• Narasi
  • Konflik Abadi di Tanah Suci

Konflik Abadi di Tanah Suci

Deklarasi Balfour satu abad yang lalu menjadi akar konflik di tanah Palestina.

Alda Agustine Budiono

Pemerhati Sejarah dan Pengajar Bahasa Inggris

Salinan surat Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour pada seorang tokoh komunitas Yahudi di Inggris, Lionel Walter Rothschild yang kini dikenal sebagai Deklarasi Balfour. (Foto: United Kingdom Government/Wikipedia)

21 November 2023


BandungBergerak.id – Hari itu, 7 Oktober 2023, Tal Gably, dan ratusan orang lainnya sedang berada di tengah keramaian Nova Festival, sebuah festival musik yang diadakan di sebuah daerah pertanian Gaza-Israel. Festival ini diselenggarakan dalam rangka Hari Raya Sukkot (hari raya pondok daun); syukuran atas hasil panen, yang berlangsung selama 7 hari pada bulan purnama antara September dan Oktober. Tidak terlintas di benaknya bahwa hari penuh sukacita itu akan berubah menjadi mimpi buruk.

Kira-kira pada jam 6.30 waktu setempat roket-roket mengebom hancur venue festival musik itu. Tiga puluh menit kemudian, pasukan Hamas, kelompok militan Palestina, menyerbu masuk lalu menembaki siapa saja yang mereka lihat. Tal Gably dan ratusan orang lainnya berhamburan lari menyelamatkan diri. “Kami bahkan tidak punya tempat berlindung karena berada di luar ruangan,” katanya.

Serangan itu, yang dinamakan Operasi Banjir Al-Aqsa, adalah awal dari konflik langsung pertama yang berlangsung di wilayah Israel sejak Perang Arab-Israel tahun 1948. Namun, akar dari konflik ini sudah terjadi sekitar 100 tahun yang lalu.

Baca Juga: Seruan Palestina Merdeka dari Ibu Kota Asia Afrika terus Menggema
Palestina dan Netizen yang Nirempati dalam Bermedsos
Organisasi-organisasi Pewarta Dunia Mengutuk Pembunuhan Jurnalis dalam Serangan Israel ke Palestina

Deklarasi Balfour

Setelah mengalahkan Kesultanan Ottoman pada Perang Dunia I (28 Juli 1914-11 November 1918), Inggris menguasai wilayah yang saat ini dikenal sebagai Palestina. Penduduk mayoritas di wilayah ini adalah orang Yahudi, dan mayoritas terdiri dari orang Arab. Pada tanggal 2 November 1917, menteri luar negeri Inggris, Arthur Balfour. menulis surat kepada seorang tokoh komunitas Yahudi di Inggris, Lionel Walter Rothschild. Surat itu dikenal sebagai Deklarasi Balfour, terdiri dari 67 kata, dan berbunyi sebagai berikut: 

Kementerian Luar Negeri Inggris, 2 November 1917

Kepada Yang Terhormat Lord Rothschild

Dengan rasa senang saya menyampaikan pada Anda, atas nama Pemerintah Kerajaan Inggris, deklarasi yang didasarkan pada simpati untuk aspirasi Zionis Yahudi ini telah diajukan dan disetujui oleh Kabinet Perang.

Pemerintah Kerajaan Inggris memandang positif pendirian tanah air nasional untuk orang-orang Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan usaha terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, sebab dipahami bahwa tidak ada yang dapat menghakimi hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, atau hak dan status politik yang dimiliki oleh Yahudi di negara lainnya.

Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia. Salam Arthur James Balfour

Intinya, deklarasi ini mendukung pendirian “rumah” bagi orang-orang Yahudi di tanah Palestina. Inggris berharap para investor Yahudi dapat membujuk Woodrow Wilson, presiden Amerika Serikat saat itu, untuk ikut berperang. Selain itu, negara ini juga berharap bisa mendapat dukungan perdana menteri Rusia, Aleksandr Kerensky.  Letak Palestina yang menghadap Mesir dan Terusan Suez, dianggap akan membawa keuntungan ekonomi di masa depan. Dikhawatirkan, jika tidak mengeluarkan deklarasi, tanah Palestina akan jatuh ke tangan Jerman.

