• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Korupsi dan Kejahatan Internasional di Balik Perdagangan Satwa Dilindungi

MAHASISWA BERSUARA: Korupsi dan Kejahatan Internasional di Balik Perdagangan Satwa Dilindungi

Aktivitas perdagangan satwa liar yang dilindungi telah menjangkau lintas negara dan dilakukan melalui sistem jual beli dengan memanfaatkan media sosial.

Michael Christian

Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Burung hantu yang malang diperdagangkan secara ilegal. Desakan ekonomi dan ketidaktahuan membuat maraknya perburuan satwa liar. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

24 November 2023


BandungBergerak.id – Perburuan satwa sebenarnya sudah dimulai sejak manusia ada di muka bumi. Perburuan binatang pada zaman itu bertujuan untuk dikonsumsi. Pada zaman sekarang, perburuan satwa tidak sepenuhnya untuk dikonsumsi, namun untuk mengambil bagian tubuhnya untuk kerajinan, obat-obatan, kosmetik, dan kepuasan pribadi. Perdagangan satwa juga memiliki potensi keuntungan yang sangat besar terutama pada satwa langka. Semakin langka hewan itu maka semakin mahal harganya.

Komoditas perdagangan satwa hewan yang paling rentan di antaranya trengiling, harimau, badak cula satu, penyu sisik, dan hiu (Afra Augesti, Liputan6.com, 24 Juni 2019). Di Asia Tenggara dan Asia Timur, harga jual satwa tersebut menjadi lebih tinggi karena selain selain untuk dijadikan hewan peliharaan pribadi, hewan peliharaan di kebun binatang, atau diambil dagingnya serta organ-organ tubuhnya sebagai bahan obat-obatan, kosmetik, satwa peliharaan kebun binatang dan satwa peliharaan pribadi.

Jatna Suriatna dalam bukunya “Melestarikan Alam Indonesia” (2008) mencontohkan bisnis ilegal jual beli satwa eksotis dengan konsumen lebih dari 100 juta masyarakat Cina. Vietnam, negara ini melakukan bisnis ilegal ini dengan perputaran uang mencapai 66,5 juta Dolar AS per tahun. Perdagangan satwa dilindungi merupakan salah satu faktor penyumbang perusakan ekosistem yang dilakukan oleh manusia.

Ada beberapa pihak yang dapat menjadi penikmat dari hasil perdagangan satwa ilegal, yaitu:

  1. Kolektor hobi: Orang-orang yang menyukai hewan langka sebagai koleksi pribadi atau untuk dipamerkan.
  2. Pembeli produk hewan langka: Mereka yang mencari produk-produk yang dibuat dari bagian tubuh hewan langka, seperti kulit, tulang, atau gigi.
  3. Pengepul: Individu atau kelompok yang terlibat dalam mengumpulkan dan mendistribusikan satwa ilegal dari sumber ke konsumen.
  4. Pedagang di pasar gelap: Pelaku usaha ilegal yang menjual satwa langka secara rahasia dan tanpa izin.

Berbagai faktor mempengaruhi semakin meningkatnya perdagangan satwa liar yang dilindungi. Di antaranya faktor ekonomi yang didorong oleh permintaan pasok yang tinggi serta lemahnya penegakan hukum. Pelaku perdagangan satwa liar yang dapat dijerat menggunakan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun, hal ini tetap saja tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku. Bahkan praktik jual beli ini semakin meningkat. Skala perdagangan satwa liar yang dilindungi bahkan telah dilakukan lintas negara dan dilakukan melalui sistem jual beli dengan memanfaatkan media sosial seperti Telegram, Twitter, dan Facebook. Bisnis perdagangan satwa liar dilindungi semakin memiliki celah besar dengan banyaknya komunitas hobi pemelihara hewan.

Berdasarkan laporan Global Financial Integrity yang berjudul Transnational Crime and the Developing World, yang dipublikasikan pada Maret 2017, aliran dana secara global yang berputar dari tindak kejahatan perdagangan satwa liar ilegal yang dilindungi mencapai 10 miliar Dolar AS setiap tahunnya. Selain itu, perdagangan satwa liar yang dilindungi merupakan usaha yang menguntungkan dan beririsan dengan tindak pidana pencucian uang. Pelaku kejahatan perdagangan satwa liar sering menyamarkan hasil tindak pidananya dari aparat penegak hukum melalui pencucian uang. Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa negara telah mengalami kerugian sebesar Rp 806,83 miliar akibat adanya perdagangan satwa liar dilindungi. Total kerugian itu terhitung sejak 2015 hingga 2021. 

