• Kolom
  • RUANG RENUNG #30: Memikirkan Ulang Fondasi Definitif Filosofis dari Fotografi

RUANG RENUNG #30: Memikirkan Ulang Fondasi Definitif Filosofis dari Fotografi

Fotografi adalah sebuah pengakuan bahwa waktu ada. Menggamit realitas fotografis adalah kesiapan mental untuk bertarung dengan waktu.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Kamera antik. (Foto: Sumber Wikimedia commons)

24 November 2023


BandungBergerak.id – Fotografi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, lebih tepatnya, abad ini sudah menjadi abad fotografis. Cara berada manusia sekarang menjadi sangat imajerial. Bukti kehadiran kita di permukaan planet ini adalah sebuah foto, yang dilengkapi dengan catatan – yang disebut kartu tanda penduduk. Saat kita masuk sekolah dan lulus, kita punya ijazah – yang disahkan oleh kehadiran foto diri kita yang sudah divalidasi. Saat kita hendak mendapatkan surat ijin mengemudi, kita harus mempersiapkan diri kita untuk difoto dengan pakem tertentu. Saat kita bekerja, semua data diri kita adalah keterangan atas foto kita sebagai pegawai di perusahaan tersebut. Saat kita menutup usia, kehadiran kita terakhir adalah sebuah foto, yang disandingkan dengan eulogi yang membuat kita akan dikenang untuk selamanya.

Fotografi menghadirkan kita dari lahir hingga kita ke liang kubur atau krematorium, dan bahkan bila kita tidak mungkin dihadirkan secara fotografis, keberadaan kita akan diragukan – atau bahkan disangkal. Imaji fotografis sudah menjadi bukti kuat dari alibi terkuat yang kita punya. Semua kasus hukum akan sangat mudah dibuktikan bila ada foto yang menunjukkan ketidakterlibatan kita. Seorang politisi atau selebritas bisa berakhir kariernya bila foto perselingkuhan mereka tersebar di media. Keberadaan spesies yang sangat langka semakin sah bila ada imaji fotografis yang menyertainya. Cara berteman kita yang paling kuat sekarang adalah lewat gambar yang diambil oleh kamera foto. Bukti terkuat liburan kita di tempat eksotik adalah, lagi-lagi, imaji fotografis.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa kita telisik dari keberadaan imaji visual yang dihasilkan lensa ini: (1) klaim kematian fotografi, (2) ideologisasi fotografi, dan (3) kondisi pasca-medium fotografi sebagai fondasi dari sebuah meta-teori abad fotografis. Sebagai sebuah cara berada – raison d’etre yang – yang tidak bisa tidak di puncak, ironisnya fotografi sudah selalu dipahami sebagai sekadar gambar realistis. Perbedaan antara fotografi analog di jaman film 35 mm dengan kamera digital jutaan piksel adalah pada kemudahan dan kemurahannya. Tapi sebuah foto tidak pernah dianggap lebih dari sekadar kenang-kenangan – meski hidup kita sekarang sudah sangat berubah dengan kehadiran fotografi dalam tubuh barunya: imaji fotografis digital yang dikonstruksi oleh kecerdasan buatan.

Kematian Semu Fotografi

Ketakutan manusia akan waktu memang tidak pernah sepele. Di jaman mitologi Yunani saat mereka masih menjadi peradaban pulau dan membangun sentranya di Mikene, keberadaan waktu adalah sebuah rasa takut yang utuh dan tidak pernah setengah-setengah. Kronos – titan yang paling ditakuti – adalah sebuah fondasi mitik-kultural yang dengan tegas memprasastikan secara verbal kegelisahan terdalam mereka. Semua imaji visual yang mereka hasilkan, dan berkembang hingga pertengahan abad ke-19, adalah sebuah upaya perlawanan nir-waktu. Semua aspek kronis adalah antitesis dari upaya ekspresi rupa apa pun, dari yang dua hingga tiga dimensi.

Namun waktu yang tidak pernah ditunggu-tunggu akhirnya berhasil mewaktukan dirinya lewat sebuah instrumen yang dianggap sebagai “ruang” atau “kamar” – camera dalam bahasa Latin. Lewat alat bantu lukis yang diberi nama camera lucida dan variannya camera obscura, proses reproduksi realitas – sebuah bentuk representasi ultim, akhirnya hadir dan menjadi sebuah bangun mekanis mandiri. Dengan ditemukannya berbagai proses kimia untuk mematenkan imaji fotonik – yang berasal dari cahaya – ke atas bidang datar, fotografi pun lahir. Fotografi yang “berayah” sains dan “beribu” seni menjadi sebuah persoalan yang tidak pernah selesai dan padam.

