• Berita
  • Buruh Tolak PP 51 Tahun 2023 Tentang Pengupahan, Kenaikan Upah Tak Mencukupi Kebutuhan Buruh

Buruh Tolak PP 51 Tahun 2023 Tentang Pengupahan, Kenaikan Upah Tak Mencukupi Kebutuhan Buruh

Penghitungan kenaikan upah minimum dengan rumus PP 51 tahun 2023 tidak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus melambung.

Poster kritik buruh terhadap negara yang menomorsatukan investasi sementara kesejahteraan buruh nomor sekian. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau16 November 2023


BandungBergerak.id – Pemerintah pusat melalui Kementerian Tenaga Kerja telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 51 tahun 2023 tentang pengupahan. Buruh menolak beleid baru pengganti peraturan lama yakni PP 36 tahun 2021 tentang pengupahan karena dianggap merugikan buruh dalam penghitungan kenaikan upah.

Buruh menolak formula perhitungan upah minimum yang tertuang dalam PP nomor 51 tahun 2023 karena merugikan buruh dengan adanya pembatasan kenaikan upah minimum. Aturan tersebut mengatur adanya batas atas dan batas bawah juga simbol Alfa sebagaimana yang tertuang pada pasal 26 PP nomor 51 tahun 2023.

Beleid tersebut mengatur apabila upah minimum saat ini sudah di atas rata-rata konsumsi maka upah minimum tahun 2024 hanya dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi kali Alfa. Di mana simbol Alfa menjadi faktor pengurang. Sementara jika di bawahnya maka penghitungan upah ditambahkan faktor inflasi dan nilai pertumbuhan ekonomi kali Alfa. Dua rumus formula yang tertuang dalam PP 51 tahun 2023 tersebut dinilai buruh menimbulkan diskriminasi kenaikan upah minimum.  

“Dengan rumus tersebut maka kenaikan upah minimum diprediksi hanya 1 sampai dengan 3 persen,” ungkap Roy Jinto, ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI dalam keterangan resminya yang diterima BandungBergerak.id.

Roy membandingkan dengan kenaikan gaji PNS yang belum lama ini diumumkan pemerintah. Gaji PNS misalnya naik hingga 8 persen dan gaji pensiunan naik 12 persen. Hal tersebut dinilainya mencerminkan ketidakadilan pada buruh.

“Daya beli buruh pastinya akan terus merosot, harga kebutuhan pokok naiknya sangat signifikan, PP 51 Tahun 2023 merupakan aturan yang pro upah murah,” ujar Roy.

Baca Juga: Data Upah Minimum Kota Bandung 2002-2023: Tren Kenaikan dalam Bayang-bayang Unjuk Rasa Buruh
Serikat Buruh Kabupaten Bandung dan Bandung Barat Menyerukan Penolakan UU Cipta Kerja dan Menuntut Kenaikan Upah 15 Persen
Sebagai Ibu Kota Provinsi, Kenaikan UMK Bandung 15 Persen sebuah Keniscayaan

Peraturan Pengupahan yang Baru Merugikan Buruh

Peraturan pemerintah mengenai pengupahan terbaru dinilai merugikan semua buruh. Siti Nurhalimah, buruh perempuan dari Departemen Perjuangan Buruh Perempuan (DPBP) KASBI, Subang menjelaskan bahwa baik PP nomor 51 tahun 2023 dan PP 36 tahun 2021 tentang pengupahan sama-sama merugikan kaum buruh. Perbedaannya hanya pada batas atas dan batas bawah yang tertuang dalam peraturan terbaru.

Siti menghitung bahwa dengan aturan baru pengupahan maka Upah Minimum Kabupaten/kota (UMK) Subang tahun 2024 diperkirakan hanya naik 6,78 persen, atau setara Rp 200 ribu. Hal itu tak dapat mencukupi kebutuhan dapur dan rumah tangganya di tengah harga-harga yang melambung tinggi. KASBI sendiri meminta UMK bisa naik 15 sampai 20 persen.

Namun, jika dilihat dari sistem hukum yang diterapkan, dengan PP nomor 51 tahun 2023 ini membuat buruh tersandera. Buruh akan tetap mendorong pemerintah untuk menaikkan UMK.

“Cuman kan kadang pemerintah yang ngeyel, ada yang berbaik hati gitu. Jadi kalau UMK ini tidak naik, sedangkan kebutuhan kita tuh naik, bahkan kan BBM saja naik 30 persen,” ujar Siti.

“Sedangkan kebutuhan naik, apalagi harga sembako, kalau BBM sudah tidak di ini lagi gitu kan, dan tidak mungkin lagi bakalan turun lagi itu BBM. Kerugian hari ini atau dampak yang dirasakan itu bagi buruh atau pekerja yang hari ini mempunyai keluarga.”

