• Buku
  • RESENSI BUKU: “Ngejah” Surat-surat Haji Hasan Mustapa untuk Snouck Hurgronje

RESENSI BUKU: “Ngejah” Surat-surat Haji Hasan Mustapa untuk Snouck Hurgronje

Buku Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-Surat Haji Hasan Mustapa untuk Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923 karya Jajang A Rohmana mengupas manuskrip Nusantara.

Sampul depan buku Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-Surat Haji Hasan Mustapa untuk Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923 karya Jajang A Rohmana terbitan Octopus (2023). (Foto: Ibn. Ghifarie)

Penulis Ibn Ghifarie 12 November 2023


BandungBergerak.id – Di tengah minimnya minat mahasiswa, dosen, sarjana Barat (Australia, Belanda) terhadap kajian manuskrip Nusantara. Absennya ketidakhadiran Pusat Kajian Manuskrip Keagamaan Nusantara. Proses digitalisasi naskah kuno yang dilakukan oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) di laman Khasanah Pustaka Nusantara (Khastara) Perpustakaan Nasional.

Ada 8.989 koleksi yang terdapat pada website Khastara yang dibagi dalam enam kategori; naskah kuno, buku langka, peta, foto, gambar dan lukisan, majalah dan surat kabar langka dan sumber lainnya.

Untuk koleksi naskah kuno (837 judul); koleksi buku langka (144 judul); peta (1.548 judul); foto, gambar dan lukisan (5.716 judul) majalah dan surat kabar langka (79 judul); 663 judul untuk sumber lainnya.

Data yang diunggah ke dalam situs ini merupakan koleksi Perpustakaan Nasional yang digitalisasi sejak 2012. Sayangnya, pada 2016 data-data digital itu mengalami gangguan, bahkan sebagian besar koleksi digitalnya menghilang. (Kompas, Rabu, 18 September 2019 | 08:08 WIB)

Rupanya kehadiran buku Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-Surat Haji Hasan Mustapa untuk Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923 karya Jajang A. Rohmana diharapkan dapat membawa angin segar demi merawat, memelihara manuskrip Nusantara dan berusaha mewujudkan wajah Islam toleran dan moderat.

Pasalnya, dengan melakukan penelitian manuskrip Islam Nusantara kita dapat membuktikan secara empirik tentang ajaran Islam Nusantara itu toleran, rukun, moderat, cinta perdamaian. Apalagi Islam Nusantara itu mampu berdialog dengan keragaman dan berusaha menghubungkan antara lokalitas dengan globalitas. Terutama Islam yang datang dari Arab bisa berdialog dengan Jawa, Sunda, Aceh, Minangkabau, Lombok, Bugis, Ambon dan lain-lainnya.

Buku ini terdiri dari enam bagian, dilengkapi dengan daftar singkatan, daftar gambar surat, daftar pustaka yang kaya, indeks yang membantu pembaca. Bagian kesatu, pendahuluan, mengurai latar belakang, kajian Haji Hasan Mustapa (HHM), Surat-surat zaman kolonial, argumen teoritis yang tajam, alasan pemilihan surat-surat Penghulu Bandung.

Bagian kedua, mengulas ihwal sosok ulama mahiwal, karya-karyanya dan persahabatan lama Sunda dengan Snouck Hurgronje. Bagian ketiga, mengenai naskah surat-surat kelahiran Cikajang Garut yang inventarisasi, deskripsi, asal-usul, sistem penanggalan, sistematika penyususan edisi teks, pentingnya dan funfsui naskah di tengah-tengah masyarakat, ringkasan isi naskah.  

Bagian keempat, menyoal suntingan teks dan terjemahan yang menegaskan pertanggungjawaban edisi, panduan terjemah teks Cod. Or. 8952. Bagian kelima, mengeja ulasan atas teks surat-surat pujangga Sunda yang berusah menghadirkan perkembangan tarekat di Jawa, pertemuan Snouck dengan Mustapa di Mekah, soal kabar keluarga Snouck di Priangan, kiriman naskah-naskah Nusantara kepada Snouck di Belanda, kiriman naskah karya HHM kepada Snouck di Belanda, jalinan persahabatan yang dirindukan.