Istilah “tanah air nasional” yang tidak jelas maksudnya, memuluskan Zionisme, gerakan nasional orang Yahudi dan budayanya untuk membangun peradaban di wilayah yang mereka klaim sebagai Tanah Israel, untuk mencaplok kawasan Palestina. Migrasi orang Yahudi semakin marak antara tahun 1920an sampai 1940an. Banyak di antara mereka melarikan diri dari holocaust Nazi Jerman selama masa Perang Dunia II (1942-1945). Akibatnya, konflik antara komunitas Yahudi dan Arab, juga pemerintah Inggris, terus meningkat. Karena itu, pada tahun 1947, PBB melakukan pemungutan suara dan memutuskan membagi Palestina menjadi dua: wilayah Yahudi dan wilayah Arab. Kota Yerusalem ditetapkan sebagai wilayah internasional. Para pemimpin Yahudi menerima rencana ini, namun para pimpinan Arab menolaknya. Akibatnya, rencana ini tidak pernah dilaksanakan. Karena tidak mampu menyelesaikan konflik ini, Inggris pun mundur pada tahun 1948. Setelah itu, para pemimpin Yahudi memproklamirkan berdirinya negara Israel.

Jalur Gaza

Jalur Gaza merupakan pusat konflik antara Hamas dan Israel selama ini. Secara de facto (menurut kenyataan), wilayah ini telah menjadi kekuasaan Hamas sejak tahun 2007. Namun, secara de jure (menurut hukum internasional), wilayah ini masih belum jelas kepemilikannya. Banyak pihak Barat, termasuk PBB, beranggapan bahwa Jalur Gaza masih dikuasai Israel secara sah berdasarkan perjanjian hukum. Selain itu, berbagai negara, termasuk Inggris, belum mengakui keberadaan negara Palestina. Karena dianggap sebagai grey area, wilayah ini jadi rebutan antara Palestina dan Israel. Walaupun statusnya pendatang, Israel ingin menguasai Palestina dan mengusir warga sipil yang merupakan penduduk asli.

Wilayah yang tadinya dimaksudkan sebagai tempat aman dan kampung halaman baru bagi orang-orang Yahudi itu diserang lima negara Arab. Terjadi pertempuran sengit selama berbulan-bulan. Ratusan warga Palestina terpaksa melarikan diri dari al nakba (bencana), meninggalkan rumah dan harta benda mereka. Pertempuran berakhir dengan gencatan senjata setahun kemudian. Pada saat itu Israel telah menduduki sebagian besar wilayah tersebut. Kota Yerusalem sendiri dikuasai pasukan Israel di barat dan pasukan Yordania di timur. Karena tidak ada perjanjian perdamaian, maka perang pun tidak kunjung usai.

Saat ini Jalur Gaza digambarkan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, sebagai “mimpi buruk kemanusiaan yang tidak pernah berakhir bagi warga sipil.” Rimal, salah satu lingkungan terkaya di Gaza, dan biasanya tenang, dibom sepanjang malam. Mengutip BBC International yang dilansir CNBC Indonesia (11 Oktober 2023), seorang warga, Mohammed Abu al-Kaas, sangat menyesalkan  hal ini. Ia bercerita bahwa ia telah kehilangan segalanya; apartemen tempat tinggal bersama kelima anak, juga toko kelontong miliknya di lantai dasar gedung apartemen. “Apakah rumah dan toko saya menjadi sasaran militer Israel?” Ia menuduh tentara Israel bohong ketika berkata bahwa warga sipil tidak menjadi target mereka.

Entah kapan perang ini akan berakhir.

*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Alda Agustine Budiono, atau tulisan-tulisan lain tentang sejarah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//