• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Respons Dunia Internasional pada Konflik Berkepanjangan Israel-Palestina?

MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Respons Dunia Internasional pada Konflik Berkepanjangan Israel-Palestina?

Tindakan sepihak Amerika Serikat mengganggu status quo Yerusalem yang telah disepakati sebagai subjek negosiasi Israel-Palestina oleh dunia internasional dan PBB.

Patricia Rachelle

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi serangan militer Israel terhadap bangsa Palestina. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

27 November 2023


BandungBergerak.id – Konflik antara Israel dengan Palestina sudah terjadi jauh sebelum PBB terbentuk. Diawali dengan penguasaan Inggris atas Palestina dan kemudian Inggris mendirikan “rumah nasional” bagi komunitas Yahudi yang tinggal di Palestina atas desakan dunia internasional karena terjadinya konflik antar etnis. Hal ini didasari pada Deklarasi Balfour yang diratifikasi pada tahun 1917 sesuai dengan kesepakatan Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, dengan komunitas Yahudi yang berada di Inggris.

Deklarasi Balfour kemudian mendapatkan dukungan dari Liga Bangsa-bangsa yang baru saja berdiri pada tahun 1922. Kemudian, dalam rentang waktu tahun 1920-1940 jumlah orang Yahudi di Palestina semakin bertambah karena adanya genosida yang dilakukan Nazi. Tidak hanya itu, konflik antara komunitas Yahudi dan Arab juga semakin memanas.

Sebagai solusi konflik, PBB melakukan voting pada tahun 1947 dan memutuskan akan membagi Palestina menjadi negara Yahudi dan juga Arab dengan Yerusalem sebagai kota internasional. Tetapi keputusan ini ditolak mentah-mentah oleh para pemimpin Arab dan akhirnya rencana ini tidak pernah terjadi. Akhirnya, pada tahun 1948 Inggris pergi dari Palestina karena tidak bisa menyelesaikan konflik yang terjadi antara komunitas Arab dan Yahudi. Dan akhirnya para pemimpin komunitas Yahudi mendirikan negara Israel. Hal ini dimaksudkan agar komunitas Yahudi memiliki tempat berlindung yang aman setelah mengalami genosida dari Nazi.

Namun, konflik yang terjadi antara Arab dan Yahudi semakin panas sehingga setelah Israel terbentuk. Lima negara Arab langsung menyerang Israel. Pada akhirnya, ribuan warga Palestina harus pergi meninggalkan tempat tinggal mereka dan konflik ini terus terjadi sampai saat ini karena tidak adanya perjanjian perdamaian antara kedua pihak yang berkonflik.

Baca Juga: Palestina dan Netizen yang Nirempati dalam Bermedsos
Seruan Palestina Merdeka dari Ibu Kota Asia Afrika terus Menggema
Organisasi-organisasi Pewarta Dunia Mengutuk Pembunuhan Jurnalis dalam Serangan Israel ke Palestina

Konflik Israel dan Palestina

Konflik antara Israel dan Palestina kembali memanas di tahun 2023 ini, karena adanya penutupan akses keluar-masuk di Jalur Gaza. Selain itu, adanya serangan yang saling berbalasan dari Israel-Hamas juga turut membuat konflik ini kembali memanas yang telah menelan ratusan korban jiwa dari kedua belah pihak. Dalam penyerangannya saat ini, Israel melakukan pengosongan 22 rumah sakit di Gaza yang mana hal ini sebenarnya bertentangan dengan hukum humaniter internasional.

Dengan kembali memanasnya konflik Israel-Palestina di tahun 2023 ini, Indonesia dan juga negara-negara lain menaruh harapan besar terhadap Dewan Keamanan PBB agar dapat menyelesaikan konflik ini. Namun, sepertinya upaya perdamaian konflik yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB cukup sulit dijalankan sehingga akhirnya peran dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) diharapkan dapat membantu menyelesaikan konflik ini. Dunia internasional tidak mungkin terus membiarkan konflik ratusan tahun ini terus terjadi, oleh karena itu dunia internasional perlu melakukan sesuatu untuk mewujudkan perdamaian di Palestina.

