• Berita
  • Bandung Belum Bebas dari Krisis Sampah

Bandung Belum Bebas dari Krisis Sampah

Tata kelola sampah di Bandung Raya masih bermasalah. Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar mesti turun melalui regulasi yang jelas.

Sampah menumpuk di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Pangaritan, Kota Bandung, Sabtu (14/1/2023) sore, akibat tersendatnya proses pengangkutan ke TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana6 Juni 2023


BandungBergerak.idPemerintah Kota (Pemkot) Bandung maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat tidak bisa menyerahkan pengelolaan sampah sepenuhnya kepada masyarakat. Kedua pemerintah derah ini harus turun tangan dalam pengelolaan sampah melalui regulasi yang jelas dan tegas.

Bandung Raya sudah mengalami krisis sampah berulang-ulang karena Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti sudah kelebihan muatan. Pengangkutan sampah dari Bandung Raya semakin tersendat ketika ada persoalan teknis seperti rusaknya alat berat, kerusakan infrastruktur jalan karena banjir musim hujan, macet, dan lain-lain.  

Di Kota Bandung, misalnya, saat ini proses pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti sudah berangsur normal. Penumpukan sampah di TPS-TPS Kota Bandung berangsur bisa diatasi. Sebelumnya, banyak TPS yang mengalami kelebihan muatan selama pengangkutan sampah ke TPS Sarimukti bermasalah.

Namun normalnya pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti hanyalah sementara. Menurut catatan Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), organisasi di Bandung yang fokus mengkampanyekan nol sampah yang tahun ini berulang tahun ke-30, cepat atau lambat TPA Sarimukti akan kembali bermasalah karena TPA ini pada dasarnya sudah penuh. Dengan kata lain, krisis sampah Kota Bandung jauh dari usai.

Direktur YPBB David Sutasurya mengatakan, merinci kiriman sampah dari Kota Bandung ke TPA Sarimukti selama tiga bulan di awal tahun 2023. Pada Januari 1,131 ton, Februari 1,224 ton, dan Maret 1,059 ton. Sementara itu kiriman sampah dari Kota Cimahi pada Januari 155.67 ton, Februari 159.25 ton, dan Maret 163.71 ton. Pada wilayah Kabupaten Bandung Barat pada Januari 137.25 ton, Februari 138.83 ton, dan Maret 172.91 ton.

“Akibat membludaknya kiriman sampah itu, daya tampung TPA Sarimukti menjadi over capacity. Saat ini, TPA Sarimukti yang memiliki luas 43,6 hektare sudah terisi dengan total volume sampah 15.434.994 meter kubik. Sementara menurut rancang bangun rinci atau Detail Engineering Design (DED), desain kapasitas awal hanya untuk 1.962.637 m3,” papar David Sutasurya, dikutip dari laman resmi YPBB, Selasa (6/6/2023). 

Mengapa Wilayah Bandung Raya Lagi-lagi Mengalami Krisis Pengelolaan Sampah?

TPA Sarimukti sudah melakukan persiapan perluasan lahan, namun hal tersebut tidak akan mampu menyelesaikan krisis sampah yang berakar pada persoalan sistem tata kelola persampahan secara menyeluruh. YPBB telah mengidentifikasi beberapa isu terkait krisis pengelolaan sampah TPA, sebagai berikut:

Permasalahan di aspek operasional. Sampah organik yang seharusnya bisa diolah di lingkup terkecil masyarakat (terdesentralisasi) masih mendominasi jenis sampah yang diangkut ke TPA Sarimukti. Apabila permasalahan sampah organik bisa cepat diselesaikan, maka volume sampah yang masuk ke TPA Sarimukti dipastikan akan jauh berkurang.

Kondisi normal penanganan sampah Kota Bandung kurang lebih 240 rit truk atau kurang lebih 1.279 ton sampah per hari. Sementara sampah yang bisa masuk ke TPA Sarimukti kurang lebih 190 rit, sehingga tersisa sekitar 50 rit atau sekitar 200 ton per hari yang akhirnya tertumpuk di 55 TPS Kota Bandung dan akan terus terakumulasi jika tidak segera ditangani.

Saat ini, YPBB mencatat, gunungan sampah di TPA Sarimukti berpotensi mengalami ledakan gas metan dan longsor. Kondisi eksisting Zona 1 (tidak aktif) TPA Sarimukti memiliki ketinggian sekitar 10 meter. Ambang batas ideal tinggi tumpukan sampah di TPA sarimukti adalah 4-5 meter. Untuk Zona aktif (2,3,4) mencapai sekitar 5 meter.