Bagian keenam, simpulan yang meneguhkan kembali pesan orang Sunda yang mengagumi karya-karya bujangga Sunda (HHM) yang mengagumi kerja intelektual Snouck melalui manuskrip surat-suratnya.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Upaya Sia-sia Mengikuti Standar Orang
RESENSI BUKU : Puizine Ketam, Mengarsipkan Keseharian yang Tidak Pasti
RESENSI BUKU: Bersimpuh di Ujung Perjalanan

Merawat Asa

Upaya merawat asa filologi Islam Indonesia, dalam Kata Pengantar buku ini, Prof. Oman Fathurahman mengakui atas memudarnya minat akademisi terhadap kajian manuskrip Nusantara, hingga sejarawan Asia Tenggara, Anthony Reid, mengeluhkan terjadinya penurunan minat dan perhatian terhadap kajian teks-teks Indonesia, khususnya oleh sarjana-sarjana di Eropa dan Australia, yang sebelumnya banyak memberikan kontribusi keilmuan di bidang filologi.

Parahnya, hasil evaluasi lembaga KITLV di Leiden tahun 2011 diputuskan bahwa kajian-kajian tentang Indonesia klasik tidak lagi menjadi fokus utama, digantikan oleh kajian-kajian isu kontemporer dan populer. Masalah utamanya peminat kajian di kalangan sarjana Eropa dan Indonesia memang menurun. (h.xii)

Untuk di Leiden sendiri pasca pensiun Ben Arps, Willem van der Molen ikhtiar mengkaji manuskrip Nusantara sepenuhnya diserahkan kepada Indonesia sendiri sebagai ahli waris khazanah keilmuan yang membanggakan ini. Bila sarjana-sarjana bumi pertiwi sudah tidak berminat melanjutkan tradisi kesarjanaan di bidang kajian teks-teks milik bangsa sendiri, maka jangan salahkan, jika kelak kajian filologi Indonesia hilang dari diskursus akademik global.

"Dalam kontek inilah saya mengapresiasi buku Informan Sunda Masa Kolonial yang ditulis oleh Jajang A Rohmana. Buku ini jelas sepertinya akan memenuhi harapan Reid yang menggap bahwa kajian teks Indonesia klasik hampir selalu mampu menghadirkan perspektif lokal tentang sebuah peristiwa sejarah. Bagi para sejarawan, perspektif lokal ini sangat penting untuk mengimbangi melemahnya sumber-sumber bacaan Barat dan Eropa." (h.xiii)

Kehadiran sumber-sumber sejarah berupa surat-surat HHM (1852-1936) kepada Snouck (1857-1936). Tentunya seorang filologis, Jajang berusaha menghadirkan edisi teks yang disuntingnya melalui sebuah pertanggungjawaban metodologis, lengkap dengan terjemahannya. Pekerjaan ini sudah masuk ke dalam diskursus sejarah sosial-intelektuan yang melingkupi teks dengan cara mendiskusikan dan mengkontekstualisasikan hasil suntingan teksnya.

"Bagi saya, apa yang dilakukan Jajang ini sangat menarik, karena pada masa sebelumnya, kajian-kajian filologi Indonesia, baik oleh sarjana Eropa maupun Indonesia sendiri, lebih banyak memutuskan perhatian pada upay menyediakan edisi teks dan terjemahannya, tanpa lebih jauh mendiskusikan konteks sosial historisnya. Memang, pekerjaan menyusun edisi teks saja sudah membutuhkan daya dan upaya yang tidak sederhana. Jika ditambah dengan kajian dan anaslisis konteks kesejarahannya, perlu tenaga dan keterampilan ekstra melakukannya. Itu mengapa saya sering menyebut pekerjaan semacam ini sebagai filologi plus." (h.xiii)

Surat-surat HHM yang menjadi sumber utama buku ini tidak saja memberikan informasi peristiwa yang dituliskannya tetapi juga memberikan gambaran sejauh apa tingkat keserjanaan sarjana pribumi semacam Haji Hasan Mustapa pada awal abad ke-20. Ulama Sunda ini jelas seorang sarjana pribumi yang sangat terpelajar, menguasai bahasa Arab dengan baik, selain bahasa Melayu, Sunda dan Aceh yang digunakannya untuk menulis.

