• Berita
  • Banyaknya Jumlah Mal di Bandung tidak Berbanding Lurus dengan Indeks Kebahagiaan Warga

Banyaknya Jumlah Mal di Bandung tidak Berbanding Lurus dengan Indeks Kebahagiaan Warga

Desain mal-mal di Bandung kurang mendukung terciptanya indeks kebahagiaan. Ada juga penelitian yang menunjukkan indeks kebahagiaan warganet Kota Bandung rendah.

Warga memadati area pusat belanja di kawasan Alun-Alun Bandung, untuk berbelanja kebutuhan lebaran, 3 Mei 2021. Warga menyerbu pusat-pusat perbelanjaan di wilayah perkotaan sejak H-10 lebaran tanpa menghiraukan protokol kesehatan. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana5 Juni 2023


BandungBergerak.idPembangunan di Kota Bandung berlangsung sangat pesat. Secara kasat mata kemajuan Kota Bandung terlihat dari jumlah pusat perbelanjaan modern seperti mal, supermarket, maupun minimarket. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, jumlah pasar modern di Kota Bandung hingga 2019 sebanyak 504 unit yang tersebar di 30 kecamatan.

Banyaknya pilihan fasilitas publik berupa pasar-pasar modern rupanya tidak berbanding lurus dengan indeks kebahagiaan warga Kota Bandung. Hal ini tercermin dalam hasil riset oleh tim peneliti dari Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur (KK PA) SAPPK ITB yang terdiri dari Mochamad Prasetiyo Effendi Yasin, Hanson Endra Kusuma, dan Grace Sibarani melakukan penelitian terhadap peran shopping mall bagi kondisi well-being (kebahagiaan) pengunjung di Kota Bandung.

Penelitian ini mengkaji secara khusus desain pusat perbelanjaan (shopping mall) khususnya mal yang menghadirkan fitur-fitur penunjang kualitas kesehatan untuk mencapai kondisi kebahagiaan berupa kesehatan fisik, mental, sosial, lingkungan, dan spiritual dalam satu konsep ruang yang terintegrasi.

“Model mal masa depan yang kami usulkan harus menyediakan ruang untuk kebutuhan kepuasan fisik, rekreasional, sosial, dan spiritual. Di Indonesia, beberapa mal sudah memiliki keempatnya, tapi masih saling terpisah dan tidak ada konsep yang menyatukan fungsi-fungsi tersebut,” kata Prasetiyo, dikutip dari laman ITB, Senin (5/6/2023).

Hasil penelitian tersebut dipaparkan dalam Webinar SAPPK bertajuk “Peran Shopping Mall terhadap Well-Being: Manfaat Restoratif dan Kualitas Kesehatan” pada Kamis (25/5/2023).

Penelitian tersebut dilakukan untuk mengungkap hubungan sebab-akibat yang bersifat langsung maupun tidak langsung antara motivasi pengunjung, karakteristik shopping mall, persepsi restorasi, aktivitas, dan Subjective Well-Being (SWB). Analisis dilakukan secara kuantitatif terhadap 240 sampel data kuesioner pengunjung shopping mall dari kalangan mahasiswa yang berkuliah di Kota Bandung.

Hasilnya, SWB atau kebahagiaan yang didapat dari shopping mall dipengaruhi oleh persepsi restorasi berupa kebetahan yang dirasakan pengunjung. Persepsi restorasi ini dapat muncul dari karakteristik fungsi dan kenyamanan dari shopping mal itu sendiri.

Prasetiyo juga menyinggung bahwa kelemahan manusia modern dewasa ini adalah kurangnya aktivitas gerak tubuh seperti jalan kaki. Kelemahan ini menjadi penyebab kematian nomor empat di dunia. Penelitian dari Stanford University mengungkap fakta bahwa Indonesia menjadi negara dengan kebiasaan berjalan kaki yang paling rendah dari 46 negara yang diteliti.

