Membedah Potensi Wirausaha dari Sampah di UIN SGD Bandung
Tingginya timbunan sampah di berbagai daerah di Indonesia mendorong lahirnya wirausaha di bidang sampah.
Penulis Iman Herdiana17 Mei 2023
BandungBergerak.id - Konsep kewirausahaan terus mengalami perubahan, tak sekadar mencari untung secara mandiri melainkan berbasiskan budaya dan lingkungan. Konsep ini dibahas dalam Seminar Persiapan Karier 4 bertajuk Kewirausahaan Berbasis Budaya dan Lingkungan di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung.
Dalam seminar yang dihelat Unit Pelaksana Teknis Pusat Karier UIN SGD Bandung, Selasa (16/5/2023), itu hadir narasumber Maylanny Christin MSI, dosen Prodi S2 Ilmu Komunikasi Universitas Telkom, dan Rita Destiwati, dosen S1 Fakultas Komunikasi dan Bisnis Universitas Telkom.
Maylanny Christin membahas tentang nilia-nilai budaya dalam berwirausaha. Dengan mengutip budaya dalam berbisnis dari Pacanowsky dan O’donnell Trijulo sebagai pencetus teori budaya sebuah organisasi mengatakan, budaya adalah suatu cara hidup didalam sebuah organisasi.
“Budaya organisasi mencakup iklim atau atmosfer emosional dan psikologis. Budaya organisasi juga mencakup semua simbol mulai dari tindakan, rutinitas, percakapan dan sebagainya,” kata Maylanny, dikutip dari laman UIN SGD Bandung, Rabu (17/5/2023).
Geertz, lanjut Maylanny, menyatakan bahwa orang-orang adalah hewan yang bergantung dalam jaringan kepentingannya.
“Gambaran mengenai laba-laba bukan tanpa tujuan, ia yakin bahwa budaya seperti jaring yang dipintal oleh laba-laba. Yang artinya jaring ini terdiri atas desain yang rumit, dan tiap tiap jaring berbeda dengan yang lainnya,” katanya.
Sistem pemasaran juga bisa mengacu pada jaring laba-laba. Ada berbagai jaringan kepentingan yang bisa ditawarkan ke pasar.
“Untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan, termasuk barang fisik (physical goods), jasa (services), pengalaman (experiences), peristiwa (events), orang (persons), tempat (places), properti (properties), organisasi (organizations), informasi (information), dan ide (ideas),” jelasnya.
Maylanny kemudian mengulas cara mengingkatkan tingkat produk yang memerlukan hierarki nilai pelanggan (customer value hierarchy). Pertama, manfaat inti (core benefit). Layanan atau manfaat mendasar yang sesungguhnya dibeli pelanggan. “Seorang tamu hotel membeli istirahat dan tidur,” contohnya.
Kedua, produk dasar (basic product). Pemasar harus mengubah manfaat inti tersebut menjadi produk dasar. “Dengan demikian, kamar hotel meliputi tempat tidur, kamar mandi, handuk, meja tulis, meja rias, dan lemari pakaian,” paparnya.
Ketiga, produk yang diharapkan (expected product), yaitu beberapa atribut dan kondisi yang biasanya diharapkan pembeli ketika mereka membeli produk ini. “Tamu hotel mengharapakan tempat tidur yang bersih, handuk yang bersih, lampu baca, dan kadar ketenangan tertentu,” ujarnya.
Keempat, produk yang ditingkatkan (augmented product). Pemasar menyiapkan produk yang melampaui harapan pelanggan. Di negara-negara maju, persaingan dan penentuan posisi merek (Brand Positioning) berlangsung pada tingkat ini.
“Untuk negara-negara yang sedang berkembang, kebanyakan persaingan berlangsung pada tingkat posisi produk yang diharapkan (Product positioning). Contohnya fasilitas Wi-Fi, TV channel, ruang rapat,” paparnya.