Selain itu, Aturan upah tersebut juga masih mengikuti Undang-undang Ciptakerja. Aturan pengupahan tersebut menyamaratakan upah buruh yang telah bekerja puluhan tahun dengan buruh yang baru bekerja satu sampai tiga tahun. Peraturan upah tersebut juga menyamaratakan pekerja lajang dengan pekerja yang sudah berkeluarga.

“Kenapa dibilang rugi waktu, kita yang sudah bekerja beberapa tahun dengan yang baru nol tahun  ternyata upahnya sama, tidak ada yang membedakan,” ujar Siti melalui panggilan telepon, Senin, 13 November 2023.

Seharusnya ada perbedaan upah antara pekerja yang sudah baru bekerja dengan pekerja yang sudah bekerja di atas 5 sampai 10 tahun. Jangan dipukul rata.

“Itu sebenarnya menjadi kerugian yang sangat berat bagi kami  yang sudah bekerja belasan tahun,” ujar Siti.

Siti menyayangkan pemerintah yang tak memikirkan nasib dan kondisi buruh. Buruh yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, tentu kebutuhannya semakin meningkat. Untuk menopang gizi anak-anak buruh tentu dengan upah yang layak.

“Karena hampir 90 persen penduduk Indonesia ini bekerja sebagai buruh, mulai dari buruh tani, nelayan, pabrik, honorer gitu kan, yang non pns, termasuk jurnalis,” ujar Siti.

“Pasti bakal merasakan dampak yang benar-benar, apalagi sampai UMK 2024 sampai tidak naik, alangkah kecewanya kami.”

Buruh Perempuan Menjerit

Tentu yang paling merasakan dampak persoalan upah adalah buruh perempuan. Mereka yang mesti mengatur keuangan keluarga, mengurus isi dapur, dan mengelola keuangan dari upah yang didapat. Kenaikan upah diharapkan dapat menopang biaya hidup keluarga buruh.

Salah satu buruh dari PT Kahatex Cimahi, sekaligus PPB Kasbi Bandung Raya, Waginah mengungkapkan bahwa PP nomor 51 tahun 2023 ini sangat berdampak khususnya bagi dirinya sebagai buruh perempuan. Apalagi sebagai ibu rumah tangga, ia yang mengatur bagaimana keuangan. Baginya, PP terbaru isinya tak jauh berbeda dengan PP sebelumnya.

“Jadi bagi kami ini bukan kebaikan, yang kita harapkan setiap tahun ada kenaikan upah yang kemudian itu bisa mencukupi kebutuhan kami. Tapi di sini ada penyesuaian. Jelas artinya bahwa tidak ada kenaikan hanya disesuaikan aja itu pun tidak cukup bagi kami,” ungkapnya.

Ia mengaku sebagai buruh di Kota Cimahi dengan UMK hanya Rp 3,6 juta dirasa sangat kurang dan tak mencukupi biaya hidup. Ditambah kondisi  saat ini, harga bahan pokok yang melambung tinggi. Harga di pasaran beras seliter sudah mencapai angka Rp 15 ribu untuk yang kualitas sedang. Ditambah harga-harga seperti cabai, bawang putih, dan bahan pangan lainnya yang naik sangat tinggi.

“Ditambah dengan harga-harga yang lain juga gitu. Itu juga sangat tinggi bagi kami. Sehingga perlu ada campur tangan khusus pemerintah sendiri untuk kemudian menurunkan harga-harga sembako,” keliuh Waginah.

Harga bahan pangan yang naik ini tak sejalan dengan kenaikan upah. Upah yang diterima buruh saat ini upah lajang bukan upah keluarga. Secara otomatis kebutuhan keluarga seperti pendidikan untuk anak, tidak terhitung.

Apalagi di tengah kondisi perkembangan teknologi saat ini, kebutuhan internet dan gawai menjadi kebutuhan wajib lainnya yang harus dipenuhi. Secara otomatis menambah beban pengeluaran.

“Terus kemudian banyak yang tidak tercover. Di dalam item pengupahan itu sendiri, karena emang itu yang diukur adalah pekerja lajang bukan pekerja keluarga,” ujar Waginah.

Ia berharap bahwa kebijakan pemerintah agar bisa diperbaiki kembali, terutama untuk PP nomor 51 tahun 2023. Karena hal itu sangat merugikan kaum buruh. Di peraturan sebelumnya, ada survei pasar terlebih dulu untuk menentukan upah. Namun saat ini di peraturan terbaru sudah tidak dicantumkan lagi.

“Dengan UU Omnibus Law, Ciptakerja, itu semakin tidak ada. untuk menyejahterakan buruh itu sama sekali tidak ada,” ujar Waginah. “Ditambah lagi dengan harga-harga kebutuan pokok juga tinggi itu sangat merugikan bagi kami.”

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//