• Opini
  • Apakah Gerakan Semangka Ampuh untuk Menekan Israel?

Apakah Gerakan Semangka Ampuh untuk Menekan Israel?

Tak apa-apa untuk mengganti foto profil menjadi gambar semangka sebagai solidaritas pada Palestina, tapi mari kita dorong lebih jauh lagi.

Muhammad Andi Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Ilustrasi serangan militer Israel terhadap bangsa Palestina. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

7 November 2023


BandungBergerak.id – Akhir Juni 2023, Zazim, sebuah organisasi masyarakat Arab-Israel, meluncurkan kampanye untuk memprotes penyitaan bendera Palestina. Mereka memasang gambar semangka pada 16 van taksi yang melaju di kota sepanjang hari, disertai teks yang sangat menggigit: “This is not a Palestinian flag.” Direktur Eksekutif Zazim, Raluca Ganea, mengatakan, “… Kami bakal selalu menemukan cara untuk menghindari larangan yang tak masuk akal…"

Secara historis, mengibarkan bendera Palestina di Israel merupakan sebuah kejahatan. Jadi semangka, yang melimpah secara lokal dan berwarna serupa, telah puluhan tahun menjadi simbol subversif Palestina. Kini semangka mencuat lagi dan lebih meluas, khususnya berkat media sosial. Para pengguna — mulai dari warga biasa hingga tokoh terkemuka — mem-post emoji, gambar, dan karya seni semangka sebagai simbol solidaritas terhadap Palestina.

Sejauh ini, kepahitan dan kematian di Gaza terus bertambah. Kita melihat bagaimana kaum barbar bukan hanya melukai dan membunuh, tapi juga berusaha keras untuk menimbulkan rasa sakit, menyiksa, dan mempermalukan warga sipil. Mereka bersukacita atas penderitaan musuh-musuhnya, memotret korban yang menangis dan ketakutan, kemudian menari-nari di sekitar barisan mayat.

Mirisnya lagi, setidaknya selama dua minggu pertama sejak konflik meletus, lebih dari 3.450 anak terbunuh dan nyaris 6.000 lainnya terluka. Jumlah itu bahkan belum termasuk mereka yang disandera dan mengalami trauma. Masa depan, bagi mereka, terlihat seperti abu yang melayang-layang tanpa harapan. UNICEF kini menyebut Gaza sebagai “kuburan bagi ribuan anak-anak”. Ini adalah neraka bagi semua orang.

Para jurnalis, yang semestinya mendapat perlindungan khusus di tengah konflik, sama sekali tak kebal terhadap serangan — seperti semua orang lainnya di Gaza. Penyelidikan Committee to Protect Journalists (CPJ), per 3 November 2023, menunjukkan sedikitnya 36 jurnalis dan pekerja media telah terbunuh sejak serangan 7 Oktober. Mereka bukan hanya menghadapi serangan darat dan udara, tapi juga gangguan komunikasi dan pemadaman listrik.

Pada sudut lain, para dokter dan relawan di Gaza mengeluh bahwa mereka telah diabaikan oleh masyarakat internasional. Sebagai tenaga medis, mereka berjuang untuk bertahan dan mempertahankan hidup orang lain. Sekitar sepertiga rumah sakit di Gaza tak lagi beroperasi, sehingga fasilitas yang tersisa berada di bawah tekanan besar. Ada laporan bahwa beberapa operasi dilakukan tanpa obat bius dan menggunakan cuka sebagai disinfektan.

Sementara itu, air bersih yang ada begitu cepat habis, memaksa sebagian besar warga Gaza untuk mengandalkan sumur yang tercemar. Akibatnya, mereka mungkin bisa bertahan dari konflik bersenjata, tapi mereka berisiko mengalami wabah penyakit yang ditularkan melalui air. Tanpa pemulihan cepat terhadap akses air minum, anak-anak adalah yang paling rentan meninggal karena dehidrasi parah.

Pengiriman pasokan kemanusiaan masih terbatas, jauh dari kata cukup mengingat makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar terus terkuras. Presiden Amerika Serikat Joe Biden telah menyerukan “jeda kemanusiaan” agar pasokan bantuan dapat dikirimkan secara cepat dan aman. Namun, Israel menolak seruan tersebut dengan alasan bahwa gencatan senjata akan menguntungkan Hamas.

Dengan kondisi yang sudah separah itu, apa yang dapat dilakukan oleh serbuan gambar dan emoji semangka? Meskipun Israel, tentu saja, tak akan merasa tertekan, saya pikir “gerakan semangka” memang harus terus berlangsung hingga ke tepiannya. Ini sepertinya merupakan gerakan yang lebih sukses dibandingkan seruan politisi dalam hal memengaruhi khalayak di seluruh dunia. Mari saya jelaskan.

Baca Juga: Seruan Palestina Merdeka dari Ibu Kota Asia Afrika terus Menggema
Organisasi-organisasi Pewarta Dunia Mengutuk Pembunuhan Jurnalis dalam Serangan Israel ke Palestina
Palestina dan Netizen yang Nirempati dalam Bermedsos

Sejarah Semangka sebagai Simbol Palestina

Pada Juni 1967, usai Perang Enam Hari dan pendudukan Tepi Barat, Israel melarang bendera Palestina di dalam perbatasannya untuk menghalangi nasionalisme Palestina. Siapa pun yang melanggar pelarangan tersebut, mereka akan dipenjara. Tiga orang seniman yang berada di Ramallah tahun 1980-an pernah ditangkap gara-gara masalah ini. Petugas Israel bersikeras bahwa bendera Palestina dan warna-warnanya dilarang.

