Be Yourself, Perjalanan Autentisitas Anak Muda yang Kadang Disalahartikan
Stoicism, stoik, atau stoisisme, yaitu sebuah filosofi yang mengajarkan kepada kita cara untuk menciptakan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan nyata.
Moh. Hairud Tijani
Pegiat Literasi Gen Z dan Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Alumnus PP Annuqayah Madura.
26 November 2023
BandungBergerak.id – Ketika hidup di dunia yang semakin kompleks dan penuh dengan tekanan, sering kali kita merasa terjebak dalam konformitas sosial dan terus menerus berusaha memenuhi harapan orang lain. Dalam upaya untuk disukai, kita terkadang mengubah perilaku dan kepribadian kita yang sebenarnya. Namun, menjalani hidup seperti itu hanya akan menjadikan kita tidak bahagia dan tidak bisa mencapai potensi diri kita yang sebenarnya. Oleh karena itu, menjadi diri sendiri adalah sebuah seni yang harus dipelajari dan diamalkan untuk mencapai apa yang kita inginkan.
Untuk membentuk jati diri dengan versi yang terbaik tidaklah semudah itu. Hal ini mengharuskan kita untuk mengenali serta menerima diri kita apa adanya. Ini membutuhkan kesabaran, tekad dan niat yang kuat untuk belajar tentang diri sendiri dan menghargai semua aspek ada pada diri kita. Ketika kita mulai mengenal diri sendiri, kita bisa merasakan kebebasan dan kebahagiaan yang sebelumnya tidak kita tahu.
Konsep Be Yourself di sini, bukan berarti kita tidak memperhatikan kebaikan orang lain atau berusaha untuk menghadapi kekurangan dan kesalahan kita. Sebaliknya, kita harus memahami bahwa setiap manusia memiliki kelemahan dan identitas tersendiri, dan terus berusaha meningkatkan value diri tanpa menyerah pada tekanan sosial dan standar yang diterapkan oleh masyarakat.
Sebuah Alasan untuk Bermalas-malasan
Banyak orang berpikir bahwa menjadi diri kita sendiri adalah sebuah alasan yang tepat untuk menjadi lebih baik. Mereka berdalih bahwa jika mereka dibiarkan melakukan apa pun yang mereka inginkan dan tidak ada yang menuntut mereka untuk berubah, maka mereka bebas untuk merasa puas dengan diri mereka sendiri dan tidak perlu berusaha lebih keras. Namun, pandangan ini sebenarnya sangat keliru. Memang benar bahwa menjadi pribadi yang mencintai diri sendiri merupakan sesuatu yang penting dalam menjalani kehidupan, akan tetapi jika hal itu malah membuat kita menjadi malas dan terjebak dalam zona nyaman, maka tidak akan membawa kita menuju kebahagiaan ataupun keberhasilan.
Menjadi diri sendiri adalah tentang menerima dan memahami siapa kita sebenarnya, tanpa berusaha menjadi orang lain atau mengejar ekspektasi orang. Ini adalah soal bagaimana menghargai kepribadian, kemampuan, dan kehidupan. Menjadi diri sendiri bukan berarti membenarkan kemalasan dan mengabaikan tanggung jawab kita dalam menjalani kehidupan.
Jika kita menganggap menjadi diri sendiri sebagai alasan untuk terjebak dalam zona nyaman, hal itu merupakan kesalahan yang besar karena kita akan kehilangan banyak peluang. Peluang untuk berkembang dan tumbuh sebagai pribadi yang lebih baik. Peluang untuk mencapai potensi terbaik kita. Peluang untuk memberikan kontribusi bagi dunia dan orang-orang di sekitar kita.
Kebahagiaan dan keberhasilan sebenarnya terkait dengan kegigihan dan ketekunan dalam mengejar tujuan kita. Saat kita merasa puas dan malas, kita cenderung mengabaikan peluang dan berhenti memperbaiki diri. Kita tidak lagi mencari pengetahuan baru, keterampilan baru, atau pengalaman baru yang dapat memperkaya kehidupan kita.
Mengapa malas tidak akan membawa kita ke arah kebahagiaan? Karena ketika menjadi pribadi yang malas, kita merugikan diri kita sendiri. Kita menipu diri sendiri dengan menunda-nunda tugas, menghindari tanggung jawab, dan melakukan hal-hal yang tidak substansial. Jika kita menganggap menjadi diri sendiri sebagai alasan untuk stuck off, kita membuat diri kita terjebak dalam keadaan stagnan, tanpa adanya perkembangan atau kemajuan.