Walhasil, Jajang mampu membuktikan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Hasan tentang istri dan keturunan Snouck di Priangan yang sebelumnya diungkap van Koningsveld. "Di sini ia berhasil mengungkap informasi pribadi yang boleh jadi sangat dirahasikan Snouck Hurgronje, sehingga lebih tergambar bagaimana kedekatan Hasan Mustapa dengan Snouck Hurgronje, baik sebagai informan, sahabat maupun orang orang kepercayaan yang diberi amanah mengawasi kondisi istri dan anak-anaknya di Priangan. Kontekstualisasi surat-surat yang dilakukan oleh Jajang mempu mendudukan teks dalam ruang dan waktu yang tepat dimana surat-surat itu dahulu ditulis." (h.xiv)

Sosok Penghulu

Hasan Mustapa lahir di Cikajang Garut pada 1852 dan meninggal tahun 1930 di Bandung. Ia dikenal sebagai Sastrawan Sunda terbesar yang menduduki jabatan penting di lingkaran birokrasi kolonial Hindi Belanda. Ia pernah menjabat sebagai penghulu Aceh dan Bandung, hingga pensiun. Kehidupannya dihabiskan di sepanjang akhir periode cultuurstelsel dan politik etis, hingga awal masa pergerakan nasional.

Latar belakang kehidupan Hasan Mustapa tidak lepas dari dunia pesantren dan tarekat. Sejak kecil ia dididik di pesantren yang dekat dengan jaringan tarekat di tatar Sunda. Tidak sedikit dari keluarga ibunya berasal dari ulama pesantren sekaligus penganut tarekat, seperti KH. Hasan Basri (Kiarakoneng Suci, Garut) dan Kiai Muhammad (Cibunut, Karangpawitan Garut). Dalam karyanya Adji Wiwitan, Istilah Hasan Mustapa menceritakan pengalamannya menjadi santri kelana (wandering santris) ke sejumlah pesantren:

"Kaula keur leutik diguru Embah Haji Hasan Basari, Kiarakoneng, mashur maca qur'anna satengah hafad...Pindah deui ngaji sarap nahu nu leutik di Juragan Panghulu pareman, Raden haji Yahya, Garut...Pindah deui kaula ka Tanjungsari, Sumedang, pasantren Kiai Abdul Hasan (Sawahdadap)...Pindah deui ka Cibunut, Kiai Muhammad Garut...Datang deui guru anyar, paman Muhammad Idjra'i, mantuna pangajaran Kiai Abdulkahar (Dasarema Surabaya), Kiai Khalil (Bangkalan Madura)" (h.20)

Raden Haji Yahya dan KH. Hasan Basari (w.1865) merupakan murid Kiai Mulabaruk dari Sukawening Garut. Ia adalah ulama ahli tafsir yang menguasai perlbagai karya kunci Al-Baidhawi, Imam Nawawi dan Ibrahim al-Fairuzabadi. Ia mampu menempatkan para muridnya di seluruh Priangan setelah mereka belajar dari Mekah lalu ke madura.

Guru Hasan Mustapa berikutnya adalah Kiai Muhammad Garut dari Cibunut. Hasan menjadi muridnya sejak masih di Pringan. Kiain Muhammad Garut adalah anak KH. Hasan Basri, murid Kiai Mulabaruk. Ia dianggap tokoh penting paling representatif dalam tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Jawa Barat yang terhubung dengan Syeikh Khatib Sambas (1803-1875). Snouck dalam catatannya selama di Mekah (1884-1885) menyebut Muhammad Garut sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan Jawa dan Mekah.

Meski menguasai Bahasa Arab dan Fiqih, tetapi minat utamanya mistisisme (tasawuf). Sekitar 60-70 orang Jawa dan Sunda di Mekah taat betul kepadanya dan banyak jemaah haji yang setiap tahun memberinya sesuatu demi mengharap berkah. Hubungan Hasan Mustapa dengan Muhammad Garut semakin erat karena gurunya itu dipercaya menjadi pengganti KH. Muhammad Adra'i (Idjra'i), guru Hasan Mustapa lainnya.

