• Berita
  • Pantomim, Seni Perlawanan paling Sunyi

Pantomim, Seni Perlawanan paling Sunyi

Penutupan Mixi Mime Festival 2023 di Bandung berlangsung sederhana tapi meriah. Festival ini menegaskan bahwa pantomim sebagai seni milik rakyat.

Penampilan pantomim oleh Farid dari Kediri, pada Mixi Mime Festival 2023 di Layar.an Plateaus Eco Art, Awiligar, Bandung, Jumat, 17 November 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul19 November 2023


BandungBergerak.id - Masyarakat dan seni memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Keduanya saling membutuhkan dan menguntungkan. Begitu pula dengan seni pertunjukan pantomim. Sebuah seni yang identik dengan riasan wajah berwarna putih, berkoreografi tanpa suara, sunyi. Namun begitu, pantomim bisa dilihat lebih jauh lagi sebagai pilihan maupun bentuk perlawanan atau pergerakan.

Hal tersebut disampaikan Nur Iswantara, peneliti pantomim dan dosen Pendidikan Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, pada diskusi yang bertajuk “Menilik Arus Informasi dalam Peristiwa Sekitar” penutupan Mixi Mime Festival 2023 “Geger Sunya: Manusia dan Sekitarnya” di Layar.an Plateaus Eco Art, Awiligar, Bandung, Jumat, 17 November 2023.

“Mime itu adalah bahasa lapis kedua, istilah saya. Dia adalah bahasa isyarat. Nah di situlah perlu pemahaman masyarakat untuk apa sih sebetulnya mime dalam konteks masyarakat,” terang dosen ISI Yogyakarta yang akrab disapa Nurls pada sesi diskusi yang dimoderatori oleh Baharzah Martin, Ketua Garut Creative Hub.

Nurls menyebutkan, pantomime awalnya dikenal sebagai hal yang lucu, karakteristiknya yang berkomedi dan lawak. Elemen ini menjadi tahapan paling mudah yang bisa dicerna masyarakat. Namun jika menelusuri lagi sejarah pantomim di dunia, kisahnya sangat beragam. Itulah mengapa dalam konteks arus informasi, Nurls mengungkapkan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk membutuhkan pilihan, di antaranya mime (pantomim).

Penulis buku Wajah Pantomim Indonesia ini menambahkan, pengembangan pantomim berbeda-beda karakteristiknya di setiap daerah. Seperti pengembangan Pantomim di Jakarta yang dilakukan oleh Didi Petet dan Seno yang menempatkan mime untuk melanjutkan tradisi teater murni. Mime mendapat tempat sebagai bagian dari pembelajaran teater, untuk mempelajari lakon yang sangat natural.

Pantomim kini telah menyebar ke mana-mana hingga ke kota-kota kecil. Di Bandung, seniman yang konsisten dengan seni pantomime adalah Wanggi Hoed. Menurut Nurls, Wanggi Hoed hadir dengan seni pantomimnya di tengah membanjirnya arus informasi. Wanggi hadir menjembatani kebutuhan masyarakat pada seni. Hal ini gayung bersambut di kalangan akademis.

“Kepentingan dalam suatu ekspresi seni yang mana tadi saya sebut untuk hiburan, awalnya, di sisi lain masyarakat akademis membutuhkan itu. Mime itu adalah bagian penting dari latihan teater. Tapi dia bisa berdiri sendiri sebagai pertunjukan,” tambah peneliti pantomime ini.

Pada misinya ini, Nurls sedang mencoba merintis mata kuliah pantomim yang berdiri sendiri dari percabangan mata kuliah eksplorasi peran. Ia mengaku ini merupakan perjuangan sulit yang perlu dimulai dengan penelitian-penelitian.

Namun dalam konteks bahas lapis kedua dalam komunikasi, pantomim perlu dilanjutkan. Bahkan harus dilakukan penelitian sendiri lainnya untuk pantomim. Sehingga respons masyarakat dan dinamika terhadap pantomim terus berjalan.

“Yakin sajalah, selama pantomim masih dihidupi oleh senimannya, kemudian didukung dan disangga oleh masyarakatnya, baik masyarakat maupun akademis, ya dia akan tetap bertahan akan terus bisa hadir,” katanya.

Di akhir pemaparannya, Pantomim pada dasarnya diartikan sebagai gerak (panto) dan ekspresi wajah (mime). Pantomim juga dikenal menggunakan bahasa isyarat yang dikenal gaya klasik. Meski setiap seniman memiliki gayanya masing-masing dan masih terbuka ruang eksplorasi. Dan memang demikian, seperti seni lainnya, pantomim adalah seni yang terbuka terhadap penafsiran.

Makanya, ia mendukung pantomim untuk terus disebarluaskan dan dibumikan. Beberapa upayanya adalah seperti yang dilakukan seniman pantomim Wanggi Hoed yang membumikan pantomim ke masyarakat.

“Membumikan pantomim saya kira adalah sebuah upaya dari seniman pantomimnya yang secara konkret dan didukung oleh masyarakat. Tanpa itu gak akan terjadi,” tegas Nurls.