Permasalahan di Level Kebijakan Nasional

Standar pengelolaan sampah secara nasional tidak jelas dan tegas. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan standar pengelolaan sampah di level daerah, termasuk di Kota Bandung, Jawa Barat. Standar pengelolaan sampah nasional masih menggunakan teknologi insinerator dan Refuse Derived Fuel (RDF) yang membahayakan lingkungan.

Padahal, dalam catatan YPBB, ada strategi pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan, yaitu mengoptimalkan gerakan pilah sampah dan olah sampah organik di sumber. Berdasarkan komposisi sampah yang dikaji oleh Prof. Enri Damanhuri di Kota Bandung pada 2017, sampah organik (sisa makanan dan daun) memiliki persentase sebesar 44,51 persen dan komposisi sampah organik merupakan jenis sampah yang paling banyak. Sedangkan bahan-bahan organik tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan kembali menjadi kompos, pakan ternak alternatif, dan lainnya.

Strategi tersebut sudah dijalankan di Kota Bandung melalui penerapan Kawasan Bebas Sampah (KBS), beberapa kelurahan di antaranya telah menjadi percontohan, yang berada di Kelurahan Sukamiskin, Sukaluyu, Gempolsari, Cihaurgeulis, Mengger, Neglasari, Babakan Sari dan Kebon Pisang. KBS Neglasari, merupakan salah satu KBS yang memiliki praktik baik dalam pengolahan organik di kawasan, dengan menghubungkan inisiatif pemerintah kelurahan, kelompok masyarakat, hingga teknis, dan operasional pengolahan organik.

“Untuk itu, perlunya memasifkan gerakan pisahkan sampah dan olah sampah organik dalam pengelolaan sampah, karena jika kita dapat mengoptimalkan pemilahan, pengolahan dan pemanfaatan dari bahan organik tersebut sedekat mungkin dengan sumber, maka kita berpotensi mengurangi 44,51 persen timbulan sampah perkotaan dan mengurangi ketergantungan kita terhadap TPA,” kata David Sutasurya.

Baca Juga: Mendefinisikan Ulang Kampung Kota di Bandung
Pemerhati Lingkungan Mencium Pembiaran Aliran Limbah Cair TPA Sarimukti ke Sungai Citarum
Merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Bandung, Mendorong Realisasi Mekanisme Keadilan Ekologis Antargenerasi

Lantas Apa yang Perlu Dilakukan agar Bandung tidak Kembali Darurat Sampah?

Walaupun saat ini pengangkutan sampah di Kota Bandung sudah mulai kembali normal, namun menurut David jangan sampai kita terlena karena krisis sampah Bandung Raya belum selesai. Saat ini pemerintah provinsi dapat menormalkan kembali pengangkutan sampah dengan perluasan kawasan ke TPA Sarimukti. Namun belum ada kepastian kapan perluasan bisa terwujud. Diperkirakan pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti akan terhenti pada tahun 2024.

“Sama seperti halnya bak mandi, daya tampung TPA sangat terbatas, serta seberapa cepat TPA penuh tergantung dari sampah yang dihasilkan dan jumlah sampah yang dikirim ke TPA. Saat ini kota Bandung mengirim lebih banyak sampah dari biasanya, untuk membersihkan sampah yang masih menumpuk di TPS. Ini akan membuat TPA penuh lebih cepat,” papar David.

Di sisi lain, sebagian besar sampah kota adalah sampah organik yang dapat diolah oleh siapa pun dengan teknologi yang tepat guna dan tidak mahal. Untuk itu YPBB mendorong:

Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai pengelola TPA menerapkan pembatasan pengiriman sampah organik ke TPA menuju pelarangan sepenuhnya dalam waktu sesingkatnya;

Pemerintah kabupaten/kota di Metro Bandung harus menerapkan langkah cepat untuk memilah dan mengolah sampah organik, kalau perlu dengan sarana pengolahan sampah organik darurat di seluruh wilayah kota;

Semua langkah tersebut adalah langkah darurat yang memerlukan tindakan cepat dan pemerintah juga perlu mempersiapkan dana darurat untuk mempercepat peningkatan kapasitas pengolahan sampah organik;

Tentunya pemerintah juga membutuhkan dukungan penuh seluruh elemen masyarakat. Lantas bagaimana cara kita turut serta mendukung:

Dukung kebijakan darurat pengolahan sampah organik dengan mentoleransi bila ada titik pengolahan sampah organik di dekat tempat tinggal masing-masing. Berbagai pihak akan membantu pemerintah untuk memastikan pengolahan sampah organik dilakukan dengan teknik yang benar sehingga tidak mengganggu kesehatan;

Mengolah sampah organik di rumah dan komunitas masing-masing;

Pengelola kawasan dan fasilitas komersial mengolah sampah organik masing-masing atau bekerja sama dengan berbagai pihak.

