• Opini
  • Mempertanyakan Kedewasaan Berpolitik di Indonesia

Mempertanyakan Kedewasaan Berpolitik di Indonesia

Kedewasaan politik Indonesia akhir-akhir ini layak dipersoalkan. Ruang publik menjadi bising bukan karena adu gagasan.

M Hakim

Pegiat Ruang Ekspresi (Klub Belajar Sosial-Politik) dapat dihubungi di Instagram @naufihakiim atau di X @Nlmuhammad

Pemilu 2024 mulai terasa dengan hadirnya poster kampanye terselubung dari tokoh partai politik. Sementara KPU Jawa Barat juga tengah menyiapkan tahapan Pemilu 2024, di Bandung, 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

21 November 2023


BandungBergerak.id – Barusan—ketika saya bermain media sosial (medsos) algoritma di pencarian saya menyajikan sekian banyak konten tentang politik di Indonesia. Termasuk dari video hingga pamflet.

Setelah itu, saya klik satu video yang menggoda saya. Dalam video tersebut, seorang politikus dengan lantang mengatakan, bahwa “Kalian ini adalah anak muda. Anak muda itu harus berani; di era sekarang mencari pekerjaan itu sulit. Jika kalian ingin mudah mendapatkan pekerjaan, maka pilih saya lagi di Pemilu 2024 ini”. Selintas pernyataan tersebut, seperti retorika tanpa masalah.

Dalam frasa “berani,” saya sepakat, karena keberanian sulit dilepaskan dari pemuda. Dalam lintas sejarah sosial—keterlibatan mereka memang selalu ada. Namun tidak dengan frasa “pilih saya lagi.” Karena itu harus ada falsifikasi dulu, agar pilihan itu memicu pertanggungjawaban.

Misalnya semasa menjabat ia pernah melakukan apa saja. Atau sebelum menjabat ia pernah pro sama isu-isu apa saja? Apakah ia layak untuk dipilih? Ketika ia terpilih, lalu ia menyimpang menjalankan kinerja publiknya, apakah “aku” mau mengkritisinya?

Di politik, janji dan janji memang menjadi poin penting. Harus diakui, bahwa politik adalah wahana: pengetahuan, pertandingan, yang diekspresikan melalui narasi. Untuk itu, janji adalah rumus mutakhir dari kontestan dalam Pemilu buat menebar bujuk dan rayunya supaya massa bersimpati.

Di dalam psikologi ada istilah “fear appeal.” Maksudnya, Itu adalah cara mempersuasi massa dengan memuat pesan rasa takut. Mungkin, di dalam negara pascakolonial, metode demikian itu sering dilontarkan karena ingin mengaktifkan emosi massa yang dulu pernah punya sejarah kelam. Percis seperti apa yang diutarakan politikus yang saya ceritakan tadi, yang hanya berkutat mengumbar ketakutan saja.

Seolah-olah jika publik tidak memilihnya, lantas apa ia tidak dapat mandiri atau ruang mencari kerjanya langsung diblokir? Padahal kesan dari pemilihan itu hanya bersifat delegasi. Bila yang didelegasikan abai dalam melaksanakan kinerjanya, maka ia dengan keluasan lapang dada harus mundur dengan sendirinya. Tetapi kalau ia punya keluasan lapang dada, ya!

Baca Juga: Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik
Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024
Dilema Demokrasi dan Menilik Peran Partai Politik

Teater Politik

Umumnya dengan situasi politik yang penuh “teater” sekarang ini, meminjam istilah dari Clifford Geertz (1926-2006) seorang antropolog Amerika yang banyak meneliti tentang Indonesia, sangat langka punya delegasi yang responsif terhadap persoalan-persoalan publik jika tidak bagian dari konstituen. Apalagi bila ia terpilih dan janji-janjinya tidak direalisasikan, maka harus di demonstrasi dulu baru terketuk nalarnya buat mengevaluasi kinerjanya. Minim refleksi, tapi nekat mau mengisi pos jabatan publik. Ajaib.

Begitulah, pedagogi dalam politik semakin memudar. Membuat distingsi antara keluarga dan kekuasaan semakin sulit, sehingga hanya sensasi yang dipertontonkan di ruang publik. Pragmatisme dan medioker merajalela. Jadi, suasana republik terdampar dalam ruang kebencian. Padahal kehendak memilih republik adalah hasil refleksi setelah ketiadaan transparansi dan akuntabilitas.