Sampul belakang buku Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-Surat Haji Hasan Mustapa untuk Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923 karya Jajang A Rohmana terbitan Octopus (2023). (Foto: Ibn. Ghifarie)
Sampul belakang buku Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-Surat Haji Hasan Mustapa untuk Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923 karya Jajang A Rohmana terbitan Octopus (2023). (Foto: Ibn. Ghifarie)

Surat-surat HHM

Surat-surat Hasan Mustapa umumnya ditunjukan pada figur kolonial yang sebut Fogg sebagai Bapak kajian Islam di Indonesia, Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936). Seorang penasihat Belanda yang pernah tinggal di Jeddah dan Mekah (1884-1885), lalu menetap lama di Hindia Belanda (1886-1906). Ia memiliki pengetahuan mendalam tentang Islam Indonesia dan dinggap berhasil dalam mempengaruhi kebijakan Belanda.

Scouck tetap melancarkan pengaruh yang tak putus-putusnya, walaupun samar-samar, lama setelah kepulangannya dari Indonesia tahun 1906. Hasan Mustapa diyakini memiliki peran penting dalam memasok informasi perkembangan Hindia Belanda melalui surat-surat yang dikirimnya kepada Snouck setelah kepulangannya itu.

Surat-surat Hasan Mustapa kepada Snouck Hurgronje umumnya ditulis dalam bahasa Arab, Melayu, dan menyisipkan sejumlah kata, kalimat dalam bahasa Sunda, Jawa, Belanda dan Aceh. Hal ini berbeda dengan karya-karya prosa dan puisi Hasan Mustapa yang umumnya ditulis dalam bahasa Sunda. Sebagian kecil saja yang ditulis dalam bahasa Arab, Melayu dan Jawa.

Surat-surat Hasan Mustapa semuanya disimpan di Universiteitsbibliotheek (UB) Leiden. Tidak diketahui berapa jumlah keseluruhannya, tetapi beberapa sarjana menyebutkan bahwa hampir setiap pekan ia berkirim surat kepada Snouck. Ia diyakini menjadi saksi penting perubahan Aceh setelah kepergian Snouck dari Acek ke Batavia. Diakui sendiri oleh Snouck dalam salah satu nasihatnya kepada pemerintah kolonial:

"Dari permulaan pemukimannya di Aceh dan selama hampir tiga tahun kegiatan kerjanya di sana, penghulu kepala tersebut (Haji Hasan Mustapa, pen) dengan kegiatan yang tak henti-hentinya telah memperoleh pengetahuan tentang keadaan dan tokoh-tokoh di Aceh. Surat-surat yang lebih kurang seminggu sekali saya terima dari dia, tetap menjadi saksi untuk hal itu dan merupakan saran yang paling penting bagi saya untuk membentuk gambaran yang jelas bagi saya tentang perubahan-perubahn yang terjadi setelah keberangkatan saya dari Kutaraja." (h.3)

Terdapat dua jenis surat-surat Hasan Mustapa, Cod.Or.18.097 berupa surat-surat yang ditulisnya saat menjadi Hoofd Penghulu (Penghulu Kelapa) di Kutaraja, Banda Aceh sekitar dua tahun sembilan bulan (1893-1895) dan Cod.Or. 8952 kumpulan surat-surat yang dikirimkan saat Hasan Mustapa menjabat Penghulu Besar Bandung (1895-1917), saat pensiun dan beberapa tahun sebalum ia meninggal (surat terakhir tanggal 9 Agustus 1923). Cod.Or.18.097 berjumlah sekitar 43 surat (198 halaman ditambah 20 amplop), sedangkan Cod.or.8952, berjumlah 18 surat (102 halaman ditambah 7 amplop). Kajian ini memfokuskan pada jenis kedua surat-surat Hasan Mustapa, Cod.Or.8952. (h.4-5)

Kajian atas surat-surat Snouck pernah dilakukan oleh Bruijn, terutama yang ditujukan kepada Herman Bavinck, seorang Teolog Kristen asal Belanda. Van Koningsveld yang paling banyak melakukan kajian surat-surat Snouck, khususnya yang ditujukan pada Noldeke, Goldziher dan surat-surat yang disimpan di perpustakaan di Perancis, Jerman, Swedia dan Belanda.

Salah satu hasil kajian Van Koningsveld behasil mengungkap motif keislaman Snouck yang diakuinya kepada Noldeke, sehingga sempat memicu sejumlah polemik. Pasalnya, van Koningsveld yang pertama membuka sejumlah informasi pribadi Snouck tentang istri-istri dan anak-anaknya di Priangan yang ditinggalkannya, sehingga memunculkan pandangan miring tentang moralitasnya dalam memperlakukan keluarga.