YPBB juga merekomendasikan pemerintah untuk segera mengembangkan model tata kelola nol sampah secara holistik. Membangun kelembagaan dan sistem pembiayaan berkelanjutan untuk sistem pengumpulan terpilah dari sumber mesti menjadi prioritas.

Tata kelola tersebut dimulai dari penguatan regulasi dan kelembagaan dari tingkat kota hingga tingkat kelurahan, pengalihan dan pengorganisasian pembayaran petugas pengumpul sampah oleh pemerintah, pemberian wewenang dan tanggung jawab kelurahan atas pengumpulan terpilah, serta penerapan aturan pemilahan kawasan–termasuk mekanisme pengawasan dan sanksi.

“Hal ini memerlukan perhatian serius dari seluruh pihak, tidak saja pemerintah provinsi dan kota-kabupaten, tetapi juga seluruh pihak yang terlibat menghasilkan sampah,” katanya.

Membangun tata kelola nol sampah memerlukan langkah cepat karena usia TPA Sarimukti tidak lama lagi tamat.  Semakin terlambat mengurangi sampah, TPA Sarimukti akan semakin cepat penuh.

“Maka dari itu saat ini tim YPBB beserta anggota Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS) lainnya sedang bekerja keras mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menerapkan kebijakan pengurangan sampah yang dikirim ke TPA dengan cara yang berwawasan lingkungan,” kata David.

Langkah Pemkot Bandung

Pemkot Bandung sebagai pemegang regulasi persampahan, akhir-akhir ini cukup sering mensosialisasikan praktik nol sampah kurangi, pisahkan, manfaatkan (Kang Pisman). Walaupun ada iming-iming nilai ekonomi di balik sosialisasi ini.

Idealnya, tata kelola sampah menggunakan pendekatan penyelamatan lingkungan agar kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah tertanam lebih kuat. Menghasilkan nilai ekonomi dari sampah memang baik, tapi bukan tujuan utama. Karena jika motif ekonomi ini dikedepankan, dikhwatarikan pengelolaan sampah akan ditinggalkan jika tidak menguntungkan.

Pengelolaan dengan motif ekonomi ini disampaikan Plh Wali Kota Bandung Ema Sumarna. Menurutnya, pengelolaan sampah di Kota Bandung salah satunya harus diawali dengan mengubah pola pikir warganya. Sampah harus bisa dikelola sejak dari sumbernya agar memiliki nilai ekonomi.

"Sampahnya kita masih dengan pola konvensional yaitu dengan pola angkut, kumpul, simpan - angkut. Hari ini kita ingin mencoba, bagaimana membangun peradaban baru mengubah mindset kita dengan hal-hal yang sifatnya logis," kata Ema Sumarna saat acara Sosialisasi Pengelolaan Sampah dan Kang Pisman, di Kantor PDAM Titawening, dikutip dari siaran pers Minggu (4/6/2023). 

Ema meyakini, pengelolaan sampah dengan pola Kang Pisman bisa dilakukan dengan masif. Salah satu cara yang dinilainya lebih tepat yaitu dengan menyebarkan kisah sukses sebuah wilayah. 

Ia mencontohkan, di RW 12 kelurahan Maleer kecamatan Batununggal, ada penggagas juga motivator namanya Pak Yanto. Di wilayah itu, warga sudah berkomitmen dan menyelesaikan sampah selesai di TPS. 

"Warga masyarakat di sana sudah mengetahui kapan sampah ditahan di rumah, dipilah, dan diangkut oleh pengelola sampah di lingkungan RW. Kemudian diolah di TPS," ungkapnya.  

"Di TPS sampah dikelola dengan pola maggot, recycle dan lain sebagainya. Ternyata bernilai ekonomi," imbuh Ema seraya mengajak setiap RW menduplikasi pengalaman sukses yang sudah dilakukan di beberapa wilayah. 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung Dudi Prayudi mengungkapkan, program Kang Pisman telah berjalan sejak tahun 2018.

"Untuk beberapa RW itu sudah menjalankan yang disebut dengan kawasan bebas sampah atau KBS. Saat terjadi penumpukan penumpukan sampah di TPS, RW yang melaksanakan KBS tidak terdampak, karena sampahnya sudah selesai di sumbernya," ujar Dudi. 

Dudi mengajak RW menerapkan kawasan bebas sampah atau program Kang Pisman. Persentase untuk kawasan bebas sampah di Kota Bandung saat ini baru sekitar 10 persen dari 1.594 RW.

"Oleh karenanya, kita berharap RW yang menerapkan Kang Pisman bertambah. Sehingga semakin banyak lagi sampah sampah yang diselesaikan di level RW," beber Dudi.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//