• Berita
  • Antisipasi Politisasi Masjid di Kota Bandung

Antisipasi Politisasi Masjid di Kota Bandung

Politisasi masjid di Kota Bandung rawan terjadi pada musim menjelang pemilu. Masjid merupakan tempat paling strategis untuk menyalurkan kepentingan politik praktis.

Taman Alun-Alun Bandung, Jawa Barat, yang buka kembali setelah setahun lebih tutup untuk mencegah penularan Covid-19, Minggu (14/11/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana4 Juni 2023


BandungBergerak.idMenjelang pesta demokrasi 2024 mendatang, aktivitas politik mulai marak di berbagai lini. Tak terkecuali kampanye terselubung yang kerap menyasar kalangan dai dan pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) sebagai pegiat dakwah di lingkup terkecil masyarakat. Menyeret-nyeret masjid ke dalam politik praktis jelas harus diantisipasi karena bisa menimbulkan perpecahan umat.

Masjid merupakan salah satu tempat yang strategis untuk mencari suara, baik dalam konteks pemilihan presiden, pemilihan gubernur, maupun pemilihan walikota atau Pilwalkot Bandung yang akan diselenggarakan serentak. Tak heran jika masjid kerap menjadi sasaran para politikus untuk kepentingan politik praktisnya.

Kasus-kasus politisasi masjid muncul di setiap musim pemilu. Contoh paling mutakhir terjadi pada saat Pemilihan Gubernur tahun 2017 di mana masjid menjadi sarana efektif yang digunakan oleh beberapa takmir, tokoh agama, dan politikus untuk mengumpulkan jamaah dengan dalih pengajian umum.

Mirisnya, ternyata di dalam pengajian tersebut disusupi upaya mendukung salah satu calon kepala daerah, bahkan ada juga takmir yang sampai tidak mau mensalatkan jenazah akibat perbedaan pilihan politik (Politisasi Masjid Perspektif Fiqh Siyasah: Studi terhadap Takmir Masjid Di Kota Surabaya, oleh Moh. Makmun dan Mahmud Huda, dosen dari Prodi Hukum Keluarga Islam).

Menyikapi fenomena klasik ini, Asep Saeful Muhtadi yang mewakili Ketua MUI Kota Bandung Miftah Faridl mengatakan, dai dan DKM dituntut menciptakan suasana yang ramah dan rukun, namun tetap waspada dan menjaga agama agar tidak dijadikan bungkus komoditas politik yang memecah belah.

“Hasrat politik sudah semakin memanas, terutama bagi pelaku politik yang berkepentingan mempromosikan diri dan komunitasnya. Untuk itu, butuh antisipasi positif dari tokoh agama, masyarakat, dan akademisi agar tidak terjadi gesekan yang mungkin bisa muncul akibat perbedaan kepentingan politik,” papar Asep, dikutip dari laman Unpas, Sabtu (3/6/2023). 

Asep berbicara dalam Silaturahmi dan Halaqah Dakwah yang digelar MUI Pusat Jakarta melalui MUI Kota Bandung bekerja sama Universitas Pasundan (Unpas), Bandung, melalui Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Syiar Islam (LPPSI), Minggu (28/5/2023).

Ketua Penyelenggara Silaturahmi dan Halaqah Dakwah Cartono yang juga sebagai Pengurus MUI Kota Bandung dan Ketua LP2AI Unpas menuturkan, acara ini sebagai upaya upaya edukasi para dai yang berada di lingkungan MUI dan DKM tingkat kecamatan terkait menjaga ukhuwah di tahun politik.

Hadir sejumlah pembicara, yaitu Cholil Nafis (Ketua Bidang Dakwah MUI Pusat) sebagai keynote speaker, Ahmad Zubaidi (Ketua Komisi MUI Pusat), Hamli (BPET MUI Pusat), Budi Tresnayadi (KPU Kota Bandung), dan Tata Sukayat (Ketua LPPSI Unpas/Ketua Bidang Dakwah MUI Kota Bandung), dan dihadiri Rektor Unpas Eddy Jusuf, Ketua MUI Kota Bandung Miftah Faridl.

