PAYUNG HITAM #17: Yang Hilang dari Tamansari
Hal yang tidak akan pernah hilang adalah martabat yang dimiliki Eva Eryani sebagai warga korban penggusuran rumah deret Tamansari yang masih terus melawan tirani.
Fayyad
Pegiat Aksi Kamisan Bandung
23 November 2023
BandungBergerak.id – Hari itu, Selasa, 17 Oktober 2023, sehari sebelum penggusuran. Atmosfer di sore hari saat itu cukup berbeda. Biasanya kami melakukan kegiatan menjahit, memasak, memetik kersen dan tomat, membaca di ruang Perpustakaan Literaksi – perpustakaan alternatif yang digagas kawan-kawan solidaritas dan warga yang bertahan-atau saling bertukar cerita tentang apa pun, sesekali tertawa atas lelucon yang dilontarkan. Namun, kondisi sore itu ketegangan semakin menyelimuti ketika secara tiba-tiba datang pihak kelurahan dan beberapa pemuda yang mengaku sebagai karang taruna Tamansari mengantar Kapolsek Bandung Wetan yang baru menjabat beberapa bulan lalu dengan dalih bersilaturahmi ke rumah milik Eva Eryani sebagai satu-satunya warga Tamansari RW 11 yang kukuh mempertahankan ruang hidupnya di tengah rezim pembangunan Pemerintah Kota Bandung.
Dengan penuh keyakinan dan suara yang lantang, Eva mulai menjelaskan histori, kronologi, dan hal-hal yang pernah/tengah dilalui di tengah ancaman penggusuran sembari menjawab pertanyaan yang ditanyakan kepadanya. Cukup kentara bagaimana cara persuasif dilakukan untuk mengambil alih hati Eva. Namun, dengan keteguhannya berhasil menghalau dengan statement yang tegas "Tuntutan kami cuma 2, cabut warga negara dan rekognisi-pengakuan yang sah sebagai warga negara sesuai KTP Tamansari Kota Bandung-sehingga tanah ini bisa dihibahkan ke Pemkot Bandung". Berulang kali hal tersebut Eva sampaikan kepada siapa pun yang berbincang dengannya.
Rabu, 18 Oktober 2023, Hari Penggusuran
Sekitar pukul 08.00 WIB mulai beredar pesan berantai yang disebar melalui grup Whatsapp warga Tamansari oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung. Eva, tim kuasa hukum dan solidaritas mencoba merespons hal tersebut dengan melakukan perkumpulan di Dago Elos. Pukul 10.00 WIB setelah mendengar kabar bahwa puluhan warga pro-pembangunan rumah deret mendatangi rumah bedeng milik Eva dan merobohkan pagar pembatas dengan alasan apabila Eva tidak keluar dari rumahnya warga yang lain tidak akan mendapatkan uang kontrakan di tempat yang sedang mereka huni saat ini. Dan untuk ke sekian kalinya Eva dan tim kuasa hukumnya menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada urusan lagi antara warga yang bertahan dan mereka yang pro-pembangunan.
Situasi mulai kondusif di tengah hari berikut beberapa solidaritas ada yang sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Pukul 15.00 WIB ternyata warga pro-pembangunan beserta Satpol PP Kota Bandung kembali mendatangi rumah milik Eva saat sedang berbincang-bincang dengan warga Dago Elos dan solidaritas. Kondisi mulai memanas ketika warga pro-pembangunan mendorong paksa solidaritas ke luar pekarangan rumah dengan dalih "maneh lain warga dieu" (kamu bukan warga sini). Di saat yang bersamaan, dua orang tim hukum dicekik dan mendapatkan bogem mentah dari ormas.
Berlanjut pada pemisahan atau mungkin layak disebut penyekapan, Eva dan seorang kuasa hukumnya dipisahkan secara paksa dari solidaritas yang hadir pada waktu itu. Tak berselang lama, Satpol PP mulai mengeluarkan barang-barang milik Eva dan juga mengosongkan ruang Perpustakaan Literaksi yang dipenuhi buku-buku hasil donasi dari berbagai individu dan jaringan komunitas. Hingga tulisan ini dibuat, belum diketahui ke mana barang-barang tersebut diangkut.
Melalui tayangan live yang diposting melalui Instagram pribadi Eva, dengan sikap yang tegas dan secara sadar membakar rumahnya sendiri. Penulis memandang hal tersebut sebagai bentuk perjuangan penguasaan fisik hak atas tanah dan ruang hidup yang tidak ingin dirampas begitu saja oleh Pemkot Bandung lewat kaki tangannya yakni Satpol PP. Layaknya peristiwa Bandung Lautan Api 1946, semangat tersebut ada pada diri Eva yang mencoba membuka mata kita bahwa Pemkot Bandung masih berwatak kolonial.
