Dilema Hukum Narkotika di Indonesia
Undang-undang Narkotika di Indonesia kurang mempertimbangkan solusi preventif, rehabilitatif, dan edukatif yang lebih efektif menanggulangi permasalahan narkotika.
Penulis Fitri Amanda 14 November 2023
BandungBergerak.id – Data BPS mencatat tahun 2008 hingga 2017 terdapat penurunan angka kejahatan di Indonesia, meskipun demikian, ironisnya, overcrowding di lapas justru meningkat, yang sebagian besar disebabkan oleh kasus narkotika. Dalam rentang waktu tertentu, terlihat bahwa perkara narkotika menjadi satu-satunya kejahatan yang mengalami pertumbuhan signifikan, khususnya dari tahun 2014 hingga 2016, mencapai dua kali lipat. Menurut data dari sumber situs SDP publik yang diperbarui pada 15 Januari 2022, jumlah tahanan berdasarkan jenis pidana narkotika lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pidana lainnya.
Fenomena tersebut menjadi sorotan dalam diskusi "Gen-Z dan Kebingungan Soal Narkotika" yang digelar Youth Activism Rumah Cemara di Ruang Komunitas, Bandung, Jumat, 10 November 2023. Perkara terkait narkotika yang terus bertambah disinyalir sebagai dampak berbagai permasalahan yang ada dalam penerapan Undang-undang Narkotika di Indonesia. Diskusi tersebut menghadirkan tiga nara sumber yakni Direktur ICJR Erasmus A.T Napitupulu, akademisi sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Iur Asmin Fransiska, serta Peneliti ICJR Girlie Lipsky Aneira.
Direktur ICJR Erasmus A.T Napitupulu berpendapat, pendekatan pemidanaan yang diterapkan oleh Undang-undang Narkotika saat ini menjadi permasalahan krusial. Undang-undang Narkotika di Indonesia cenderung memprioritaskan hukuman penjara sebagai langkah pertama dan utama dalam mengelola masalah narkotika. Pendekatan ini cenderung kurang mempertimbangkan solusi-solusi preventif, rehabilitatif, dan edukatif yang mungkin lebih efektif dalam menanggulangi permasalahan narkotika.
Ia melanjutkan, Undang-undang Narkotika juga memiliki kecenderungan untuk memosisikan pengguna narkotika sebagai subjek penjara. Dalam konteks ini, Undang-undang Narkotika lebih fokus pada pemidanaan terhadap pengguna narkotika daripada memberikan perhatian yang memadai terhadap rehabilitasi dan pengobatan bagi mereka yang terlibat dalam penggunaan narkotika. Hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam penanganan kasus narkotika, di mana pendekatan hukuman pemenjaraan mungkin tidak selalu menjadi solusi terbaik.
“Itu mengapa, sebelum kita ngomongin pidana, harus ada pendekatan lain, (seperti) pendidikan, agama, karena itu salah satu sumber Indonesia menunjukkan konteks norma, konteks moral,” ujar Erasmus.
Penting untuk diakui bahwa tujuan pemerintah untuk mengontrol atau mengubah perilaku warga negara melalui pidana dengan ancaman dapat memiliki konsekuensi terhadap kepercayaan publik. Ketika suatu perbuatan dikriminalisasi, masyarakat mengharapkan penegakan hukum yang konsisten dan proporsional sebagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, apabila penegakan hukum tidak konsisten, dampaknya akan menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap penegak hukum.
Dalam konteks ini, prinsip ultimum remedium, di mana pidana harus menjadi pilihan terakhir, menjadi sangat relevan. Meskipun pidana dapat menjadi alat yang efektif untuk menegakkan norma-norma masyarakat, penggunaannya harus mempertimbangkan proporsionalitas dan harus dilakukan sebagai tindakan terakhir setelah upaya-upaya preventif dan rehabilitatif telah diupayakan. Penerapan hukuman pidana yang terlalu cepat atau tanpa mempertimbangkan alternatif-alternatif lain dapat merugikan kepercayaan publik. Proporsionalitas penegakan hukum menjadi hal yang perlu dipertimbangkan, dan prinsip ultimum remedium, di mana pidana seharusnya menjadi pilihan terakhir, harus dijunjung tinggi.
Penggunaan hukum pidana sebagai sarana kontrol masyarakat memiliki risiko dan bahaya tertentu. Oleh karena itu, dalam mengevaluasi dan merevisi Undang-undang Narkotika, perlu diperhatikan bahwa hukum penjara dalam hukum pidana mungkin tidak selalu menjadi solusi efektif, dan perlu disertai dengan pendekatan preventif dan rehabilitatif yang lebih holistik.
Erasmus juga memandang penggunaan hukum pidana sebagai alat untuk mengontrol masyarakat membawa sejumlah bahaya yang perlu dipertimbangkan secara serius. “Negara akan selalu gagal jika tujuannya adalah untuk mengontrol,” ujarnya.
