Mendefinisikan Ulang Kampung Kota di Bandung
Kampung kota sering dianggap sebagai masalah yang harus dibereskan. Dituding kumuh dengan fasilitas-fasilitasnya yang tidak memadai.
Penulis Awla Rajul6 Juni 2023
BandungBergerak.id - Kampung kota seringkali diartikan sebagai suatu kawasan di tengah kota dengan suasana yang padat penduduk, kumuh, dan tidak memiliki fasilitas yang memadai sehingga dituding sebagai masalah perkotaan yang perlu dibereskan. Perlu usaha bersama mendefinisikan ulang pengertian dan menjamin keberlanjutannya.
Indah Widiastuti dari Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) menyebutkan bahwa istilah kampung kota lahir dari implikasi kerangka dikotomi kota dan kampung kota. Akibat dikotomi ini pula, lahir definisi biner yang mencetuskan konsep oposisinya, seperti ada formal dan informal, terencana dan tak terencana, kaya dan miskin, serta lingkungan tertib dan tidak tertib. Kampung kota seringkali dinilai dari oposisi biner semacam ini.
Menurut Indah, istilah kampung kota bisa jadi muncul karena suatu kampung yang berada di tengah kota atau sebuah kampung yang muncul dan mendorong terbentuknya kota. Kampung kota merupakan lokus spasial tempat terbentuknya “tempat” yang bersifat swadaya terjadi dan budaya terhuni.
“Kita tercengkeram dengan istilah kampung kota. Lebih baik kita melihat mereka sebagai satu keberadaan yang memiliki potensi, dan (tentang) mereka juga sebetulnya sudah banyak teori-teori yang membuktikan bahwa mereka bisa empowerment. Mereka juga bisa membuat craft-nya sendiri,” ucap Indah dalam diskusi “Bincang Kampung Kota” yang diselenggarakan oleh Niskala Institute dan Urban Heritage Initiative, di Gedung Indonesia Menggugat, Kota Bandung, Sabtu (3/6/20203).
Indah berpendapat, istilah kampung kota perlu ditanyakan ulang. Jika perlu, istilah tersebut jangan digunakan lagi dengan implikasi konotasi yang dilahirkan. Sebuah tempat perlu dilihat sebagaimana adanya. Kampung kota dilihat sebagai eksistensi, sebagai keberadaan yang sedang berinteraksi dan sedang mengalami dinamika.
Hermawan atau yang kerap disapa Adew Habsta menyodorkan dilema kampung kota yang sering dinilai kumuh sehingga pemerintah seringkali merasa “perlu” membenahinya dengan membangun rusun (rumah susun). Apa yang terjadi di Tamansari, Kota Bandung, salah satu contohnya, Kota Bandung.
Menurut Adew Habtsa, masyarakat perlu kembali ke pergumulan tentang asal daerahnya serta asal yang melatarinya. Inilah kekuatan budaya yang bisa menghalau atau menepis rencana-rencana rusunisasi atau perubahan struktur sosial lainnya.
“Benda-benda, tempat yang heritage itulah yang sesungguhnya menjadi pembeda tempat kita dengan lain. Tapi pembeda bukan untuk dibandingkan lebih keren, melainkan sebagai identitas, (misalnya) bahwa di Ledeng ada sumber air yang harus dijaga,” ungkap penulis buku Oh, Ledeng Oh, Bandung ini.
Adew mencontohkan beberapa rencana perubahan yang sempat bergulir di kawasan Ledeng, seperti pembangunan kondotel, waterboom, dan belakangan rencana pembangunan apartemen. Menghadapi rencana-rencana seperti ini, penting bagi warga untuk menandai ciri khas suatu wilayah sebagai kekuatan, sebagai nilai yang membanggakan.
Ledeng merupakan kawasan penyangga kebutuhan air di Bandung sekaligus lokasi hutan terakhir. Pembangunan yang diikuti alih fungsi lahan berpotensi menghadirkan krisis air dan menghilangkan hutan di Bandung. Dampaknya bukan hanya menimpa generasi saat ini, melainkan juga generasi yang akan datang.
“Anak cucu kita gak kebagian lagi air yang sehat, jernih, dan udara jadi gak bersih. Akibat-akibat itu dan kekhawatiran itu ada. Kampung mana lagi ni yang akan seperti itu? Sementara di kampung kami ada harta yang nilainya membanggakan, biar niatnya itu terbelokkan, tidak jadi, batal,” ungkap Adew.
“Bincang Kampung Kota” diselenggarakan selama dua hari di akhir pekan dengan mengusung tema “Kampung Kota sebagai Ruang Ekspresi Budaya”. Tiga sesi diskusi dilaksanakan secara terpisah dengan tiga topik bahasan yang berbeda. Di Kota Bandung, penggusuran oleh atas nama pembangunan menjadi salah satu isu utama dalam jejaring gerakan masyarakat sipil dalam beberapa tahun terakhir.
Baca Juga: Bandung, dari Penggusuran ke Penggusuran
Eva Eryani di Tamansari: Masih Satu, Masih Melawan
Menjamin Keberlanjutan
Platform kekotaan warga (citizen urbanism) menjadi bagian dari solusi untuk mendorong rasa kepemilikan terhadap kota. Kota Semarang, misalnya, memiliki platform PekaKota yang memungkinkan kegiatan pengumpulan, distribusi, dan pemanfaatan pengetahuan warga serta melanjutkan program pemetaan partisipatoris.
Adin Hysteria dari Gerobak Hysteria dan PekaKota Institute menyebutkan bahwa manusia merupakan makhluk yang paling resilience. Pada konteks perubahan tata ruang kampung kota oleh rusunisasi, masyarakat tetap akan bisa menjalani kehidupan tanpa memicu kekacauan.
Namun, urusan vertikalisasi seringnya hanya melihat aspek gedung, tanpa melihat aspek-aspek sosial, ekonomi, dan kondisi masyarakat. Salah satunya, pilihan masyarakat yang mendiami kampung kota karena alasan sederhanya, yakni memiliki akses yang dekat dan terjangkau ke tempat kerja.
“Pilihan orang tinggal di kampung kota kadang sangat pragmatis: mau dekat dengan tempat bekerja,” kata Adin. “Ada aspek-aspek lain dalam pembangunan yang diabaikan.”
Adin juga menjelaskan bahwa tidak ada jaminan atas keberlanjutan aktivitas dan program yang dilakukan baik oleh organisasi masyarakat maupun pemerintah. Bila pemerintahan rentan dengan perubahan rezim, organisasi masyarakat seringkali rentan dengan faktor ekonomi. Pemicu kerentanan lain adalah belum adanya jaringan-jaringan organisasi masyarakat kampung kota berikut skemanya.
“Jadi jangan menunggu untuk menjadi sesuatu dulu. Banyak orang yang lebih mapan daripada kita yang melakukan ini semua. Jadi kalau mau peduli, ya peduli saja,” ungkapnya.