Baca Juga: Bayang-bayang Aparat di Balik Praktik Perdagangan Satwa Dilindungi
Membela Kesejahteraan Satwa di Tengah Konflik Aset Kebun Binatang Bandung
Satwa-satwa di Lahan Sengketa

Modus Korupsi

Perdagangan satwa liar dilindungi yang dilakukan secara konvensional dilakukan dengan cara bertemu dan bertransaksi secara langsung antara penjual dan pembeli. Modus yang digunakan pelaku dalam perdagangan satwa dilindungi kini semakin berkembang seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi. Salah satu modus operasi yang dijerat menggunakan undang-undang tersebut yaitu perdagangan satwa dilindungi oleh kelompok pedagang melalui grup komunikasi pedagang dalam sosial media sosial Facebook, Twitter, dan Telegram, lalu mereka melengkapi grup penjualan dengan sarana transaksi bersama melalui rekening bersama (rekber). Rekening bersama ini menjadi pihak ketiga yang menjadi perantara antara pedagang dan pembeli. Jika jual beli telah disepakati maka pembeli mengirim uang ke rekening bersama dan penjual mengirim satwa yang dimaksud.

Modus Perdagangan Satwa Dilindungi

Konsumen perdagangan satwa liar dilindungi tidak terjadi hanya berada di ruang lingkup regional di dalam negeri saja, namun melibatkan konsumen dari luar negeri (internasional). Beberapa di antaranya diperdagangkan dalam bentuk barang kerajinan atau suvenir dari bagian tubuh satwa yang dilindungi di Indonesia. Modus lain terkait perdagangan satwa liar dilindungi yakni perdagangan satwa liar dilindungi tanpa disertai dokumen pengiriman. Pengangkutan satwa tersebut dikirim dengan cara menyelundupkannya menuju Indonesia atau dari Indonesia menuju negara lain. Modus lain dapat berupa pengimporan satwa secara ilegal. Dalam hal ini modus yang digunakan yakni melakukan penyelundupan satwa dari luar negeri yang seharusnya dilengkapi Health Certificate dari negara asal dan melakukan karantina namun pelaku tidak melewati semua prosedur tersebut. Modus selanjutnya yang digunakan pelaku untuk melakukan kejahatan ini yakni menggunakan kemasan yang samar untuk terdeteksi secara kasat mata melalui modifikasi pengemasan. Yang paling unik adalah modus perdagangan yang bersumber dari kebun binatang. Jadi satwa yang mati di kebun binatang tidak dikuburkan atau dilaporkan ke BKSDA tetapi dijual dan dibisniskan .

Aktor Perdagangan Satwa Dilindungi

Dalam perkara perdagangan satwa liar dilindungi melibatkan banyak pihak di dalamnya mulai dari pemburu, bandar, penampung, taxidermist (pembuat satwa awetan), hingga eksportir ilegal. Masing-masing aktor di dalam kejahatan ini memiliki peran yang berbeda-beda. Adapun pelaku yang terlibat dalam kerja sama perdagangan satwa dilindungi bisa dikenakan hukuman pidana dalam Pasal 55 KUHP.

  1. Peran serta pemburu merupakan salah satu kunci dalam rantai perdagangan/perniagaan satwa liar. Bermula dari aktivitas ilegal para pemburu yang bertugas menangkap dan mendapatkan satwa-satwa liar pesanan para peminat dengan harga yang tinggi, sehingga menjadi motivasi para pemburu untuk mendapatkan keuntungan.
  2. Berperan sebagai pihak yang memberikan modal serta membiayai perdagangan satwa liar.
  3. Tugasnya menyediakan tempat untuk menampung hasil dari penangkapan atau perburuan yang dilakukan oleh pemburu. Penampung bisa saja perseorangan atau korporasi.
  4. Perannya memberikan jasa pengiriman hasil eksploitasi penangkapan satwa.
  5. Taxidermist (pembuat satwa awetan). Merupakan istilah pengawetan untuk hewan pada umumnya, vertebrata pada khususnya, dan biasanya dilakukan terhadap hewan yang berukuran relatif besar dan hewan yang dapat dikuliti termasuk beberapa jenis reptil, burung, dan mamalia.. Tugas dari taxidermist adalah mengawetkan satwa hasil penangkapan ilegal untuk kemudian diperjualbelikan.
  6. Tugas seorang eksportir dalam perdagangan satwa adalah melakukan komunikasi dan negosiasi dengan perusahaan asing serta melakukan presentasi dan pengenalan produk perusahaan kepada perusahaan asing. Pelakunya bisa dilakukan oleh perseorangan atau korporasi.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//