Baca Juga: Putusan MK tentang Uji Materi terhadap Pasal Narkotika Golongan I (Ganja), Koalisi Menuntut Pemerintah segera Melakukan Riset Ilmiah
Peneliti UI Meneliti Metode Pemulihan Adiksi Narkoba
Pengguna Narkoba Berhak Mengakses Layanan Rehabilitasi
Diharapkan Fokus pada Kelompok Marjinal
Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Iur Asmin menjelaskan evaluasi kebijakan narkotika global mengungkapkan adanya dualitas yang signifikan antara rezim Hak Asasi Manusia (HAM) dan rezim kontrol narkotika. Keduanya dipenuhi dengan isu-isu seperti rasisme, xenophobia, prasangka, dan ketidakadilan sosial, yang utamanya terlaksana melalui praktik inkarserasi. Persamaan yang menghubungkan rasisme dengan prasangka dan kekuasaan menyoroti sifat diskriminatif dari hukum narkotika, menciptakan lanskap hukum yang tidak proporsional, tidak jelas, dan tidak pasti. Ketiadaan kesetaraan di hadapan hukum, asumsi tak bersalah, dan keadilan hukum dalam konteks War on Drugs memperburuk pelanggaran hak asasi manusia.
Kesalahpahaman terkait hukuman berat sebagai upaya pencegahan, ditambah dengan kurangnya dialog terkait isu narkoba, secara tidak adil memengaruhi kelompok-kelompok tertentu seperti masyarakat marjinal dan mereka yang memiliki pemahaman hukum yang terbatas. War on Drugs, sayangnya, juga berdampak sebagai War on People, terutama mengenai komunitas yang terpinggirkan dan menyebabkan overcrowding di dalam penjara. Penerapan hukuman mati, yang sering kali bersifat diskriminatif terhadap narkotika dari wilayah-wilayah tertentu dan menciptakan stereotip negatif tentang pengguna narkoba, semakin memperumit situasi. Keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan, perawatan paliatif, dan layanan sosial, bersama dengan beban keuangan yang terlibat, menekankan perlunya evaluasi ulang dan reformasi kebijakan narkotika global guna memastikan pemenuhan hak asasi manusia dalam kerangka hukum yang berkeadilan.
Undang-undang Narkotika perlu diadakan reformasi, Iur Asmin menekankan perlunya menghilangkan paradigma berpikir rasis, prasangka buruk, dan diskriminasi terhadap pengguna narkotika yang kerap terjadi, dan reformasi ini diharapkan untuk fokus pada kelompok-kelompok marjinal. Hal ini penting karena kelompok marjinal ini sering kali merupakan individu yang tidak memiliki kekuatan atau pengaruh, sementara pembuat kebijakan adalah kelompok yang memiliki kekuasaan yang tentu tidak akan tersingkirkan dari masyarakat sering kali lupa untuk memasukkan perspektif mereka dalam konteks undang-undang. Oleh karena itu, reformasi perlu memastikan bahwa Undang-undang Narkotika tidak hanya adil dan setara, tetapi juga memperhatikan dan melibatkan kelompok-kelompok marjinal yang sering terabaikan dalam proses kebijakan.
“Kaum marjinal, orang miskin, buta hukum, perempuan, anak, orang yang hidupnya penuh dengan kekerasan, dan mereka selalu terlupakan pada sebuah konteks undang-undang,” ujar Iur Asmin.
Revisi Masih Membuka Celah Ketidakpastian Hukum
Revisi Undang-undang Narkotika dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Girlie menjelaskan bahwa perspektif Undang-undang Narkotika masih belum jelas, memberikan celah untuk interpretasi yang bervariasi dan dapat menyebabkan ketidakpastian hukum. Selain itu, ketidakjelasan dalam pengaturan subjek narkotika menimbulkan kebingungan dalam mengidentifikasi dan menangani kasus-kasus terkait narkotika.
Permasalahan lainnya terletak pada pasal karet ketentuan pidana Undang-undang Narkotika, khususnya dalam hal penggunaan narkotika. Ketidaksesuaian di antara pasal-pasal mengakibatkan pengguna narkotika dijerat dengan pasal yang seharusnya diterapkan pada peredaran gelap sehingga menciptakan situasi hukum yang tidak adil. Selain itu, masalah terkait dengan hukum acara menambah kompleksitas implementasi Undang-undang Narkotika, memerlukan klarifikasi dan peningkatan agar dapat diterapkan secara efektif.
Girlie juga menjelaskan dalam upaya merevisi Undang-undang Narkotika, beberapa langkah perlu diambil. Pertama, perhatian harus difokuskan pada penanganan overcrowding di rutan dan lapas, agar sistem penegakan hukum dapat beroperasi dengan lebih efisien dan adil. Selanjutnya, perlu dirumuskan ketentuan yang mampu membedakan intervensi bagi pengguna narkotika dengan peredaran gelap narkotika. Ini dapat diwujudkan melalui penyusunan rumusan undang-undang yang mengarah pada rehabilitasi bagi pengguna, sambil tetap memberikan hukuman yang tegas terhadap peredaran gelap narkotika.
Namun, draft revisi yang dikeluarkan pada bulan Juli 2023 menimbulkan keprihatinan. Girlie menjelaskan, dalam draft tersebut, intervensi terhadap pengguna narkotika hanya sebatas rehabilitasi pengguna, sedangkan pecandu tidak mendapatkan penanganan rehabilitasi.
“Namun, tidak semua pengguna harus direhabilitasi dan memiliki masalah dalam penggunaannya,” ujar Girlie.
Pemidanaan terhadap tindakan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika masih tetap ada, bahkan untuk zat psikoaktif baru yang melanggar asas legalitas. Oleh karena itu, perlu kajian lebih lanjut dan dialog yang lebih mendalam agar revisi Undang-Undang Narkotika dapat mencapai tujuannya tanpa menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang lebih lanjut.