Jadi Wahana Edukasi

Hiruk pikuk suasana politik memang tidak bisa dihindari, sehingga seluruh lapisan masyarakat mesti awas dengan potensi pertikaian yang menjadikan agama sebagai senjata.

“Masjid harus jadi tempat edukasi, bukan wahana kampanye. Forum ini diharapkan dapat mencerahkan dai dan DKM untuk berpolitik dengan bijak, tidak terlibat money politic, dan memilih pemimpin yang baik sesuai kriteria masing-masing,” tutur Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah Cholil Nafis.

Pesta demokrasi, kata dia, juga seyogianya jadi area untuk membangun keharmonisan umat. Kendati terjadi dinamika, tetapi tidak sampai mencaci maki atau merendahkan satu sama lain.

“Kita sudah mengeluarkan fatwa tentang kewajiban menggunakan hak pilih. Masyarakat tidak boleh golput dan menentukan pilihan sesuai keinginan pribadi, bukan karena ada anjuran dari kelompok atau individu tertentu,” ujarnya. 

Baca Juga: Parpol: Lo Itu Gak Diajak
Sudah 25 Tahun Reformasi, Represi Terhadap Jurnalis Masih Terjadi
Parade Jalan Rusak Kota Bandung

Politisasi Masjid tidak Bisa Dibenarkan

Moh. Makmun dan Mahmud Huda dalam penelitian ilmiah tentang politisasi masjid menyatakan, perdebatan tentang agama dan politik tidak akan pernah usai, akan senantiasa terulang dengan beragam bentuk derivasinya. Hubungan antara keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait berkelindan. Politik tidak kedap dari pengaruh agama, begitu pula sebaliknya, agama tidak jarang dijadikan objek politik (baca: politisasi) demi merengkuh kekuasaan dan melegitimasinya.

Mengaitkan politik dan agama (Islam) bukan persoalan gampang bahkan sering menimbulkan problematika tersendiri, misalnya politik bersifat keduniaan dan profan sementara agama bersifat akhirat yang sakral.

Sementara dalam agama Islam, lanjut Makmun dan Mahmud, umat diberi kebebasan untuk membentuk sistem pemerintahan dan negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, ekonomi dan zaman serta perkembangannya.

Di era demokrasi saat ini, perdebatan tidak hanya mengarah pada bentuk pemerintahan dan negara melainkan pada upaya strategi menarik simpati masyarakat sebagai pemilik suara dalam gelaran pemilihan umum atau politik praktis. Dalam konteks politik praktis inilah Makmun dan Mahmud menekankan kajiannya.

Kedua peneliti mengambil sampel pada takmir di Surabaya, kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia. Diketahui bahwa politisasi masjid adalah menjadikan masjid sebagai tempat untuk kepentingan politik praktis, baik berupa ajakan untuk memilih seseorang yang sedang mengikuti kontestasi pemilu (pemilihan presiden, pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah) atau menjelekkan orang lain yang sedang mengikuti kontestasi pemilu.

Kedua peneliti menemukan bahwa para takmir masjid yang mereka teliti melarang kegiatan politik praktis masuk ke masjid ataupun melarang isi khutbah dan pengajian yang bernada menyudutkan dan merendahkan kelompok lain, ataupun yang berisi ujaran kebencian dan provokasi adalah bentuk kebijakan yang dibenarkan berdasarkan tinjauan fiqh siyasah.

Berdasarkan dalil-dalil yang ada, kedua peneliti menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh takmir masjid tersebut berlandaskan pada kemaslahatan masjid dan kemaslahatan jamaah. Apabila ada takmir dalam mengelola masjid menimbulkan perpecahan antarjamaah, atau ada jamaah setelah selesai ikut pengajian di masjid menjadi pribadi yang gemar mengkafirkan, menyalahkan, dan membuat keributan, maka takmir tersebut sudah menyalahi kaidah. 

“Takmir juga tidak boleh bertentangan dengan shariat Islam dan tidak boleh mendatangkan mafsadah (kerusakan, kemadharatan) bagi masjid dan jamaah,” terang Makmun dan Mahmud.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//