Sungai Citarum, Berkah di Masa Lalu, Bencana di Masa Kini
Sungai Citarum sumber kehidupan di masa lalu, mulai dari kerajaan Tarumanegara bahkan hingga VOC Belanda. Salah urus Sungai Citarum kini lebih sering menuai bencana?
Penulis Iman Herdiana2 Juni 2023
BandungBergerak.id - Sungai Citarum mengalir dari Situ Cisanti, Kabupaten Bandung, hingga Kecamatan Muara Gembong, Bekasi. Berabad-abad silam sungai terpanjang di Jawa Barat ini memberikan berkahnya bagi kehidupan di daerah aliran sungai (DAS). Meskipun demikian, kini Sungai Citarum yang dianggap sebagai aliran berkah telah berubah menjadi musibah.
Jika dirinci, manfaat Sungai Citarum terdiri dari menyirami pohon-pohon, memberi makan ikan-ikan, menampung air dari gunung-gunung yang ada di Jawa Barat, memberi kehidupan pada binatang liar, dan bahkan menjadi simpul budaya kejayaan kerajaan di masa lalu. Tidak hanya itu, Sungai Citarum juga menjadi saksi cerita untuk Soekarno Hatta yang dibawa ke Rengasdengklok.
Sungai Citarum menjadi tema sentral dalam orasi ilmiah “Inklusi Publik dan Koherensi Kebijakan dalam Penanggulangan Polusi dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum” oleh Pius Suratman Kartasasmita dalam pengukuhan Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Sabtu (27/5/2023) lalu.
Pius menyampaikan ada lima simpul pembelajaran dari pengalaman dirinya selama sepuluh tahun berziarah di daerah aliran Sungai Citarum. Berbagai peristiwa seperti tanah longsor dan banjir sering kali terjadi. Bahkan Sungai Citarum kini dikotori oleh racun berbahaya yang berasal dari rumah tangga, pabrik, hingga rumah sakit.
“Tapi di tangan kita, Citarum yang berkah itu menjadi musibah. Tanah longsor di mana-mana, banjir dari hulu sampai ke hilir, dan racun dari rumah tangga, pabrik, dan rumah sakit mengotori Sungai Citarum hingga hari ini,” tutur Pius, dikutip dari laman Unpar, Jumat (2/6/2023).
Pius lima simpul yang dihasilkan dari pengalaman berziarahnya di DAS Citarum:
- Indikasi kuat sirnanya konsep publik dalam memperlakukan alam;
- Menanggulangi bencana secara bersama adalah keniscayaan;
- Inklusi publik sebagai fondasi berkelanjutan;
- Menjaga koherensi kebijakan untuk mencapai tujuan;
- Meninjau ulang peran dan partisipasi perguruan tinggi.
Guru besar tersebut mengatakan bahwa masalah yang dihadapi Sungai Citarum cukup besar dan kompleks sehingga tidak bisa ditangani oleh individu saja. Ia berpendapat bahwa seorang profesor pun belum tentu bisa menangani situasi di Sungai Citarum. Maka dari itu, dibutuhkan suatu strategi untuk memecahkan masalah Sungai Citarum.
“Itu sebabnya, dibutuhkan yang disebut dengan tata kelola kolaboratif atau collaborative governance. Collaborative governance merupakan salah satu strategi yang perlu dilaksanakan,” ujar Guru Besar Administrasi Publik tersebut.
Pius mengatakan apabila Sungai Citarum dipandang dengan perspektif yang benar maka akan terlihat sangat indah. Menurutnya, Sungai Citarum bisa dipandang sebagai sebuah narasi romantisme di mana alam menyatu dengan manusia dan keindahannya atau bisa dipandang sebagai arena pertempuran.
Tak lupa, Pius mengingatkan inklusi publik penting sebagai fondasi demokrasi yang berkelanjutan. “Inklusi publik untuk berkelanjutan bukan hanya mengundang keterlibatan dan kontribusi semua individu dan kelompok tapi juga pelibatan secara kelembagaan, pengakuan dan perlindungan hukum, serta ikut menikmati hasil kerja jangka panjang,” ucapnya.