Pembicara lainnya, Iman Herdiana dari BandungBergerak.id menyebutkan bahwa Wanggi Hoed merupakan seniman yang masuk ke dalam “radar kurasi” pemberitaan media alternatif ini. Wanggi merupakan sosok seniman yang menghubungkan pantomim dengan masyarakat umum.

Wanggi dinilai tidak menempatkan pantomime di tempat yang terbatas aksesnya untuk publik, tapi hadir di jalanan dan di ruang-ruang publik, meski akibat aksinya ini ia sempat ditangkap polisi saat melakukan pertunjukan di Asia Afrika beberapa waktu lalu. Namun begitu, seni yang dilakukan oleh Wanggi dan isu yang diusungnya selarang dengan visi misi BandungBegerak.id yang menyuarakan suara dari pinggiran.

“Saya melihat pantomim ini justru kediamannya ini yang melawan. Dalam sunyi, bergerak, tanpa kata terus di jalanan untuk menyuarakan HAM, lingkungan, dan lain-lain yang berhubungan dengan masyarakat,” terang Iman saat sesi diskusi.

Dikarenakan pantomim yang terbuka akan penafsiran, dalam penulisan pertunjukan pantomim biasanya tidak masalah mencampurkannya dengan penafsiran sendiri, ditambah dengan wawancara. Sebab pantomim adalah seni yang terbuka.

Iman menegaskan bahwa Wanggi Hoed sukses membawa pantomim ke ruang publik dan membuatnya lebih merakyat.

Baca Juga: Bandung Hari Ini: Aksi Seniman Pantomim Wanggi Hoed Dihentikan Polisi
Wanggi Hoed, Melawan lewat Pantomim
Pentas Pantomim Anak-anak di Kebun Ummasa bersama Wanggi Hoed

Foto bersama usai penutupan Mixi Mime Festival 2023, di Layar.an Plateaus Eco Art, Awiligar, Bandung, Jumat, 17 November 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Foto bersama usai penutupan Mixi Mime Festival 2023, di Layar.an Plateaus Eco Art, Awiligar, Bandung, Jumat, 17 November 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Musik, Pantomim, dan Orasi Budaya

Malam itu menjadi puncak Mixi Mime Festival 2023. Hujan yang turun tidak membuat kegiatan ini berhenti. Selain diskusi, acara ini dimeriahkan penampilan musik oleh Fitra Rahardjo feat. El Antilbl dan dilanjutkan pemutaran film pantomime karya Marcel Marceau yang berjudul “La Creation Du Monde” (1972).

Usai diskusi yang hangat, Ovick Rozensky dan Musisi Sendiri tampil memukau membawakan sekitar enam lagu. Ia mengakhiri penampilannya dengan sebuah lagu yang diselingi pembacaan puisi tentang kekagumannya kepada Wanggi Hoed. Wanggi Hoed diidentikkan olehnya dengan gerakan lentikan kumis, kedipan mata, dan tawa.

Lalu Farid Mime mengambil alih panggung untuk menampilkan pertunjukan pantomim. Dalam pertunjukannya, Farid merias wajahnya dengan pupur putih di tengah panggung. Lalu secara partisipatif, dua orang penontong memegangi cermin untuknya berhias. Usia berhias diri, Farid memberikan tali fiktif ala pantomim kepada tiga orang penonton. Lalu pada hitungan ketiga, tali itu ditarik. Farid jatuh, terkapar. Penampilan pantomim itu dihadiahi apresiasi tepuk tangan yang ramai.

Mixi Mime Festival ditutup dengan orasi budaya yang berjudul Cupu ‘Mime’ Nik Astagina oleh Venol, seorang seniman reak. Venol menyebut bahwa pantomim ibarat cupu manik astagina, sebuah pusaka sakti yang dikisahkan dalam cerita pewayangan.

Cupu manik astagina merupakan benda ajaib yang dimiliki oleh dewa. Venol menyebut, selain wujudnya sangat indah dan menarik, bila tutupnya dibuka orang dapat melihat segala isi jagad raya beserta peristiwa dan kejadian yang ada. Begitu pun dengan pantomim. Jika menyaksikan pertunjukannya, ia dapat menginformasikan rekaman-rekaman yang terjadi dalam ketar-ketir dan gonjang-ganjingnya hidup.

“Ketika tubuh pantomim ialah cupu manik astagina yang dapat memperlihatkan keburukan serta keindahan yang terjadi di dunia, tubuh tersebut dituntut memiliki kejujuran dan keberpihakan. Kejujuran di sini berarti tubuh seorang aktor dapat menyampaikan fenomena yang terekam apa adanya. Sehingga tubuh pantomim harus berpihak terhadap moralitas, etika, dan estitisitas manusia sejatinya. Pantomim sebagai cupu manik astagina harus sanggup melihat realitas masyarakat hari ini dalam bayang-bayang masa lalu dan masa depan,” ungkap Venol membacakan orasinya.

Usai pembacaan orasi itu, Wanggi Hoed menyampaikan terima kasih. Kegiatan festival mime militan se-Asia Tenggara, Mixi Mime Festival 2023 yang bertajuk “Geger Sunya: Manusia dan Sekitarnya” di Layar.an Plateaus Eco Art, Awiligar, Bandung itu lalu ditutup secara simbolis oleh Wanggi dengan mengetuk tiga kali pada microphone.

*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain tentang Wanggi Hoed

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//