Seperti penggusuran sebelumnya, di tanggal 12 Desember 2019, Satpol PP tidak dapat menunjukkan surat tugas ataupun rekomendasi dari pengadilan, hanya menyatakan secara lisan tugasnya menjalankan perintah yang entah siapa yang memerintahnya, yang seharusnya dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan Satpol PP tersebut. Padahal berdasarkan Hasil Laporan Akhir dari Ombudsman menyatakan Penggusuran 12 Desember 2019 adalah maladministrasi. Seharusnya warga yang terimbas maladministrasi atas kelakuan Pemkot Bandung tersebut berhak mendapatkan pemulihan kembali. Tapi malah mengulang kembali tindakan penggusuran secara brutal bahkan melibatkan kembali warga yang seharusnya berstatus DPO Polrestabes Kota Bandung eks- RW11 dibantu Ormas Gema Peta. Karena pengeroyokan oleh warga eks-rw11 ini pun pernah dilaporkan ke Polrestabes, namun belum di proses, sehingga kriminalisasi pada 18 Oktober kemarin terjadi lagi. Dan ada pembiaran dari aparat kepolisian, karena Eva sudah meminta pihak kepolisian untuk datang ke lokasi pengeroyokan, namun tidak digubris, padahal malam sebelumnya kapolsek baru yang bernama Danu itu berjanji akan datang jika dibutuhkan.
Hari yang panjang itu ditutup dengan pernyataan sikap dari Forum Tamansari Melawan bertempat di lapangan RW. 02 Dago Elos menyatakan bahwa:
- Mengutuk praktik adu domba yang dilakukan oleh Pemkot Bandung kepada wargaTamansari.
- Mengutuk tindakan pembiaran yang dilakukan oleh Pihak Kepolisian dan TNI atas kekerasan, Pelecehan, Penyekapan, Perusakan dan Penjarahan yang dilakukan oleh Satpol PP dan Ormas Gema Peta.
- Meminta pemerintah Indonesia untuk mencabut kewarganegaraan Eva Eryani Effendi karena percuma jadi WNI dan Meminta Suaka perlindungan kepada negara lain yang lebih beradab
Baca Juga: PAYUNG HITAM #14: Kekerasan Aparat dan Tuntutan Warga Desa Bangkal yang Diabaikan
PAYUNG HITAM #15: Dari Elos ke Ibukota Negara, Semangat Kami Semakin Membara
PAYUNG HITAM #16: Membayangkan Gelombang Protes Serangan Israel Menimpa Indonesia
Refleksi Pasca Penggusuran
Pemkot Bandung dengan watak kolonialnya melakukan serangkaian adu domba kepada warga yang bertahan dan warga pro-pembangunan dengan mengancam tidak akan memberikan uang kontrakan selama Eva belum keluar dari rumahnya. Rantai komando kepatuhan pun terlihat ketika Satpol PP mengosongkan dan mengangkut paksa properti milik Eva berikut barang-barang Pasar Gratis berupa pakaian donasi yang sebenarnya akan didistribusikan kepada kawan-kawan yang membutuhkan, berikut barang-barang Aksi Kamisan Bandung berupa payung juga banner/kain yang bertuliskan berbagai pengingat/tuntutan tentang pelanggaran HAM.
Belum lagi buku-buku bacaan beserta alat tulis Perpustakaan Literaksi yang biasa digunakan untuk menggambar/mewarnai anak-anak kecil di sekitar Taman Pasopati yang ternyata sebagian besarnya diduga dibakar oleh mereka. Tanaman singkong, tomat, pepaya, hingga pohon kersen dan lainnya yang hasilnya dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari dan jika berlebih kerap dibagikan kepada yang lain juga kini telah tiada karena telah rata dengan tanah dan mulai dilakukan pembangunan di atasnya. Rumah perjuangan tersebut telah tiada.
Hal-hal tersebut memang hilang, ada yang dirusak, dijarah, diangkut paksa entah ke mana, dibakar, hingga diratakan dengan tanah. Penulis rasa, Pemkot Bandung menutup rapat-rapat mata dan telinga atas konflik tersebut bahkan sebagai dalang utama dalam penggusuran di Tamansari dan mereka tidak akan mau memberikan penggantian yang sesuai-meskipun kami tidak mengharapkan hal tersebut. Dan hal esensial yakni kenangan individu maupun memori kolektif atas ruang hidup tersebut selama memperjuangkan hak atau bahkan lebih jauh lagi di masa kecil dahulu sudah pasti tidak bisa digantikan dengan apa pun.
Masih teringat pula bagaimana aparatur keamanan Bhabinkamtibmas (Polisi), Babinsa (TNI), yang menyaksikan secara langsung seluruh proses tersebut hanya melakukan pembiaran atas seluruh tindak kekerasan, pelecehan seksual dan verbal, hingga perusakan serta penjarahan properti milik Eva serta kawan-kawan solidaritas lainnya. Lalu di mana peran dan fungsi mereka sebagai aparatur keamanan?
Namun, hal yang tidak akan pernah hilang adalah martabat yang dimiliki Eva sebagai warga yang masih terus melawan tirani. Semangat perlawanan atas ketidakadilan terus menular kepada siapa pun. Sebagai penutup, mengutip kata-kata dari Eva Eryani bahwa "Setiap penggusuran adalah petaka, apalagi dalangnya adalah penguasa”. Penghancuran ruang hidup kita dan perampokan berulang ini, memang menyakitkan hati kita. Walau sebanyak apa pun yang hilang, jangan sampai kita kehilangan nurani dan akal sehat. Tetaplah tegak seperti di awal. Forum Tamansari Bersatu masih ada, kita akan tetap lanjutkan perlawanan terhadap kezaliman, di mana pun semampu kita.