jala. Sebagai filosofi lokal Sunda, Patan Jala memiliki arti kata "Aliran sungai". Namun sebenarnya, maknanya lebih dari itu. Patan Jala bermaksud menjaga dan melestarikan daerah aliran sungai, dan pada praktiknya termasuk segala upaya seperti pembagian zona, dan pola perilaku masyarakat.
Zaini menyampaikan, bahwa saat ini pembagian wilayah yang diterapkan masih belum mengikuti Patan Jala, atau masih berdasarkan RT, RW, kelurahan, dan sebagainya, sehingga mudah untuk melemparkan tanggung jawab ketika ada masalah terkait sungai dan sampah. Beda halnya jika yang dilihat adalah sungai sebagai satu kesatuan hulu ke hilir. "Di mana mereka mengatur tata ruang nya berdasarkan aliran sungai. Ruang yang mereka tetapkan itu kiri kanan. Ini sangat menarik," ujarnya.
Baca Juga: Bandung Design Biennale, Desain dan Upaya Memberikan Dampak
MERAYAKAN DESAIN: Mengenal Bandung Design Biennale 2023
Bandung Belum Bebas dari Krisis Sampah
Bersuara lewat Isu #01: Sachetstrike
Pengunjung dapat berinteraksi dengan “Bilik Tilik, Kotak Otak” menggunakan medium sachet, kemasan plastik sekali pakai yang biasa menjadi bungkus kopi, cemilan, deterjen, dan sebagainya. Mengapa sachet yang dipilih?
Data dari aliansizerowaste.id menunjukkan, porsi sampah plastik sachet di Indonesia mencapai 16% dari 768.000 ton sampah plastik per tahun. Greenpeace melaporkan sebanyak 855 miliar sachet terjual di pasar global tahun 2020. Asia Tenggara memegang pangsa pasar sekitar 50%. DI tahun 2027, diprediksi jumlah kemasan sachet yang terjual akan mencapai 1,3 Triliun. Melihat produksinya yang terus meningkat, jumlah sampah kemasan sachet ini sangat mungkin akan terus menumpuk seiring dengan pola konsumsi masyarakat.
Merespons urgensi tersebut, XR Indonesia berinisiatif melakukan gerakan #SachetStrike sebagai aksi nirkekerasan dalam menyuarakan keresahan terkait sampah di sekitar warga Bandung. Pengunjung pameran diminta membawa sachet yang sudah bersih dan kering saat mengunjungi pameran. Setelah berefleksi di dalam bilik, mereka dapat menuliskan keresahan di balik sachet tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kotak yang terbuat dari 100% sampah plastik. Sekitar 63.000 tutup botol yang didaur ulang menjadi material utama bilik ini.
Sachet juga dipilih sebagai medium aksi karena ia merupakan jenis sampah plastik dengan “level kasta terendah” karena bersifat multilayer, tidak dapat didaur ulang secara aman dan berkelanjutan, serta banyak mencemari lingkungan darat maupun laut. Ditambah, belum ada teknologi yang bisa mendaur ulang sampah jenis ini.
Beberapa sachet dengan tulisan berisi protes, kritik, maupun aspirasi yang dari pengunjung sudah ikut dipajang sejak pembukaan pameran. Di antaranya: "Semoga baik-baik saja", "Fake Plastic Trees", dan "Sampah di sekitar imah teu aya nu ngangkut. Tanggung jawab saha?". Beberapa ungkapan keresahan juga turut ditampilkan dalam monolog oleh Thrastronic, diiringi musik elektronik dan bebunyian unik dari berbagai jenis sampah.
Meramaikan acara penutupan pameran, tampil juga beberapa musisi dan seniman Bandung, seperti Ratimaya X Saman Esna dengan dongeng musikal tentang kerusakan lingkungan, Adew Habsta yang membawakan beberapa lagu tentang lingkungan dan kedamaian, juga Tarawangsawelas X Exotica Neurotica yang memadukan musik tradisional sunda eksperimental bernuansa psychadelic, dengan nada-nada menghantui dari alat musik tiup yang dimainkan oleh Luigi, musisi asal Italia.
Potret Sekitar: Sampah
Suasana di Stocker House, Braga terasa sedikit berbeda berkat dihiasi oleh karya-karya “Potret Sekitar: Sampah?”, sebuah pameran jurnalisme warga dari 12 pameris. Kaos-kaos yang digantung di salah satu sisi area pameran menunjukkan foto-foto yang terpampang mengenai dampak buruk terjadinya darurat sampah di Bandung Raya. Sebagian besar menunjukkan sampah yang menggunung; di pekarangan rumah, di depan gang, di jalan raya, di kampus, hingga di TPS.
Sementara di bagian belakang, ada 12 foto lain tercetak di atas 3 untaian kain spanduk, menceritakan bagaimana kerja-kerja baik yang dilakukan warga sekitar dalam menyikapi sampah. Dari upaya siswa-siswi sekolah dalam mengelola sampah, warga yang melakukan Jumat Bersih, hingga salah satu TPS yang mengolah sampah mengelola sampah organik dengan maggot.
Karya-karya foto ini dihasilkan setelah para pameris mengikuti Lokakarya Foto selama 3 minggu, meliputi pemaparan materi tentang isu sampah, fotografi dan jurnalisme, latihan memotret, menentukan angle dan latar belakang dalam pembuatan karya foto, kemudian turun ke lapangan –
ke lingkungan sekitar mereka – untuk memotret foto cerita.
Lokakarya dan pameran “Potret Sekitar: Sampah?” ini didukung dan difasilitasi oleh BandungBergerak.id. Tofan selaku pengelola program dan komunitas Bandung Bergerak menyampaikan, pemilihan peserta lokakarya dan pameran ini didasarkan tak hanya pada diferensiasi area asal atau tempat tinggal, tapi juga antusiasme dan komitmen dari para peserta yang dapat tumbuh bersama dan mengikuti serangkaian kegiatan ini sampai akhir pameran berlangsung.
Ke depanya, Zizi mengutarakan harapan dari “Bilik Tilik, Kotak Otak” agar dapat terus berlanjut sebagai wadah bagi orang-orang muda dengan satu kepedulian yang sama. Tentunya dengan kolaborasi berbagai pihak juga semangat bersukarela dari mereka yang turut menyukseskan pameran ini.
"Semoga bisa ada regenerasi, dan harapannya sih pengen bikin bikin program yang berkelanjutan, nggak berhenti di sini saja," ucap Zizi.
Seusai hari terakhirnya di Bandung Design Biennale 2023, “Bilik Tilik, Kotak Otak: Thinking of The Box” akan menemui para pengunjung baru di Bintaro Design District, 8 -18 November 2023 mendatang.