• Berita
  • Menguji Arah Kebijakan Dalam dan Luar Negeri dari Kandidat Presiden dan Wakil Presiden 2024

Menguji Arah Kebijakan Dalam dan Luar Negeri dari Kandidat Presiden dan Wakil Presiden 2024

Perwakilan tiga pasangan calon presiden pada Pemilu 2024 memaparkan pandangannya atas arah kebijakan dalam negeri dan luar negeri untuk Indonesia. Beda-beda tipis.

Festival Posweek 7.0 yang diselenggarakan Universitas Padjadjaran pada Kamis 23 November 2023, menghadirkan perwakilan tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Pemilu 2024. (Foto: Muhammad Andi Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Andi Firmansyah27 November 2023


BandungBergerak.id – Festival Posweek 7.0 menyajikan pertunjukan adu gagasan kebijakan dalam dan luar negeri dari capres dan cawapres Indonesia 2024. Dalam acara yang berlangsung di Bale Rumawat, Universitas Padjadjaran (Unpad) Dipatiukur, Bandung, pada Kamis, 23 November 2023 pagi, ketiga pasangan calon (paslon) hadir melalui juru bicara mereka. Selain itu, acara ini juga turut menghadirkan pakar kebijakan—Yusa Djuyandi sebagai pakar kebijakan luar negeri dan Mudiyati Rahmatunnisa sebagai pakar kebijakan dalam negeri—untuk merinci dan menantang visi-misi paslon.

Pandangan Capres Nomor Urut Satu

Acara dibuka dengan paparan singkat dari Thomas Lembong, juru bicara paslon nomor urut satu. Ia mengemukakan bahwa fokus kebijakan luar negeri dari Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar adalah berbasis nilai (value based), bukan transaksional sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Dengan adanya nilai-nilai atau norma-norma tertentu yang kita pegang teguh, menurutnya, kita dapat menjadi lebih berdaulat.

“Sejauh ini yang memotori pendekatan dan bentuk kebijakan luar negeri dan dalam negeri adalah aspek-aspek komersial: produksi, investasi, ekspor, dan sebagainya. Tentunya itu semua penting buat pertumbuhan ekonomi, tapi investasi itu tidak segala-galanya. Uang itu bukan segala-galanya. Harus ada nilai-nilai, norma-norma, yang kita pegang teguh, yang tidak terlalu dikompromikan demi kepentingan sempit seperti ekspor,” ujar Thomas.

Konsekuensi dari pendekatan kebijakan luar negeri yang transaksional, ungkapnya, adalah negara mudah terombang-ambing tanpa prinsip. Ia memberikan contoh tentang bagaimana jika kepentingan antara kehidupan manusia—misalnya, kesehatan publik—dan kepentingan industri berbenturan. Bagi paslon nomor urut satu, yang semestinya mengalah adalah industri, bukan kesehatan publik. “The primacy of human life,” dalam istilah Thomas.

Untuk arah kebijakan dalam negeri sendiri, yang diterangkan oleh Indra Kusumah, pasangan Anies-Muhaimin berkomitmen untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. Misalnya dengan memperbaiki substansi ketentuan peraturan perundang-undangan, menghadirkan kepastian hukum yang tak diskriminatif dan mencegah Aparat Penegak Hukum dijadikan alat politik, serta menguatkan HAM nasional.

“Terkait dengan (kebijakan) dalam negeri,” ujarnya, “(paslon Anies-Muhaimin) memulihkan kualitas demokrasi, menegakkan hukum dan HAM, memberantas korupsi tanpa tebang pilih, serta menyelenggarakan pemerintahan yang berpihak kepada rakyat. Beliau sangat concern dengan kualitas demokrasi yang tidak hanya demokrasi yang sifatnya prosedural, tapi juga substansial.”

Pandangan Capres Nomor Urut Dua

Sementara itu, Tengku Zulkifli Usman, juru bicara pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, menerangkan bahwa paslon nomor urut dua ini telah menyusun beberapa program yang berkaitan dengan kebijakan dalam negeri. Selain melanjutkan industrialisasi dan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, mereka juga berkomitmen untuk mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, dan air.

“Dari dalam negeri,” tutur Tengku, “yang pertama, Prabowo sudah me-launching program makan siang dan susu gratis di sekolah, karena sekarang ini—mohon maaf—dari 100 bayi yang lahir di Indonesia, 2023 sekarang datanya itu 30-nya masih mengalami stunting… Yang kedua, Pak Prabowo sendiri ingin melanjutkan hilirisasi… Kemudian program selanjutnya, menyediakan air bersih di desa-desa dan komunitas yang butuh air bersih.”

Berkaitan dengan kebijakan luar negeri, Tengku mengklaim bahwa paslon Prabowo-Gibran mempunyai gagasan dan langkah baru yang lebih konkret untuk menyikapi sistem mutipolar yang berlaku saat ini di dunia. Ia menyoroti bagaimana perang Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel sangat berdampak pada Indonesia, misalnya pada sektor pangan. Atas desakan inilah Prabowo-Gibran memilih pendekatan yang bukan hanya bebas aktif, tapi juga “agresif”.

