• Berita
  • Setelah TPA Darurat Cicabe Ditutup, Bukan Berarti Kota Bandung Aman dari Ancaman Sampah

Setelah TPA Darurat Cicabe Ditutup, Bukan Berarti Kota Bandung Aman dari Ancaman Sampah

TPA Darurat Cicabe kini telah ditutup seiring berangsur pulihnya TPA Sarimukti. Kota Bandung bisa bernapas lega meski hanya sementara.

Petugas kebersihan memuat sampah ke kontainer secara manual di TPS Kelurahan Merdeka, Kota Bandung, yang menumpuk, Selasa (16/5/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana30 Mei 2023


BandungBergerak.id - Tersendatnya proses pembuangan akhir di TPA Sarimukti sejak lebaran lalu, ditambah mandeknya budaya memilah sampah di tingkat rumah tangga, berdampak pada ledakan tumpukan sampah di tempat-tempat pembuangan sementara (TPS) Kota Bandung. Tak hanya itu, timbulan sampah juga terjadi di sungai-sungai di wilayah Bandung Raya.

Kini tumpukan sampah di sejumlah TPS Kota Bandung mulai berkurang menyusul pulihnya TPA Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat. TPA Cicabe yang dijadikan TPA Darurat selama TPA Sarimukti bermasalah, telah ditutup. Meski demikian, berkurangnya timbulan sampah di Kota Bandung ini hanya bersifat sementara selama Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung tidak menerapkan Kawasan Bebas Sampah secara agresif.

Berdasarkan catatan Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), program Kawasan Bebas Sampah (KBS) pada skala kelurahan, kecamatan, hingga kota mendapati beragam tantangan. YPBB telah merekomendasikan perbaikan tata kelola persampahan di kawasan. Mulai dari regulasi, kelembagaan, operasional, pembiayaan, serta pelibatan publik untuk memperkuat dampak positif program KBS yang sudah diinisiasi Pemkot Bandung sejak 2015.

Kesementaraan normalisasi sejumlah TPS yang sempat kelebihan muatan ini diakui Pelaksana Harian Wali Kota Bandung Ema Sumarna menekankan upaya penanganan jangka panjang harus tetap berjalan. Membaiknya kondisi TPA Sarimukti pun hanya sementara karena umur dan kapasitas TPA ini sudah sangat terbatas.

Artinya, kata Ema, masalah sampah di Kota Bandung masih berpotensi menjadi bom waktu. Di sisi lain, program nol sampah Kang Pisman (kurangi, pisahkan, manfaatkan) masih berjalan pelan. Menurutnya, cakupan Kang Pisman baru 10 persen dari seluruh wilayah RW di Kota Bandung.

“Saat ini sudah ada 154 Kawasan Bebas Sampah di Kota Bandung. Tentu ini masih jauh dari kata ideal karena baru 10 persen dari seluruh wilayah RW di Kota Bandung. Kita punya pekerjaan rumah menyelesaikan 90 persennya,” kata Ema Sumarna, dikutip dari siaran pers Sosialisasi Kang Pisman di Kelurahan Sarijadi, Kota Bandung, Minggu (28/5/2023).

Senada dengan Ema, Kepala DLH Kota Bandung Dudi Prayudi mengatakan normalisasi TPS di Kota Bandung karena membaiknya operasional TPA Sarimukti bukan akhir dari upaya penanganan sampah di Kota Bandung. Ia menilai, penerapan Kang Pisman sebagai salah satu upaya yang ampuh.

Hal itu dibuktikannya dengan fakta bahwa daerah yang menerapkan Kang Pisman tidak terpengaruh adanya permasalahan operasional di TPA Sarimukti beberapa waktu lalu.

“TPA Sarimukti pun kami meyakini durasinya tidak akan lama. Tapi perlu kita sadari, saat terjadi penumpukan sampah di Kota Bandung, RW-RW yang menerapkan Kang Pisman ini sudah tidak ada masalah,” kata Dudi. 