Kelahiran fotografi sudah menyentak dunia rupa, karena yang ditakutkan sejak ribuan tahun akhirnya muncul ke permukaan. Waktu mewujud menjadi dirinya sendiri di atas gelas, di atas kertas, dan akhirnya di atas apa pun. Peradaban yang mewaktu adalah mimpi terburuk manusia. Sejak saat itu, semua sendi peradaban menjadi tegang, dan kekakuan itu menghasilkan kekuatan teknologis, dan sekaligus kegamangan ideologis. “Waktu tidak semestinya muncul”, demikian ungkap infrastruktur peradaban pada waktu itu. Sejak “ia” lahir dan menjelma menjadi materi, semua yang beradab dengan sangat terpaksa harus berhadapan dengan lawan terbaik mereka: bahwa semua ada akhirnya.

Sebelum waktu lahir dan menubuh dalam wajah fotografi, semua persepsi tentang kemewaktuan adalah sebuah bab tambahan dari buku besar mitik tentang kisah para dewa dan dewi di Olimpus. Sang kala yang ada di tempat nun jauh di sana adalah sebuah disposisi eidetik demikian Platonik hingga tidak ada seorang pun yang berpikir bahwa mampu akan mampu singgah ke dunia tempat kita berada. Namun bagai nasi sudah jadi bubur, waktu pun akhirnya sekarang ada di hadapan kita dan menyapa dengan ramah, dan kita merespons dengan rasa takut yang tidak tertahankan, meski kita tidak pernah bisa lepas. Dalam Thanatos, kata Erich Fromm, selalu ada Eros. Dalam kematian selalu ada cinta yang tidak bisa disangkal dan dilekangkan. Cinta dalam ketakutan kita pun dimulai.

Bukan sekadar isapan jempol, namun waktu memang penakluk cinta yang paling tangguh yang pernah ada di dalam sejarah manusia. Dari persepektif neurosains, waktu sudah sedemikian terikat dalam bangun interaksi neuronal kita. Konstruksi mental manusia akan realitas diikat oleh elemen temporal sebagai fondasi, dan singkatnya, tanpa temporalitas semacam itu segala kemungkinan dunia yang kita bangun runtuh berkeping-keping. Ada konsensus dari disiplin neurosains bahwa otak manusia adalah “silent box” – kata Lisa Feldman Barrett. Pakar psikologi-afektif yang segaris dengan William James dalam hal pemikiran itu mengatakan bahwa semua kognisi manusia dimulai dari peristiwa konsekuen. Dengan kata lain semua yang diterima otak pertama kali adalah akibat, dan dari titik tersebut otak menarik garis konstruksi kausal. Tanpa kausalitas, kita tidak mampu menghasilkan imaji mental apapun, dan kausalitas sejalan dengan waktu.

Bagian hipothalamus dalam otak manusia adalah jam yang menghasilkan kesadaran kita akan yang disebut dengan hari – sebuah ritme sirkadian yang bertanggung jawab terhadap persepsi kita akan yang disebut malam dan siang. Singkatnya, di bagian ini manusia menjadi temporal; organ mungil ini adalah jam tubuh yang membantu manusia menghidupi sebuah kehidupan yang rutin dan terjadwal – dan sekaligus diikat oleh waktu. Namun temporalitas manusia ini kemudian menjadi senjata makan tuan. Sejak kita tahu kapan padi akan menguning, kita juga tahu bahwa pada saat tertentu kita tidak lagi memiliki kapasitas sebagai makhluk hidup. Peradaban agrikultural menghasilkan sebuah kesepakatan tentang kalender, dan hidup manusia perlahan tapi pasti menjadi semakin rinci dan terbatas.

Setelah waktu hadir dalam kehidupan manusia lewat fotografi, upaya untuk mengenyahkannya dari panggung kebudayaan terus dicoba tanpa henti. Kesempatan datang saat teknologi digital mencapai kematangannya. Tadinya, foton dengan tingkat energi tertentu memberikan eksitasi pada saat benturan dengan partikel yang ada di dalam film. Dengan singularitas peristiwanya tidak ada yang menyangkal tanda tangan absolut sang waktu. Namun setelah interaksi tadi lebih bersifat peristiwa fisika dalam bentuk piksel yang bisa diisi dan dikosongkan, jejak benturan yang ada di film itu pun bisa disangkal. Waktu tidak lagi bisa tenang di kamera digital, karena sekarang – berkat aplikasi seperti Photoshop – tidak ada lagi yang abadi. Tidak ada lagi reaksi kimia yang khas. Waktu pun hanya mungkin singgah, dan ia tidak lagi berkuasa seperti di jaman analog. Kedigjayaan waktu secara material di fotografi habis sudah: fotografi sudah mati.

