Sebagai Ibu Kota Provinsi, Kenaikan UMK Bandung 15 Persen sebuah Keniscayaan
Nilai upah minimum Kota Bandung sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat jauh lebih kecil dibandingkan kota dan kabupaten lain. Contohnya, Kabupaten Purwakarta.
Penulis Awla Rajul7 November 2023
BandungBergerak.id - Menjelang akhir tahun, para buruh kini sedang bersiap menuntut dan mengajukan kenaikan upah. Di provinsi Jawa Barat, melalui organisasi serikat pekerja, para buruh mengajukan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 15 persen. Seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat juga kompak mengajukan kenaikan upah minimum kabupaten (UMK) dengan nilai yang sama.
“Sama, 15 persen angka perjuangannya. Kita kawal, satu irama,” ungkap Wagianto, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Bandung, kepada BandungBergerak.id melalui sambungan telepon, Kamis (2/11/2023).
Menurutnya, kenaikan upah minimum Kota Bandung sebesar 15 persen merupakan angka yang realistis mengingat kondisi ekonomi yang stabil. Wagianto juga menilai, UMK di Kota Bandung sebagai ibu kota di provinsi Jawa Barat harus naik. Sebab, UMK Kota Bandung nilainya kalah bila dibandingkan dengan Kabupaten Purwakarta.
UMK Kota Bandung tahun 2023 berdasarkan Keputusan Gubernur Jabar Nomor 561.7/Kep.776-Kesra/2022 tentang Penetapan UMK 2023 sebesar 4.048.462,69 rupiah. Sedangkan Kabupaten Purwakarta sebesar 4.464.675,02 rupiah. Nilai UMK Kota Bandung dengan UMK Kabupaten Purwakarta tersebut selisih 416.212,33 rupiah atau hampir setara 10 persen.
“Jadi wabilkhusus untuk Kota Bandung sangat wajar apabila ada kenaikan UMK untuk tahun 2024 itu sebesar 15 persen,” kata Wagianto.
Selanjutnya, pengajuan kenaikan upah ini akan disampaikan ke Dewan Pengupahan Kota (DPK). Tidak menutup kemungkinan angka kenaikan upah dari DPK yang terdiri dari unsur pekerja, pengusaha, akademisi, dan pemerintah akan berbeda dengan yang diajukan kelas buruh.
Namun, pada prinsipnya buruh tetap mempertahankan kenaikan UMK sebesar 15 persen dan mempersiapkan rekomendasi kenaikan upah kepada DPK. Wagianto juga menyebut, pihaknya kini mengubah pola dalam perjuangan mekanisme pengajuan kenaikan UMK. Jika biasanya kerap mengandalkan kekuatan massa, kini pihaknya juga memaksimalkan negosiasi.
“Maka kita dari teman-teman serikat sudah mempersiapkan data dan fakta untuk rapat dengan semua unsur agar ada argumentasi yang disampaikan,” lanjutnya yang mengaku sudah mengagendakan pertemuan untuk beraudiensi dengan Penjabat Wali Kota Bandung.
Wagianto menegaskan, UMK adalah urat nadi bagi pekerja maupun buruh. Meski belum banyak buruh yang sadar akan pentingnya memperjuangkan kenaikan upah pekerja karena masih kurangnya pemberian edukasi dan belum semua buruh bergabung ke serikat pekerja.
Namun begitu, ia menyampaikan harapannya terkait beberapa buruh-aktivis yang mencoba melakukan perubahan dan perbaikan melalui pertarungan suara di jalur legislatif 2024 mendatang. Dengan adanya perwakilan buruh di DPR, ia berharap suara buruh dan pekerja bisa tersampaikan dan diakomodir.
“Kapan lagi tuh buruh narik upah kalau bukan setahun sekali dengan kenaikan UMK. Jadi ini memang harus kita perjuangkan,” tutupnya.
Kota Bandung atau secara umum Bandung Raya bisa dibilang kotanya kelas buruh. Wilayah Bandung Raya meliputi Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kota Cimahi.
Dalam Jurnal Riset Ilmu Ekonomi, Vol 2 (1) 2022, Muhamad Wahyu Hamijaya dan Heri Yanti Nadila dari Universitas Nusa Putra dan Universitas Pasundan menulis, pada 2018 jumlah populasi produktif di wilayah Bandung Raya berjumlah sekitar 6.549.583 jiwa, tetapi dari total populasi produktif yang masuk menjadi angkatan kerja hanya tercatat sebanyak 3.847.387 jiwa.
Penduduk Bandung Raya yang bekerja sebesar 3.611.680 jiwa dan terdapat 235.707 jiwa dalam status mencari pekerjaan. Berdasarkan statisktik tersebut, tingkat pengangguran terbuka di wilayah Bandung Raya pada tahun 2018 sekitar 6,12 persen dari total populasi produktif.
Baca Juga: Serikat Buruh Kabupaten Bandung dan Bandung Barat Menyerukan Penolakan UU Cipta Kerja dan Menuntut Kenaikan Upah 15 Persen
Buruh Jawa Barat Menuntut Kenaikan UMK 2024 sebesar 15 Persen
Data Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat 1997-2023
Inflasi dan Keniscayaan Kenaikan UMK 2024
Inflasi di Kota Bandung terbilang stabil. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung menyebut, inflasi pada bulan Oktober 2023 sebesar 0.08 persen. Angka inflasi tersebut merupakan inflasi terendah se-Jawa Barat. Pada bulan September inflasi di Kota Bandung sebesar 0,11 persen.
Mirah Sumirat dari Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) menuntut kenaikan upah minimum tahun 2024 sebesar 15 persen. Hal tersebut didasarkan dengan memperhitungkan inflasi, pertumbuhan ekonomi dan hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang harus dilakukan oleh Dewan Pengupahan baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Ia menyinggung pemerintah agar tidak memaksakan penetapan upah minimum 2024 hanya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Peraturan pemerintah turunan dari UU Cipta Kerja tersebut dinilai sebagai penyebab kenaikan upah minimum di Indonesia sangat kecil dan tidak manusiawi.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, berdasarkan PP 36/2021 kenaikan UMP 2022 rata-rata 1,09 persen. Pada 2023, justru setelah Kementerian Ketenagakerjaan merilis Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 yang membatasi kenaikan upah maksimal 10 persen, kenaikan UMP rata-rata hanya 7,5 persen.
“ASPEK Indonesia meminta pemerintah untuk menetapkan kenaikan upah minimum tahun 2024 dengan tetap menggunakan formula perhitungan kenaikan upah minimum berdasarkan Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kenaikan Upah Minimum harus berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL), produktivitas dan pertumbuhan ekonom,” ucap Mirah dikutip dari siaran pers ASPEK Indonesia.
Mirah menyebutkan demikian, sebab selama kepemimpinan Joko Widodo, peraturan pengupahan merugikan pekerja dan semakin rendah. UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mewajibkan kenaikan upah minimum dihitung dari survey KHL, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi.
Melalui Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, mekanisme survei KHL dihilangkan. Sehingga formula kenaikan upah hanya berdasarkan akumulasi tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Pada 2021, melalui peraturan turunan UU Cipta Kerja kemudian dikurangi lagi dasar perhitungan kenaikan upah minimum hanya berdasarkan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
“Perubahan formula perhitungan upah minimum yang terus berkurang ini, membuktikan Presiden Joko Widodo hanya berpihak pada kepentingan pengusaha dan tunduk pada intervensi kelompok pengusaha,” tegas Mirah.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Awla Rajul, atau artikel-artikel lain tentang Upah Minimum