Baca Juga: Darurat Sampah, Pemkot Bandung Seharusnya Menjalankan TPS Terpilah
Sampah, Limbah, dan Pentingnya Kerja Kolaboratif di Sungai Cikapundung
Data Volume Sampah Plastik Harian di Kota Bandung 2008-2021: Plastik Masih Jadi Kontributor Utama Masalah Sampah

Rekomentasi untuk Kawasan Bebas Sampah dan Kang Pisman 

Ada banyak program penanggulangan sampah yang mengklaim ramah lingkungan, misalnya dengan teknologi insinerator. Namun klaim ini terbantahkan karena metode pembakaran tetap menimbulkan polusi berbahaya. Maka program nol sampah seperti Kang Pisman yang melibatkan partisipasi warga sejauh ini menjadi model satu-satunya dalam pengelolaan sampah yang bersifat ramah lingkungan. 

Kendati demikian, dalam praktinya penerapan program Kang Pisman di lapangan bukannya nol masalah. Pada 30 Maret 2022 YPBB menerbitkan rekomendasi agar program Kawasan Bebas Sampah yang menjalankan program Kang Pisman di Kota Bandung bisa berjalan efektif. 

Rekomendasi itu meliputi perbaikan tata kelola persampahan di kawasan. Rekomendasi berkaca dari pilot project KBS di sejumlah kelurahan Kota Bandung yang menjadi percintohan penerapan KBS. YPBB mendapati fakta, konsistensi penerapan sistem pemilahan masih sangat bertumpu pada sosok ketokohan di RW setempat. Dengan mengandalkan ketokohan individu semata, perubahan tata kelola persampahan di Kota Bandung akan membutuhkan waktu yang terlampau lama, sehingga tidak efisien. 

YPBB juga mencatat masih adanya wilayah yang tergantung pada pendamping. Padahal program KBS bertujuan untuk meningkatkan partisipasi warga agar memilah sampahnya sejak dari rumah tangga. Karena itu dibutuhkan regulasi penanganan sampah sejak dari sumber (produsen sampah: rumah tangga, industri, dll) perlu dieksekusi agar hasilnya berdampak positif. 

“Saat menjadi aturan maka warga bisa ikut terdorong agar terjadi perubahan lebih cepat. Pemerintah dengan beragam cara, sumber pembiayaan, agar bersiap untuk segala perangkat aturan agar kelembagaan efektif dan efisien,” tutur Koordinator Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS) Ria Ismaria, dikutip dari laman YPBB.

Pemkot Bandung memang sudah memiliki modal guna memperbaiki tata kelola sampah dan mendorong pemilahan lewat Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Namun Pemkot Bandung kesulitan dalam menerapkan peraturan ini berkaitan dengan isu kelembagaan dan pembagian peran pengelolaan sampah masih belum terstruktur.

Pengelolaan sampah di kewilayahan masih sangat bergantung pada ketokohan (termasuk pendamping). Para tokoh dan pendamping ini tak selamanya menjabat atau tinggal di kawasan sehingga keberlanjutan sistem tak bisa selamanya bergantung pada mereka.

“Idealnya, setiap warga menjadi partisipan aktif sesuai dengan peran, minat, dan keterampilan masing-masing dalam perbaikan tata kelola pengelolaan sampah kawasan,” demikian catatan YPBB. 

Oleh sebab itu, YPBB terus merekomendasikan pemerintah untuk segera mengembangkan model dengan tata kelola ZWC yang holistik. Membangun kelembagaan dan sistem pembiayaan berkelanjutan untuk sistem pengumpulan terpilah dari sumber mesti menjadi prioritas; mulai dari penguatan regulasi dan kelembagaan dari tingkat kota hingga tingkat kelurahan, pengalihan dan pengorganisasian pembayaran petugas pengumpul sampah oleh pemerintah, pemberian wewenang dan tanggungjawab kelurahan atas pengumpulan terpilah, serta penerapan aturan pemilahan kawasan–termasuk mekanisme pengawasan dan sanksi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//