"Meski menggunakan sumber data yang berbeda, tetapi kajian ini berusaha mengkonfirmasi kajian Van Koningsveld tersebut dilihat dari informasi yang didapatkan dalam surat-surat Hasan Mustapa tentang keluarga yang ditinggalkannya. Kiranya hanya Hasan Mustapa yang dinyakini diberi kepercayaan luar biasa oleh Snouck untuk terus memantau dan memberi kabar tentang istri dan anak-anaknya melalui surat." (h.6-7)

Dalam konteks studi tentang  dokumen surat-surat di Nusantara, studi ini tidak bisa dilepaskan dari sejumlah kajian sarjana yang lebih dahulu melakukan kajian, di antaranya: Annabel Teh Gallop mengkaji signifikasi warkah diraja Melayu abad ke-16 (1994) yang tidak sekedar mencerminkan keindahan seni hiasan dan estetika melayu; Titik Pudjiastuti tentang Surat-surat Sultan Banten abad ke-17-19, terutama seputar sejarah peperangan, hubungan dagang dan persahabatan dengan pihak kolonial  (2007); van der Putten atas surat-surat Raja Ali Haji kepada von de Wall (2007); Mujizah atas surat-surat Melayu beriluminasi abad ke-18 dan 19 (2006); Uli Kozak tentang peran penting surat-surat Nommensen, penginjilan kolonial dan perlawanan Sisingamangaraja XII di tanah Bata jelang alhir abad ke-19 (2009); Suryadi menyoal surat-surat diplomatik yang ditulis oleh Sultan Bima (2010) dan Buton (2007), Syadiidah yang mengkaji surat-surat Sultan Ternate (2014), M. Nida Fadlan surat-surat Eyang Hasan Maolani selama pengasingan di Tondano (2016).

"Dalam konteks situasi era kolonial, surat-surat hasan Mustopa sangat signifikan untuk menjelaskan pendangan dan peranannya sebagai informan sekaligus sahabat Snouck dalam menyampaikan informasi seputar keluarga yang ditinggalkannya, latar budaya dabn situasi sosial-politik keagamaan di Hindia Belanda." (h.11)

“Karenanya, membaca konteks surat-surat Hasan Mustapa kepada Snouck tidak bisa dilepaskan dari sejarah sosial-intelektual yang terjadi dalam ruang dan waktu tertentu di sekelilingnya. Sebaliknya, surat-surat Hasan Mustapa tersebut juga dianggap ikut berperan dalam menentukan konteks perjalanan sejarah sosial itu sendiri. Ia mencerminkan kuatnya peran dan kedudukan Hasan Mustapa sebagai informan sekaligus sahabat colonial bagi Snouck yang memiliki posisi penting di peterintahan Hindia Belanda.” (h.13)

“Kajian ini memberikan penekanan kuat pada keterjalinan hubungan Hasan Mustapa dengan Snouck sebagai informan kolonialnya yang didasarkan oleh nilai persahabatan yang dibangun dalam rentan waktu yang lama. Sebuah persahabatan yang tidak saja dilandasi muatan teologis keagamaan tetapi juga ikatan sosial politik dan kekerabatan. Dengan perspektif tersebut, gagasan dan informasi dalam surat-surat hasan Mustapa diperlakukan sebagai sesuatu pemikirna yang berkontribusi pada pembentukan pandangan Snouck tentang bansga jajahan dan pada gilirannya mempengaruhi kebijakan pemerintah kolonial sendiri. Ini sedikitnya sudah dibuktikan dari fatwa Hasan Mustapa semasa menjadi penghulu di Aceh 91892-1895) tentang kewajiban kaum muslim untuk taat pada pemerintah Belanda. Posisi Hasan Mustapa dan elit pribumi lainya sebagai informan terpercaya pada gilirannya berpengaruh pula terhadap posisi Snouck dalam mempengaruhi kebijakan belanda, terutama dalam menghadapi perang Aceh. Sesuatu yang oleh Snouck sendiri sengaja tidak dimunculkan.” (h.14).