Melalui riset ini, tim merekomendasikan desain lingkungan binaan yang memicu gerak dan aktivitas fisik masyarakat. Sementara itu, Hason menjelaskan jenis aktivitas yang terkait langsung dengan SWB atau kebahagiaan pengunjung adalah aktvitas hiburan yang dipengaruhi oleh karakteristik desain shopping mall.

Di sisi lain, karakteristik desain ini pula yang mendorong motivasi pengunjung dalam hal interaksi sosial, rekreasi, dan belanja. “Penelitian ini dilakukan secara subjektif. Hasilnya masih hipotesis, kita masih perlu konfirmasi lagi, perlu replikasi,” ujar Hanson.

Hasil penelitian terhadap beberapa variabel ini nantinya dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam perancangan shopping mall yang memperhatikan ketercapaian kebahagiaan bagi pengunjung.

Selain itu, aspek karakteristik shopping mall, motivasi pengunjung, persepsi restorasi, dan aktivitas yang ditawarkan harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan desain shopping mall yang mampu menunjang kebutuhan dan kepuasan pengunjung di dalamnya.

“Implikasi hasil penelitian ini terhadap perancangan sangat bermacam-macam. Kemungkinan penerapan ke dalam desain sangat banyak. Berapa persen floor area di dalam shopping mall yang sebaiknya untuk rekreasi dan interaksi sosial? Berapa persen yang sebaiknya untuk belanja? Semuanya perlu kita teliti lebih lanjut,” ujar Hanson.

Baca Juga: Antisipasi Politisasi Masjid di Kota Bandung
Parade Jalan Rusak Kota Bandung
Sungai Citarum, Berkah di Masa Lalu, Bencana di Masa Kini

Kebahagaiaan Warga Bandung di Twitter Rendah

Indeks kebahagiaan warganet Bandung pernah diukur oleh sarjana dari Telkom University Bandung, Ika Rahayu Ponilan, Anisa Herdiani, dan Nungki Selviandro pada 2016. Mereka melakukan riset terhadap warganet Bandung pengguna Twitter dengan parameter ketersediaan waktu luang, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, hubungan sosial, kondisi keamanan, keadaan lingkungan, dan lain-lain.

Riset ini dilatarbelakangi survey indeks kebahagiaan yang dilakukan oleh BPS Kota Bandung yang menggunakan parameter yang kurang lebih sama. Namun para peniliti menilai, metode survey ini memiliki kekurangan dalam hal biaya yang besar, waktu yang lama, dan umumnya dibutuhkan usaha keras dalam pelaksanaannya.

Padahal menurut para peneliti, pengambilan opini tidak hanya dapat dilakukan melalui survey secara langsung, tapi dapat dilakukan melalui media sosial mengingat pertumbuhan media sosial sangat pesat di masyarakat. Sementara Bandung merupakan kota pengguna Twitter paling banyak nomor 6 sedunia di atas Paris dan Los Angeles menurut analisis Semiocast pada tahun 2013 dengan total penduduk Bandung sebanyak 2,4 juta jiwa.

Hasilnya, penelitian ini menghasilkan perhitungan indeks kebahagiaan seluruh kota Bandung yang berasal dari klasifikasi di dalam sistem sebesar 55,22 persen. Nilai tersebut didapatkan dari parameter ketersediaan waktu luang sebesar 6,28 persen, kesehatan 5,36 persen, pendidikan 3,25 persen, pekerjaan 2,94 persen, pendapatan 1,65 persen, hubungan sosial 8,2 persen, keharmonisan keluarga 1,55 persen, kondisi keamanan 0,8 persen, dan parameter keadaan lingkungan sebesar 6,6 persen.

“Kecamatan yang paling bahagia adalah kecamatan Regol dengan nilai happiness 81,48 persen, dan kecamatan yang paling tidak bahagia adalah kecamatan Astanaanyar dengan nilai happiness sebesar 32,07 persen,” demikian kesimpulan para peneliti.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//