Salah satu seniman lantas bertanya bagaimana jika yang digambar adalah bunga berwarna merah, hijau, hitam, dan putih. Seorang petugas spontan menjawab, “Itu akan tetap disita. Bahkan jika kau melukis semangka, itu akan disita.” Dari sinilah para seniman mulai melukis semangka, yang seiring waktu menjadi simbol subversif Palestina.

Setelah Perjanjian Oslo tahun 1993, di mana pembatasan terhadap warga Palestina di Israel menjadi semakin longgar, larangan pengibaran bendera Palestina seharusnya sudah hilang. Dan memang, saat itu bendera-bendera Palestina mulai bermunculan di seluruh jalur Gaza dan Tepi Barat. Namun, para pemimpin terkemuka Israel tak menyukainya sehingga mereka berusaha melarangnya kembali.

Januari kemarin, menteri keamanan nasional Israel memberi wewenang kepada polisi untuk menyita bendera Palestina jika itu dianggap menghasut atau mengganggu ketertiban umum. Pemerintah Israel bahkan berupaya untuk menindaklanjutinya menjadi undang-undang, tapi sebelum itu benar-benar terjadi, simbol semangka sudah terlanjur menyebar luas. Sekarang orang bertanya-tanya apakah Israel juga akan melarang simbol semangka.

Biarpun larangan pengibaran bendera Palestina benar adanya, cerita mengenai asal-muasal semangka sebenarnya cukup meragukan. Beberapa ahli menduga bahwa cerita yang saat ini beredar di media massa merupakan kombinasi antara fakta dan mitos yang keasliannya sulit dikonfirmasi. Terlepas dari adanya keraguan ini, kebenaran sejarahnya telah menjadi nomor dua. Orang-orang sudah terlanjur mengadopsi buah ini sebagai simbol solidaritas Palestina.

Lagi pula, bagaimanapun kebenarannya, kisah semangka cukup menyedihkan sekaligus lucu. Selain pelanggaran nyata terhadap kebebasan berpendapat, pemerintah Israel tampaknya kurang memahami konsep lainnya yang lebih mendasar: kebebasan berpikir. Bendera boleh dicopot atau bahkan dibakar, tapi mereka tak akan bisa melucuti identitas dan pikiran warga Palestina.

Masalahnya bukan pada bendera; ini adalah tentang rangkaian cerita, sejarah, dan aspirasi. Sama seperti bendera Palestina melambangkan kebebasan bagi warga Palestina, bendera ini juga melambangkan ketakutan dan kebencian bagi Israel. Mereka telah lama berupaya buat menghapus jejak identitas Palestina, tapi selama masih ada orang Palestina, upaya tersebut akan sia-sia. Itu tak membuat orang-orang Palestina pergi.

Sebagaimana ujar Direktur Eksekutif Zazim di awal, bagaimanapun pencekalannya, mereka akan selalu menemukan cara lain untuk mengekspresikan diri mereka.

Bisakah Gerakan Semangka Menghentikan Perang?

Tidak, tentu saja tidak. Kita harus mengakui bahwa media sosial telah beberapa kali, bahkan cukup sering, membantu para aktivis dan kaum akar rumput dalam melancarkan gerakan di era kontemporer. Namun, kita juga tak boleh naif. Isu kelaparan di Afrika telah mengundang simpati dunia sejak lama, terbukti dari jumlah tagar, tapi warga Afrika tetap kelaparan. Saat pemerintah Iran menganggap X terlalu merepotkan, mereka mematikannya begitu saja.

Seruan Presiden AS Joe Biden untuk “jeda kemanusiaan”, sebagaimana telah saya tunjukkan sebelumnya, bahkan ditolak begitu mudahnya oleh Israel. Apa yang bisa kita harapkan dari serbuan emoji semangka untuk menghentikan perang?

Tapi, memang bukan itu tujuan intinya.

Saat ini, simbol semangka merupakan sesuatu yang mendasar dalam menggerakkan banyak orang, ribuan atau ratusan ribu orang, untuk memasuki kehidupan satu sama lain di sekitar visi bersama. Perubahan tak akan terjadi lewat cuitan. Bagaimanapun, bukan berarti media sosial tak punya tempat dalam perjuangan dan pemulihan kemanusiaan. Perubahan, cepat atau lambat, harus dimulai dari suatu tempat.

Bagi banyak orang, ini kemungkinan besar dimulai dengan emoji semangka.

Jadi saya pikir, menyerang pengguna media sosial yang mengikuti tren ini bukanlah hal yang produktif. Entah mereka memiliki niat murni atau sekadar tren, itu tak terlalu jadi masalah. Setidaknya, masyarakat tak tinggal diam. Apa yang penting seusai ini adalah bagaimana kita bisa mendorong orang untuk berbuat lebih banyak. Tak apa-apa untuk mengganti foto profil menjadi gambar semangka, tapi mari kita dorong lebih jauh lagi.

Cobalah luangkan waktu untuk terus mengawal apa yang terjadi di Gaza. Bagi yang mampu, sumbangkanlah uang atau bentuk-bentuk material lainnya ke badan amal. Minimal, doakan mereka yang tengah histeris bertahan hidup di sana. Bagi penulis yang andal dalam bidang politik internasional, ini adalah waktu yang tepat untuk menulis soal dukungan kemanusiaan di Gaza, melawan narasi media yang merugikan, mengungkit konteks yang jarang dibahas.

Lakukan apa pun, secara konkret, untuk membantu warga Gaza. Saya tak menyebut khusus warga Palestina atau Israel. Apa pun kewarganegaraan mereka, terutama warga sipil serta anak-anak, mereka membutuhkan bantuan kita.

Intinya, jangan pernah hanya mengandalkan emoji semangka untuk menyelamatkan dunia.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyahserta artikel-artikel lain bertema politik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//