Secara secara kronologis, Surat-surat Hasan Mustapa ini dikelompokan dalam tiga periode: saat menjadi Penghulu Aceh (satu surat), saat menjadi Penghulu Bandung (13 surat), dan saat pensiun (4 surat). Inilah daftar rincian surat-surat Hasan Mustapa;

1) Tanggal 14 Februari 1894 (sebagai Penghulu Aceh); 2) Tanggal 21 September 1907 (sebagai Penghulu Bandung); 3) Tanggal 1 Januari 1911; 4) Tanggal 23 Februari 1911; 5) Tanggal 15 April 1911; 6) Tanggal 27 Januari 1912; 7) Tanggal 29 Maret 1912; 8) Tanggal 13 September 1912; 9) Tanggal 14 Oktober 1913; 10) Tanggal 25 Oktober 1913; 11) Tanggal 4 November 1913; 12) Tanggal 12 Agustus 1915; 13) Tanggal 7 Mei 1916; 14) Tanggal 21 Juli 1917; 15) Tanggal 9 Maret 1920 (setelah pensiun); 16) Tanggal 1 Januari 1921; 17) Tanggal 10 Februari 1923; 18) Tanggal 9 Agustus 1923.

Dalam surat tanggal 4 Nopember 1913, Hasan Mustapa menyebutkan kedekatannya dengan Hazeu yang membayar lunas ongkos pengganti 4 jilid naskah yang dikirimkan kepada Snouck di Belanda.

Dalam istilah, Hasan Mustapa menjelaskan kesan dan penilainnya terhadap para pejabat Belanda yang dianggap sangat menyayanginya:

“Nu peryoga ti bubudak, kanyaah Tuan K.F. Holle, kasambang ku Tuan Doktor Branders, bujangga Eropa, tepi ka maotna di Batawi. Ku Tuan Dr. van Ronkel nu dipindah ti Batawi ka Padang, jadi bujangga basa di Malayu. Ku Tuan Dr. Hazeu, Direktur Onderwijs en Eredienst, sarta Adviseur voor Inlandshezaken; ku Tuan Dr. Rinkes, Adviseur voor Inlandshezaken, sarta kepala pengurus Kumisi voor de Volkslectur kapinteran bumiputra Hindia Nederlan. Jaba ti eta loba deui kabeh nyaraaheun, lain ku pinterna kaula, tapi ku prihatinna ku sabarna. Malah telahan Tuan Dr. van Ronkel, disebut kapala sabar. (h.24) 

Bukti persahabatan Snouck dengan Hasan Mustapa dapat dilihat pada mengusulan pengakatan Hasan Mustapa kepada Gubernur Militer dan Sipil Aceh, Jenderal Deykerhoff, tertanggal 26 Oktober 1892 untuk menjadi penghulu di Kutaraja Aceh setelah menyisihkan calon penghulu asal Pontianak.  

“Haji Hasan Mustapa telah saya kenal dari dekat sejak kurang lebih 10 tahun dan selama waktu itu rasa hormat saya terhadap watak dan bakatnya yang benar-benar langka, semakin bertambah. Pemukimannya selama 13 tahun di negara Arab-tempat saya berkenalan dengan dia—didahului oleh telaah beberapa tahun di Priangan, kampung halamannya, telah menyebabkan ia mencapai tingkat yang luar biasa tingginya mengenai syariat Islam untuk daerah-daerah ini. Di negara Arab maupun sesudah ia pulang ke kampong halamannya pada 1885, ia seorang guru yang dihormati dan dicintai. Beberapa karya telah diterbutkannya dalam Bahasa Arab.” (h.36)

Haji Hasan Mustapa menceritakan kesannya terhadap sahabat kolonialnya,

“…bangsa Eropah nu pangkat Profesor Doktor, saperti ieu nu maparin surat sertipikat dulur kaula geus 40 taun…C. Snouck Hurgronje, sarta kabaca kapujian kaula, ti sobat raket, nu silih belaan salawasna keur deukeut keur jauh, sanajan papisah jauh, sabaraha anggangna ti Kaum Bandung tanah Priangan Jawa ka Leiden tanah Netherland Eropah. Kajeun wayahna bae da geus silih belaan, sili cekelan ditambah ku tedak dipikanyaan ku Belanda.” (h.39)

Salah satu kabar penting yang disampaikan Hasan Mustapa, misalnya mengenai aliran tarekat yang berkembang di Jawa. Dalam surat tanggal 21 September 1907, ia menyatakan bahwa G.A. Hazeu (1870-1929)  bertanya  kepadanya tentang aliran tarekat yang dianggap bisa membahayakan bagi rakyat dan pemerintah kolonial.