Tidak hanya PBB, pada akhirnya negara-negara Islam di Arab–melalui forum Islamic-Arab–juga turut meminta agar gencatan senjata dilakukan agar operasi militer di Gaza dapat berakhir. Arab Saudi dan negara-negara Islam lainnya menyebut bahwa pihak Israel bertanggung jawab penuh atas terjadinya konflik di Palestina kali ini. Pemimpin Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, mengajak seluruh pemimpin negara-negara Islam untuk bersatu dalam mendesak Amerika Serikat dan Israel agar mau menghentikan serangan terhadap Palestina. Pangeran Mohammed bin Salman juga menyebutkan bahwa dengan adanya konflik ini, krisis kemanusiaan yang terjadi di Palestina telah membuktikan gagalnya Dewan Keamanan PBB. Forum pertemuan Islamic-Arab ini dihadiri oleh beberapa pemimpin negara Islam di Arab, seperti presiden Iran, presiden Turki, raja Qatar, dan presiden Suriah.

Presiden Iran, Ebrahim Raisi, memberikan pujian terhadap kelompok Hamas atas perlawanannya kepada pasukan militer Israel, karena menurutnya tidak ada jalan lain selain memberikan perlawanan kepada pasukan militer Israel. Di lain sisi, presiden Turki, Tayyip Erdogan, memohon agar komunitas perdamaian internasional dapat sesegera mungkin menemukan solusi yang tepat dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina ini. Selain negara-negara Islam di Arab, China juga turut berperan dalam memberikan usulan solusi yang sekiranya dapat menyelesaikan konflik berkepanjangan ini. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menyampaikan konsep two state solution sebagai solusi yang dianggap tepat untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Maksud dari konsep two state solution yang disampaikan oleh Mao Ning ini adalah melakukan perundingan yang adil dan sesuai dengan hukum internasional yang hasil akhirnya adalah Israel dan Palestina harus hidup berdampingan.

Two State Solution

Namun, untuk menjalankan konsep two state solution ini, diperlukan ketersediaan dari kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi satu sama lain demi mengatasi perbedaan yang ada dan kemudian mencari solusi yang dirasa adil untuk kedua belah pihak. Tidak hanya ketersediaan bernegosiasi dari kedua pihak yang terlibat konflik, proses perdamaian melalui konsep two state ini juga membutuhkan dukungan dari dunia internasional. Menurut Mao Ning dalam pidatonya, perundingan perdamaian ini penting untuk dilakukan agar dapat menyelesaikan masalah di Palestina secara tepat. China juga turut mencermati peningkatan tensi konflik antara Israel dengan Palestina dan pihak China juga merasa prihatin dengan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan akibat konflik Israel-Hamas di 2023 ini. Oleh karena itu, menurut China solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik ini adalah dengan mewujudkan konsep two state solution agar Palestina dapat menjadi negara yang merdeka. China juga sekali lagi menekankan bahwa dengan melakukan dialog dan negosiasi adalah sebuah solusi yang paling tepat agar seluruh pihak yang terlibat dalam konflik ini dapat segera menghentikan perang demi menghindari ketegangan yang lebih lanjut.

Konsep two state solution ini telah disetujui oleh dunia internasional dan telah masuk ke dalam salah satu resolusi Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. Oleh karena itulah, dunia internasional terus menyerukan agar konsep ini dapat diterapkan sebagai solusi perdamaian dalam konflik Israel-Palestina. Namun, ada tantangan dari penerapan konsep yang berasal dari pihak Amerika Serikat yang secara sepihak mengklaim bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel dan Amerika Serikat juga memindahkan kedutaan besarnya dari Tel-Aviv ke Yerusalem. Hal ini terjadi sebagai salah satu perwujudan janji kampanye dari Donald Trump. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan konsep two state solution yang telah disepakati oleh dunia internasional yang mana akan mengacaukan proses negosiasi damai di wilayah Timur tengah, secara khusus negosiasi antara Israel dengan Palestina.

Dengan adanya klaim sepihak dari Amerika Serikat ini menunjukkan dukungan penuh Amerika Serikat terhadap Israel dalam upaya penyelesaian konflik dengan Palestina. Tidak hanya klaim sepihak dari Amerika Serikat saja, tantangan lainnya datang dari adanya tindakan Amerika Serikat yang telah mengganggu status quo Yerusalem yang mana telah disepakati sebagai subjek negosiasi antara Israel-Palestina oleh dunia internasional dan berbagai resolusi Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. Amerika Serikat juga pada akhirnya menghentikan bantuan dana kepada United Nations on Relief and Works Agency for Palestine Refugees (UNRWA) yang berakibat kepada sulitnya realisasi program-program dari UNRWA untuk para pengungsi Palestina yang tersebar di berbagai negara Timur Tengah. Dengan adanya berbagai tantangan dari Amerika Serikat terhadap upaya perdamaian konflik Israel-Palestina seharusnya membuat PBB sebagai organisasi internasional melakukan introspeksi dan melihat apakah selama konflik ini berlangsung perannya sudah cukup adil atau belum.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//