Baca Juga: RUANG RENUNG #27: Pekik Lembut Estetik tanpa Kritik
RUANG RENUNG #28: Simfoni Keenam Beethoven Tukang-tukang Piknik Profesional
RUANG RENUNG #29: Riak-riak Mungil Penganan Selestial

Fotografi dan Ideologisasi Fotografis

Saat waktu fotografi punah oleh digitalisasi proses dan hasil fotografis, manusia pun merayakan kemenangan sementara yang ganjil ini. Seperti pesta pora yang selesai di pukul sebelas malam, keriuhan dan kemeriahannya pun sementara. Setelah fotografi dinyatakan mati, ternyata dunia sudah sedemikian fotografis hingga apa pun yang riil adalah yang dapat diterakan oleh validasi fotonik yang disahkan oleh bangun cekung dan cembung lensa. Saat waktu tidak lagi dikunci di sel-sel reaksi kimia, waktu bisa dengan mudah bergerak bebas karena waktu sekarang bukan lagi garis atau panah waktu (the arrow of time). Tempo bukan lagi waktu – tapi kemewaktuan atau temporalitas. Akhirnya, manusia baru menyadari, bahwa ketakutan mendasar mereka soal waktu ada dalam bentuk jerat mental yang melesak di dalam kepala.

Kemewaktuan adalah sesuatu yang ideologis; dan hanya setelah waktu menubuh lewat kamera dan kertas resin dan sensor CCD dan CMOS, manusia sadar bahwa ia adalah sumber dari ketakutan abadi itu sendiri. Bahkan rasa takut ini telah ia lembagakan dalam setiap serat artefak kebudayaan: asuransi, bunga tabungan dan pinjaman, investasi, jadwal, hukuman penjara, kinerja ekonomi, efisiensi dan efektivitas, dan apa pun sudah terlanjur mewaktu. Waktu sudah ada di mana-mana dan saat ia “mengenyahkan” waktu, ia hanya memindahkan waktu dari satu ransel ke ransel berikutnya yang lebih berat. Saat sebuah pinjaman selesai, pinjaman yang lain datang menunggu. Saat sebuah jadwal selesai, jadwal yang berikutnya sudah mengambil nomor antrean.

Manusia baru disentakkan oleh kenyataan bahwa fotografi analog adalah tubuh pejal dari hantu waktu yang gentayangan tanpa henti. Kehadiran fotografi digital – dan bahkan kecerdasan buatan – hanya menegaskan bahwa waktu semakin absolut dan tidak dapat ditolak atau dihentak minggat. Sekarang, tugas fotografi adalah untuk memeriksa kehadiran fotografis di setiap titik iris manusia dengan realitas. Waktu yang sekarang mewaktu punya jejak, dan jejaknya ada di mana pun. Di dalam peradaban yang fotografis ini, senada dengan yang diangkat oleh David Bate, kita semua adalah kritikus waktu dengan senjata lensa dan sensor – atau kertas dan medium apa pun bagi mereka yang masih saja keras kepala.

Ada dua karakter kritis yang bisa kita tempuh. Garis pertama adalah garis pedih yang dimulai dari Karl Marx dan diangkat terus sampai mati oleh para tukang kabung dan juru tangisnya. Garis kritik fotografi Marxis adalah garis cari kambing hitam yang dapat dengan tepat memeriksa karakter eksploitatif waktu untuk dijual dengan tangis atau kepalan tangan. Persoalan terbesar dari garis ini adalah tahap re-konstruksinya yang tidak pernah digagas dengan serius. Seniman yang bekerja dengan medium dan punya pin Marxis di dadanya cenderung efektif dan efisien dalam membongkar, meski mereka tidak terima pesanan untuk memasang. Sejalan dengan ideologi Marxis, berandal lainnya ada di kampung dekonstruksi, yang tidak perlu rasa sakit dan air mata untuk bikin huru-hara. Mereka dengan super efisien dan efektif meluluh-lantakkan bangun apa pun, dan setelahnya ditinggal pergi.