Pasalnya, aktivitas tarekat semakin meningkat seperti yang terjadi pada peristiwa Cianjur 1885 dan puncaknya terjadi pemberontakan di Cilegon Banten 1888. Setelah kejadian itu para pejabat kolonial semakin mengawasi kegiatan para penganut tarekat, termasuk mereka yang akan berangkat dan pulang dari ibadah haji.

Dalam surat itu jelas Hazeu tampak merasa khawatir dengan keberadaan Kiai Saleh dari tarekat Akmaliyah dan Haji Husen Beru Selebes dari tarekat Muhammadiyah. Hazeu khawatir sekiranya mereka membahayakan rakyat dan pemerintah kolonial.

"Hasan Mustapa menjawab bahwa aliran tarekat tersebut tidak perlu dikahawatirkan dan dianggap berbahaya karena bisa mengganggu keamanan negara. Kekhawatiran tersebut menurutnya datang dari para priayi dan ambtennar yang merasa cemburu dan iri pada ahli tarekat tersebut karena umumnya mereka lebih dirormati oleh masyarakat. Salah seorang pejabat pribumi (penghulu) yang termasuk anti tarekat adalah Sayyid Uthman (1822-1914), ulama Betawi keturunan Arab. Ia menyebarkan pendapatnya melalui karangnnya seperti Al-Nas'ih'ah al-Ani'qah yang berisi kritik terhadap tarekat karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Atas dasar tulisan ini K.F. Holle dan Raden Muhammad Moesa menjadikannya sebagai argumen untuk menangani peristiwa Cianjur 1885." (h.257)

Dengan tegas, Hasan Mustapa menyebut mereka yang iri hati karena "kurang timbang sasmita kirata Jawa, ngandelkeun kana babasaning Arab bae," jawaban ini menunjukkan sikap netral Hasan Mustapa. Ia sangat menaruh hormat pada para ulama penganut tarekat tersebut sebab dirinya juga pernah belajar pada beberapa guru tarekat selama di Mekah dan mengamalkan ajaran tarekat termasuk Qadiriyah dan Shattariyah dalam kehidupannya.    

Dalam surat tanggal 1 Januari 1991, Hasan Mustapa menceritakan bahwa Ema, putri sulung Snouck Hurgronje, dicarikan jodoh namun batal untuk dinikahkan.

“Di antara kabar lainnya, suatu hari datang kepada saya Raden Ayu (Lasamitakusuma) untuk memperlihatkan hasil berobat mata dari daerah Selah, ia bercerita tantang anak perempuan, yaitu Emah, yang batal menikah denga laki-laki yang pernah disebutkan di suratnya. Raden Ayu memikirkan karena ia anak laki-laki Guru (kiai) pesantren yang sebagaian kerabatnya (baru) datang dari haji," (h.266)

Dalam surat itu, Hasan Mustapa bercerita tentang Emah, anak sulung Snouck Hurgronje. Nama lengkapnya Emah Salamah. Ia beserta anak Sangkana lainnya (Umar, aminah, Ibrahim) diasuh oleh Raden Ayu Laksimatakusuma di Ciamis setelah Snouck Hurgronje kembali ke Belanda tahun 1906. Lasmitakusuma merupakan istri Bupati Ciamis Arya Kusuma Subrata yang masih saudara dekat dengan R. H. Muhammad Taib, penguhulu Ciamis, Ayah Sangkana.

"Di antara berita lainnya, semua anak-anak sehat wal afiyat. Di antaranya, Umar yang sedang belajar di Betawi di Sekolah Negeri. Lalu bulan ini Emah mampir ke rumah saya sebelum pindah ke Betawi menemani suaminya. Emah berangkat bersama Raden Ayu dan ibunya Jusuf (Siti Sadiyah), ia akan membangun rumah di Salemba. Jusuf juga sehat wal afiyat dalam hal menulis dan sekolah. Ibunya Jusuf semula akan menahan diri untuk tidak keluat bepergian karen ikut adat yang baik, hal itu membuat saya bangga, sepertinya sesudah saya rahasiahkan padanya dan menjelaskan isi suratmu yang saya terima yang menyebutkan perjalanan tersebut. (Surat tanggal 27 Januari 1912).