Kelima, calon produk (potential product), Meliputi segala kemungkinan peningkatan dan perubahan yang mungkin akan dialami produk atau tawaran tersebut pada masa mendatang. Contohnya layanan antar jemput hotel-bandara, city tour.
“Kita ketahui secara bersama Rumah Makan Sunda yang awalnya warung tenda yang saat ini menjadi Restoran ternama. Ini sesuai dengan peribahasa sunda yaitu “cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok” (tetesan air menimpa batu lama-lama jadi berlubang): Upaya sedikit demi sedikit yang dilakukan terus menerus lama-lama akan membuahkan hasil,” tandasnya.
Baca Juga: Risiko Besar di Balik Praktik Membakar Sampah di TPA Cicabe
Pengangkutan Sampah di TPS Kota Bandung Terkendala Alat Berat
Darurat Sampah, Pemkot Bandung Seharusnya Menjalankan TPS Terpilah
Bisnis Sampah
Rita Destiwati mengulas tentang pentingnya berbisnis berbasiskan sehat lingkungan untuk menciptakan sehat ekonomi. Menurutnya, sampah yang dihasilkan 270 juta jiwa penduduk Indonesia mencapai 185.753 ton per hari.
Timbunan sampah yang menggunung menyebabkan pencemaran lingkungan dan menambah gas metana yang merusak lapisan ozon. Kasus ledakan gas metana dari gunung sampah pada tanggal 21 Januari 2005 di Cirendeu, Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, menjadi pelajaran pahit bahwa sampah berbahaya. Ledakan metana itu mengakibatkan 157 orang meninggal.
Sementara itu, tempat pembuangan akhir sampah masih jauh dari kategori Ideal. “Minimnya lahan yang luas berakibat tempat pembuangan sampah ada di permukiman padat penduduk. Keterbatasan sarana pengolahan sampah,” ujar Rita Destiwati.
Padahal, lanjut Rita, kita hahu ciri-ciri lingkungan yang sehat, bersih, dan teratur berkaitan dengan bersih udara, lingkungan, air, dan tanah. Dibutuhkan pengolahan sampah dan limbah yang ideal agar tercipta sanitasi dan kesehatan lingkungan.
Untuk itu, kewirausahaan pun harus berbasis pada kepedulian dan pelestarian lingkungan. Karena kewirausahaan lingkungan bisa membuat usaha baru yang inovatif, mandiri, dan berkonsisten dalam menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan.
“Kewirausahaan lingkungan bisa berbentuk pengelolaan bank sampah yang beprinsip pada pola 3R, yaitu reduce, reuse, recycle,” terangnya.
Jenis kewirausahaan lingkungan seperti bank sampah berpotensi meningkatkan ekonomi masyarakat. Sampah dapat ditampung, dipilah, dan disalurkan atau dijual.
“Adanya tabungan sampah yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan, seperti membayar sekolah, listrik, kesehatan, sembako, bahkan emas. Bank sampah tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga bagi kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Paling tidak ada lima usaha bisnis pada lingkungan; pertama, sebagi anggota, pengelola bank sampah di lingkungan masyarakat. Dengan demikian, ada partisipasi dalam mengurangi sampah dan mendapatkan manfaat ekonomi dari sampah yang ditabung.
Kedua, menjadi agen edukasi dan perubahan perilaku pada masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan prinsip 3R.
Ketiga, memanfaatkan media sosial atau kegiatan sosial dalam menyebarkan informasi dan kesadaran tentang pentingnya bank sampah bagi lingkungan dan kesejahteraan. Keempat, menjadi inovator dan kreator dalam menciptakan produk-produk baru yang bernilai guna dari sampah yang didaur ulang.
Kelima, memanfaatkan kreativitas dan pengetahuan mereka untuk merangkai sampah menjadi barang-barang yang bermanfaat, seperti tas, vas bunga, pupuk kompos, dan lain-lain.