Keterlibatan universitas sangat diperlukan dalam menangani permasalahan di Sungai Citarum, khususnya dalam menjaga keberlanjutan Sungai Citarum bersejarah ini.
Baca Juga: Wajah Murung Sungai Citarum
Bandung Selatan Menjadi Kanal Banjir Citarum
Kembalikan Sungai Citarum ke Tangan Rakyat
Berkah Tinggal Sejarah
Sejarah kehidupan di Jawa Barat merupakan rentetan tindakan menggunakan alam untuk kepentingan manusia-manusia di dalamnya. Begitu juga dengan Sungai Citarum yang berabad-abad lampau telah dipakai untuk kepentingan manusia. Bahkan Sungai Citarum berjasa pada kerajaan-kerajaan di masa lalu, tak terkecuali VOC Belanda yang datang belakangan.
Bukti-bukti peninggalan peradaban di masa lalu yang berkaitan dengan Sungai Citarum diulas dalam jurnal ilmiah yang ditulis Arip Munawir, Magister Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta. Arip memaparkan, kehadiran komplek percandian Batujaya di dekat muara Sungai Citarum sekitar pantai utara Jawa bagian barat tampaknya tidak lepas dari pengaruh pertumbuhan sosial, budaya dan ekonomi yang berkembang di daerah Sungai Citarum.
Hal itu berdasarkan pada pertimbangan bahwa wilayah pantai utara Jawa bagian barat telah menjadi perlintasan bagi pelayaran dan perdagangan antarbangsa (internasional). Komplek percandian di muara Sungai Citarum merupakan peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Keberadaan kerajaan ini menjadi perhatian kerajaan di Tiongkok.
Arip mencatat, berita Tiongkok tertua yang menyebut Kerajaan Tarumanegara disampaikan oleh Fa Shien pada 414 M mengatakan bahwa Ye-poti (Jawa Dwipa/Taruma) sangat sedikit pemeluk agama Buddha, tetapi banyak ditemukan para Brahmana (pemeluk Hindu).
“Dengan begitu adanya aktifitas perdagangan antar bangsa dan didukung oleh geopolitik Kerajaan Tarumanegara di Jawa bagian barat dapat dipandang sebagai faktor pendorong adanya komplek percandian Batujaya (Agustijanto;2006),” tulis Arip Munawir, diakses Jumat (2/6/2023).
Temuan-temuan yang ada di kawasan Batujaya meliputi struktur bangunan candi dan kolam, arca, hiasan bangunan yang dibuat dari stucco dan vitive tablet yang kesemuanya mencirikan pengaruh agama Buddha. Temuan-temuan ini diperkirakan berasal dari dua fase pembangunan. Fase pertama abad keenam-tujuh masehi (masa Tarumanegara); dan fase kedua abad ketujuh - 10 masehi (masa pengaruh Sriwijaya).
Menurut Arip, berdasarkan padatnya temuan arkeologis yang ada di kawasan Batujaya, kemungkinan kawasan ini merupakan salah satu pusat Kerajaan Tarumanegara.
“Sungai Citarum telah menghembuskan kehidupan di sepanjang alirannya. Bila dihitung berdasarkan awal masa pembangunan candi di Batujaya, Sungai Citarum telah mengiringi kehidupan manusia selama 17 abad lebih,” tulisnya.
Setelah masa Tarumanegara berakhir, Arip melanjutkan, sungai ini memasuki masa kerajaan Galuh dan kerajaan Sunda. Kedua kerajaan itu menggunakan Sungai Citarum sebagai batas wilayah kekuasaannya. Kerajaan Sunda di sebelah barat Citarum dan kerajaan Galuh di sebelah timur sungai.
Pada zaman Belanda, seputar abad ke-17, Sungai Citarum masih digunakan sebagai sarana penghubung. Bahkan VOC masih menduduki benteng di Tanjungpura yang terletak di tepi Citarum, di barat laut Karawang.
Dari catatan sejarah, tampaknya Sungai Citarum lebih berkah bagi peradaban di masa lalu. Pada masa kini, Sungai Citarum lebih sering terdengar menyebabkan bencana seperti banjir. Salah uruskah Sungai Citarum?