Uniknya dalam surat yang lain, tanggal 9 Maret 1920, Hasan membandingkan jumlah anak-anak Snouck Hurgronje dengan anak-anaknya sendiri. "Dan saya mengabarkan padamu pada akhr har-hari saya tinggal di dunia yang hanya persinggahan ini, yaitu anak-nak laki-laki dan perempuan berjumlah lima orang di sini, sedangkan anak-anak saya sudah ada 10 orang. Semoga Tuhan kita memberikan petunjuk pada jalan kebahagiaan abadi, pada Tuhan yang Esa tempat bergnatung," (h.272).

Upaya mengumpulkan karangan yang ada di masyarakat untuk dikirim ke Belanda merupakan hal yang tidak mudah. Karenanya, kebanyakan naskah itu dibeli langsung atau disalin dengan bayaran. Dalam surat tanggal 4 Nopember 1913, Hasan Mustapa menulis "Di antara kabar penting, saya sudah mengirim untuk 4 jilid salinan di awal tahun ini, tetapi saya belum menerima kabar darimu apakah kasnah tersebut sampai atau tidak. Saya sudah menerima lunas harga bayarannya dari Tuan Hazeu. (h.276) 

Mengenai persahabatan yang diliputi kerinduan, Hasan Mustapa dalam surat 1 januari 1911, mengungkapkan perasaan hatinya: "Di antara kabar lainnya, bahwa kiat sudah hidup dan berpisah dalam hitungan tahun. Pikiranku lelah dan pandanganku kering. Kapan, kapan (lagi) kita saling menyayangi sebagaimana mas lalu dalam kehidupan yang berkecukupan dan keteraturan yang penuh hormat dalam kesehatan. Angin kemanusiaan sudah saya lalui, sampai-sampai saya berpikir dengan perandaian ribuan perandaian. Terlintas di pikiran saya, seandainya engkau datang ke Jawa dalam waktu dekat dan meski dengan sedikit paksaan, keringanan dan perubahan udara agar menghembuskan kepada kami dengan hembusan keharuman dan sentuhan ruhani dan kebahagiaan hati dan indahnya kebaikan. Saya tidak tahu bagaimana kabar sahabat-sahabatmu selain saya. Keselamatan atasmu dan khususannya untuk orang yang berada di rumahmu. Terutama yang segelnya dari kesturi,..maka hendaknya mereka berlomba-lomba. (Al-Mutaffifin [83]:26," (h.288)

Bagi Zainul Milal Bizawie, penulis Perlawanan Agama Rakyat dan Laskar Ulama Santri, kajian yang dilakukan Jajang A Rohmana dalam buku ini memberikan banyak informasi yang selama ini masih menyimpan tanda tanya besar. Namun, dengan membongkar surat-surat antara keduanya, kita diajak menyelami kepiawaian Kiai Hasan Mustapa dalam memoderasi kolonial melalui Hurgronje. Karenanya, buku ini menjadi tengara bagaimana bangunan relasi intelektual sekaligus personal antara Kiai Hasan Mustapa dengan Snouck Hurgronje yang pada titik tertentu akan berguna bagi cara pandang kolonial melihat bangsa jajahannya.

Kiai Hasan Mustapa membuka pintu bagi Hurgronje memperoleh pengetahuan Islam lokal dan sebagai informan yang memberi kemudahan-kemudahan tertentu untuk masuk ke sisi terdalam kehidupan Islam dan muslim di Nusantara. Buku ini mengajak kita untuk makin mengkuak dinamika hubungan antara elit pribumi dan ulama pesantren dalam lingkaran kolonial, suatu hubungan yang mewarnai politik Islam di Indonesia.

Dengan demikian, buku ini menegaskan arti penting posisi Hasan Mustapa sebagai informan bagi Snouck terutama dalam menyusun laporannya tentang kekayaan sastra, budaya di Jawa Barat, situasi sosial politik Hindi Belanda awal abad ke-20. 

Informasi Buku

Judul: Informan Sunda Masa Kolonial: Surat-surat Haji Hasan Mustapa untuk C. Snouck Hurgronje dalam Kurun 1894-1923
Penulis : Jajang A Rohmana
Penerbit: Octopus
Tahun: 2018
Halaman: xv + 322
ISBN: 978602727438

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//