Akibatnya, kedewasaan politik Indonesia akhir-akhir ini layak dipersoalkan. Pertama, ruang publik menjadi bising bukan karena gagasan. Sebab, mau dikatakan bermutu, tetapi demokrasi indeksnya menurun (IDEA 2023). Kedua, profesional partai politik setelah reformasi menjadi kering: kaderisasi politik yang reguler jarang diselenggarakan. Ketiga, transfer dan perpindahan sana-sini kader partai bukan karena ideologi. Namun melainkan karena sentimental saja. Yang sudah lama mengabdi, loyal, militansi, integritas, paham teori-teori kesosialan, akan jarang diprioritaskan untuk menjadi delegasi di tampuk jabatan publik. Karena mereka itu akan didahului sama MK, mahkamah keluarga, sebagai pelesetan temporer politik sekarang ini. Ada anaknya: bapak, ibu, paman, tante. Dengan demikian, agenda reformasi soal KKN masih menjadi belum signifikan.

Tentu esai ini bukan mempersoalkan tentang anak siapa yang lebih tepat buat mengisi pos-pos jabatan publik. Karena itu adalah hal yang eksistensialis. Namun hanya lebih mengorientasikannya kepada refleksi sosial.

Lebih lanjut lagi, ketika menjelang hari Pemilu, apabila suhu ketegangan antara electoral politics dengan citizenship politics meninggi, adakah yang mau meredamkannya? Mengingat status ontologi demokrasi di kita lebih sering bersarang pada pelembagaan formal saja, ketimbang mengejawantahkan inklusifitas yang radikal.

Narasi Politik

Memang demokrasi menyediakan ruang bagi siapa saja buat menuangkan idenya. Meskipun risikonya dapat melahirkan oligarki. Namun demokrasi bukanlah pengaturan politik terbitan tahun 2019. Sejak abad ke-19, menurut ilmuwan politik Russel Hanson, yang melacak evolusi pengertian demokrasi, ia menguraikan bahwa demokrasi adalah konsep tanpa tandingan dalam politik modern dan paralel dalam sejarah politik. Namun, popularitas demokrasi juga membuatnya jadi sebuah kata “hore” yang kehilangan bobot (Herry Priyono, 2022).

Kendati demikian, bahwa Indonesia memilih demokrasi sebagai penyelenggaraan sosialnya tentu punya prioritas— maka demokrasi mesti bersifat falibilisme, sehingga apabila terjadi krisis kepercayaan dalam republik dapat segera ditanggulangi dengan tindakan, bukan sekadar dengan slogan “hore-hore: keadilan, kebebasan, kesejahteraan”.

Lagi pula sangat simpel membuat kedewasaan politik itu secara kualitatif; lepaskan saja jabatan jika tak mampu menjalankannya, tanpa harus bertele-tele dan menggunakan triliunan alasan buat menarasikan ketidakmampuan. Apalagi sampai membungkam kritik dan mempidanakannya. Kalau orang Perancis bilang, "gouverner c’est prevoir". Artinya, memerintah itu harus melihat ke depan. Pandangan mata harus tajam seperti mata elang, sehingga langkah kebijakan juga tepat. Bukan sebaliknya, mata pemerintahan dan politik berubah bentuk menjadi mata duitan. Jika demikian, itu sama saja mempertegas bahwa parameter politik kita masih kental dengan unsur demagogisnya.

Bagaimanapun politik itu adalah tentang menarasikan. Ia tumbuh karena peradaban memfasilitasinya. Ada alam dan berbagai makhluk hidup, maka entitas sosial pun terkonstruksi.

Oleh karenanya, dalam politik itu,  mendendam dan marah dapat menutup narasi. Dari situ fanatisme di daur ulang, sehingga menghasilkan kekerasan dan ketimpangan itu semakin rentan. Makanya dibutuhkan pedagogi untuk mengelola itu semua, agar emosi dapat diredam dengan berlogika.

Jadi, pada akhirnya, mengakui ketidakmampuan dalam berpolitik adalah bentuk pembelajaran. Siapa yang mau belajar—itu punya daya buat memperluas etika publik. Dari situ politik akan tetap tumbuh dengan etos kedewasaan yang etis dan intelektualisme, bukan hanya sekadar dengan kemampuan teknis (legislatif, eksekutif, yudikatif) semata.

Kalau memang mau mengabdi serta berkreasi melalui politik formal, tetapi belum siap secara akademis. Tenang. Masih ada paradigma lainnya, yaitu menjadi warga negara saja. Dengan aktif memperhatikan, mengulas dan mempertanyakan aktivitas kebijakan publik, itu sudah bentuk mengabdi, tanpa harus berambisi harus mengisi pos jabatan publik. Karena hari-hari ini meritokrasi memang semakin langka mewarnai politik di Indonesia.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//