Baca Juga: Akhir Tahun 2022 Warga Jawa Barat Bahagia? Mari Kita Tengok Angka Kemiskinannya
Banyaknya Jumlah Mal di Bandung tidak Berbanding Lurus dengan Indeks Kebahagiaan Warga
Skeptisisme Gen Z Terhadap Janji Iklim Capres
Mengenal Stoicsm
Untuk mengatasi hal ini kita perlu berkenalan dengan stoicism, stoik, atau stoisisme, yaitu sebuah filosofi yang mengajarkan kepada kita cara untuk menciptakan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan nyata.
Jadi stoicism bertanya tentang hari ini sudah merasakan bahagia belum?
Jika berbicara tentang kebahagiaan, hal ini erat kaitannya dengan fokus kita terhadap hal yang bisa atau tidak bisa kita kendalikan. Nah, coba mengaku deh. Kalian selama ini lebih sering fokus ke hal-hal yang bisa dikendalikan atau malah berfokus pada hal-hal yang tidak bisa kalian kendalikan?
Kebanyakan orang di dunia ini lebih sering berfokus pada hal-hal di luar jangkauan mereka dibandingkan dengan berfokus pada hal-hal yang bisa mereka kendalikan. Padahal, kunci untuk menjadi seorang yang memiliki hidup bahagia, menjadi sosok yang tangguh, dan juga bijaksana, adalah dengan cara memusatkan diri pada hal-hal yang ada di dalam kendali kita, bukan malah sebaliknya.
Tolak ukur kebahagiaan seseorang di ukur dari apa yang ia dapat dan bisa di kendalikan, bukan hal-hal yang jauh dan mustahil ia gapai. Menurut saya pribadi pola pikir seperti ini hampir sama dengan sifat bersyukur dalam Islam. Bersyukur dengan apa yang kita punya dan tidak selalu lapar akan sesuatu di luar apa yang kita bayangkan. Kemudian dalam penerapannya coba tanyakan Apa yang kita punya dan apa yang kita tidak punya?. Contoh hal-hal yang kita punya adalah tinggi badan, warna kulit, bentuk tubuh, dan attitude. Contoh hal yang tidak kita punya yaitu cuaca, dan jadwal transportasi umum yang bisa saja tiba-tiba berubah. Tidak peduli seberapa keras usaha kita, kita tidak akan pernah bisa memaksa orang lain untuk menyukai kita. Dibanding memikir hal-hal yang tidak dapat kita capai, lebih baik kita lebih bersyukur terhadap apa yang sudah kita punya dan kita genggam saat ini.
Be Yourself untuk Sebuah Perubahan
Perubahan adalah bagian alami dari siklus kehidupan. Suatu saat, pasti kita semua akan dihadapkan pada situasi atau peristiwa yang memaksa kita untuk berubah baik dalam hal pikiran, sikap, ataupun tindakan. Tetapi, jika kita tidak mengenali dan menerima diri kita sendiri terlebih dahulu, perubahan tersebut mungkin akan mengacaukan dan menggoyahkan kita.
Ketika kita menjadi diri sendiri, kita membangun fondasi yang kuat untuk menavigasi perubahan. Kita memiliki pegangan pada nilai-nilai, keyakinan, dan tujuan hidup sendiri. Dalam menghadapi perubahan, kita bisa tetap berkomitmen pada apa yang kita yakini dan melangkah maju dengan integritas. Kita tidak perlu mencoba memenuhi harapan orang lain atau berubah menjadi seseorang yang bukan diri kita sendiri.
Saat hidup kita berubah, menjadi diri sendiri juga memungkinkan untuk menemukan dan menggali potensi tersembunyi dalam diri kita. Kita mungkin menemukan bakat baru, keterampilan baru, atau rasa minat baru jika kita berani menjalani hidup dengan cara yang paling autentik. Jika kita mencoba menekan diri sendiri untuk menjadi seperti yang orang lain harapkan, kita mungkin melewatkan hal-hal besar yang menunggu untuk dijelajahi.
Selain itu, menjadi diri sendiri memberi kita kekuatan untuk menghadapi cobaan dan rintangan yang muncul dalam perjalanan kita. Ketika kita mengenal dan menerima diri kita seutuhnya, kita memperoleh kepercayaan diri, menjadi lebih kuat dalam mengambil keputusan, melawan ketakutan, dan mengatasi hambatan. Jadi tidak perlu mengandalkan penilaian atau persetujuan orang lain untuk mendorong kita maju, karena kita memiliki prinsip yang kuat.
Menjadi diri sendiri haruslah disertai dengan ketegasan dan kemampuan untuk berkembang. Karena saat kita menghadapi perubahan, kita perlu terbuka untuk belajar dan bertumbuh. Kita tidak boleh membiarkan identitas diri kita sendiri menjadi penghalang untuk mencapai tujuan dan impian yang dicita-citakan, dan yang paling penting ialah tidak mengorbankan esensi kita sendiri dalam proses perubahan tersebut.