“Ke depannya, Indonesia memang sudah harus mengambil posisi yang jauh lebih ‘agresif’,” jelas Tengku. “Bukan negatif. Maksudnya, terlibat lebih banyak dalam isu-isu global yang saat ini memang sedang mengemuka. Kita di depan tidak ingin melihat Indonesia ini banyak diem… Jadi saya rasa, kebijakan luar negeri Indonesia ke depan harus lebih agresif dan tetap mempertahankan bebas-aktif.”

Pandangan Capres Nomor Urut Tiga

Serupa tapi tak sama, Ono Surono, juru bicara pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, menerangkan bahwa paslon nomor urut 3 ini berkomitmen untuk menjalankan politik bebas aktif dengan prinsip Dasasila Bandung. Hal ini dilakukan demi memperjuangkan kepentingan Indonesia sebagai poros maritim dunia, memperkuat pelibatan Indonesia di kancah global, dan mendukung perjuangan pergerakan rakyat Palestina.

“Dasasila Bandung pun itu sudah menyampaikan bagaimana setiap hubungan kita di dunia internasional, maka seratus persen keuntungannya harus untuk rakyat Indonesia, yang saat ini sejujurnya belum kita rasakan… Sehingga (terkait) kebijakan luar negeri, Mas Ganjar telah mempunyai visi-misi yang sangat jelas di sana: bicara dukungan Palestina, bicara bagaimana seratus persen kerja sama untuk rakyat, bicara terkait modernisasi, dan lain sebagainya—sudah tuntas,” tegas Ono.

Ono juga mengungkapkan bahwa strategi kebijakan dalam dan luar negeri merupakan suatu hal yang saling terkait. Ia memberi contoh masalah pangan. Menurutnya, negara selama ini seolah hanya wajib menyiapkan dan menyediakan pangan yang mudah dan murah, tapi tak memerhatikan asal sumber pangan tersebut. Beras, yang pada dasarnya sumber karbohidrat utama di Indonesia, masih banyak impor.

Fokus lain dari kebijakan dalam negeri Ganjar-Mahfud adalah pemerataan pembangunan.

“Konsep IKN (Ibu Kota Negara), ini (harus) dipercepat,” ungkap Ono, “dan Mas Ganjar sudah jelas di visi-misinya bagaimana terjadi percepatan pembangunan IKN. Ini akan menjadi suatu trigger bagaimana pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. Lalu yang kedua terkait dengan, misalnya, akan menghadapi era globalisasi, era digitalisasi, era hilirisasi, lalu kita bicara tak kalah penting saat ini akan menghadapi bonus demografi.”

Baca Juga: Menjelang Pemilu 2024, Pemilih Muda Bersuara
Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024
Mewaspadai Hoaks pada Pemilu 2024

Kritik Pakar

Usai masing-masing juru bicara menguraikan arah kebijakan dalam dan luar negeri pasangan kandidat, kedua pakar kebijakan yang hadir dalam acara ini menanggapi dan mengkritisinya.

Mudiyati Rahmatunnisa, pakar kebijakan dalam negeri, mengamati bahwa kebijakan dalam negeri dari masing-masing paslon, terutama dari sisi praktisnya, masih bersifat “beti” (beda-beda tipis). Ia kemudian menyoroti bahwa, entah karena pilpres sering kali terlalu berfokus pada pemerintahan pusat, setiap paslon kurang memerhatikan persoalan hubungan antara pusat dan daerah.

“Buat saya ini menjadi hal yang penting karena program-program yang ditawarkan keknya gak mungkin lagi semuanya dikendalikan oleh pusat. Sekarang, tawaran apa yang kemudian bisa dijanjikan, dan mudah-mudahan bisa tereksekusi, dari masing-masing pasangan ini? Ini mungkin menjanjikan potensi lebih, dan yang kedua ini masing-masing keunggulannya apa yang ditawarkan, karena untuk menghindari kesan ‘kok keknya beti’,” jelas Mudiyati.

Sementara itu, Yusa Djuyandi, pakar kebijakan luar negeri, berpendapat bahwa kita semua memang mengharapkan keuntungan seratus persen untuk rakyat dari hubungan kerja sama apa pun, tapi kita lagi-lagi membutuhkan suatu cara yang implementatif atau konkret untuk mewujudkan hal tersebut. Jika kita mengakui sifat multipolaritas dunia kita saat ini, baginya, tarik-menarik keuntungan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dimenangkan.

“Kita juga perlu bicara soal kedaulatan kita dalam bagaimana isu di teritorial China Selatan atau Indopasifik. Saya kira ini juga menjadi suatu hal yang penting, karena kalo kita bicara soal kekuatan multipolar, kita juga perlu mengambil suatu posisi penting dalam politik luar negeri yang tadi katanya agresif. Bagaimana cara mewujudkan itu? Karena kita memang kesulitan untuk bagaimana men-challenge banyak untuk untuk membuat suatu reformasi politik luar negeri di tataran UN (United Nations),” ungkap Yusa.

Secara keseluruhan, acara ini bukan hanya panggung presentasi kebijakan dari setiap calon, tapi sekaligus cikal bakal pemahaman yang lebih baik terhadap arah kebijakan dalam negeri dan luar negeri yang akan memandu Indonesia ke masa depan. Posweek Festival 7.0, dalam arti tertentu, telah membantu pemilih untuk membuat keputusan berdasarkan pemahaman yang mendalam. Setidaknya untuk terus saling mendengarkan dan memahami, serta membangun masa depan bersama.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyahserta artikel-artikel lain bertema politik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//