Lepas dari variasi dampak kedua jalur kritik fotografi, yang mereka lakukan justru mengukuhkan ke-tidak-mungkin-matian dari dari fotografi dan sekaligus otoritas absolutnya sebagai kritikus realitas temporal paling otoritatif. Pelukis dengan medium apa pun tidak punya privilese unik semacam ini. Semua pelukis melukis dengan absennya waktu di dalam kepala mereka. Tidak ada kemewaktuan yang rela singgah di atas kanvas lukis atau apa pun itu, betapa pun super-hiper-duper realisnya. Sebuah lukisan dalam trah apa pun adalah realitas imajerial oto-puitik dan sui-generik dalam bentuk keutuhan ultimnya. Fotografi cantik nan cuan pada dasarnya adalah lukisan – dan pretensi foto-foto manis semacam ini tidak berhak mengklaim kemewaktuan – setidakberhaknya selibat aseksual menulis buku tentang meriahnya bercinta buas hingga melantakkan perabot dengan pasangan.

Fotografi sebagai Metateori

Pasca kelahiran kembalinya, fotografi adalah sebuah pengakuan bahwa waktu ada. Menggamit realitas fotografis adalah kesiapan mental untuk bertarung dengan waktu. Dalam fotografi dengan huruf ‘f’ kecil, pertarungan masih bisa dikenali karena waktu masih bisa ditubuhkan dengan mudah. Dalam Fotografi dengan ‘F’ besar, waktu ada di mana pun. Tidak sulit mengenali waktu, karena ia akan segera menghadirkan “benar” di kepala kita. Dalam fotografi (‘f’ kecil) – kita akan segera melihat sosok “benar” (true) dengan mudah, sebuah realitas fisik yang riil. Dalam Fotografi (‘F’ besar) – kita harus merangkai ulang sosok “kebenaran” (truth) – yang merupakan jelmaan lanjut dari sang “benar”.

Menariknya, pengakuan akan keberadaan begitu sulit, dan memang kehadiran temporal begitu rumit untuk dicerna. Lukisan dan berbagai medium seni lainnya memberi kita kelegaan absolut nir-waktu; sebuah foto, entah dengan ‘f’ atau ‘F”, memberi kita kecemasan eksistensial mewaktu; dan untuk bisa lolos dari kegelisahan fundamental semacam ini, kita perlu jujur menghadapi waktu dengan segala risikonya. Namun fotografi bukan antitesis dari lukisan, dan kecemasan kemewaktuan fotografi bukan pasrah tunduk apalagi takluk di hadapan waktu Heideggerian. Menghadapi realitas temporal dan berhadap-hadapan dengan sang kala membutuhkan dua keberanian ultim: untuk mengakui bahwa waktu itu ada, dan bahwa kita punya kebebasan mutlak dalam menghadapi fatalisme waktu.

Saat waktu tidak lagi kita sangkal dan kita tidak lagi ragu dengan kemampuan kita untuk bebas dalam bertindak, kita telah membawa fotografi ke fondasi paling definitifnya: sebuah meta-teori yang mengatasi paradoks temporal. Semua bentuk tunduk dan takluk di hadapan semua bentuk pilihan paradoksal adalah kemalasan dan ketidakberanian untuk berhadapan dengan waktu. Dunia hidup manusia sebelum fotografi lahir dan menubuh sudah selalu paradoksal – dan ternyata paradoks-paradoks itu hanya dimungkinkan karena kita mencoba menunda selama mungkin untuk mengaku bahwa waktu memang ada dan mungkin hadir di antara kita dan menghajar kita menghempas lantai.

Uniknya, semua bentuk meta-teori ini benar-benar hadir dan berinteraksi melewati batas-batas kertas. Tulisan ini dibuat dengan komputer yang bekerja dengan interaksi elektromagnetik yang tidak tunduk pada waktu. Sangat mungkin untuk tidak punya alasan untuk takut mengetikkan perjuangan untuk bergulat dengannya– dengan instrumen yang tidak pernah mengenal kata ‘waktu’. Tidak sulit untuk memahami bahwa keleluasaan untuk bekerja secara non-temporal bukan sekadar gadangan kita di atas spekulatifnya gerakan jemari melompat dari tuts yang satu ke yang lain. Sekali lagi, waktu itu benar-benar nyata dan berkuasa; namun keputusan kita juga tanpa batas, hingga satu-satunya pekerjaan rumah kita adalah untuk bertarung tanpa akhir dengannya sebagai lawan yang benar-benar sepadan – atau bahkan lebih.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//