• Opini
  • Boleh Gak Sih Ngobrol Kayak Anak Jaksel?

Boleh Gak Sih Ngobrol Kayak Anak Jaksel?

Gejala mencampur bahasa biasa terjadi pada masyarakat yang mempraktikkan multibahasa. Bagian dari ekspresi diri.

Siti Julaeha

Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Pasundan (Unpas) Bandung

Ilustrasi percakapan. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

28 November 2023


BandungBergerak.id – IMO (in my opinion)boleh – boleh aja ko

Menyoroti cara komunikasi yang unik dari anak muda di Jakarta Selatan (Jaksel), yang menciptakan beragam pendapat di kalangan masyarakat. Sebagian menganggap hal itu menarik, lucu, dan bisa dijadikan bahan untuk seru-seruan. Disisi lain, dianggap “aneh” atau bahkan bisa merusak struktur bahasa Indonesia serta menghilangkan fungsi dan makna bahasa yang telah ada.

Bahasa Jaksel yang mendapat sorotan publik merupakan bahasa gaul atau gado-gado yang menggabungkan dua kode bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam percakapan.

I mean (maksudnya).. mereka ngomongnya dicampur- campur gitu, which is (yang) biking orang pusing “. Seperti itulah contohnya, memang agak sulit dipahami bagi orang-orang yang tidak menguasai bahasa Inggris.

Stigma masyarakat Indonesia memandang bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang dianggap “tinggi”, karena hanya kalangan tertentu saja yang bisa menguasainya. Hal ini memicu timbulnya rasa percaya diri dan kebanggaan tersendiri bagi penggunanya.

Dalam sebuah penelitian mengungkapkan bahwa “ingin terlihat keren” merupakan alasan anak muda Jaksel menggunakan bahasa Inggris. Peneliti juga mengutip dari Brammer (2006) yang menyatakan bahwa pada masyarakat multibahasa orang akan memilih bahasa yang lebih enak digunakan yang mampu mengekspresikan dirinya.

Di sisi lain, kemampuan menguasai bahasa Inggris yang dimiliki oleh anak muda Jaksel didukung oleh faktor pendidikan dan lingkungan. Mayoritas anak sekolah di Jaksel menempuh pendidikan di sekolah internasional, sehingga bahasa Inggris menjadi salah satu bahasa utama mereka.

Baca Juga: Selain Semrawut, Reklame-reklame di Bandung Menjadi Contoh Buruk Penggunaan Bahasa Indonesia
Bahasa Prokem dan Eksistensi Bahasa Indonesia
Kongres Bahasa Indonesia: Cikal Bakal Bulan Bahasa dan Sastra

Campur Kode

Lalu apakah fenomena ini wajar?

Ya, tentu saja karena fenomena ini bukan merupakan hal yang “aneh” jika dilihat dari kacamata ilmu bahasa.

Dalam ilmu sosiolingustik yang mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, mengungkapkan bahwa masyarakat multibahasa akan mengalami kondisi variasi pemilihan bahasa. Fenomena variasi pemilihan bahasa menurut Malabar (2015: 45) di antaranya adalah campur kode, seperti yang terjadi pada bahasa anak muda di Jaksel.

Campur kode (code mixing) adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan dan sebagainya (Kridalaksana,1993:35 dalam Malabar, 2015: 48). Campur kode sering terjadi pada masyarakat multibahasa.

Campur kode tidak hanya terjadi dengan menggabung bahasa nasional dengan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, namun fenomena ini sering terjadi pada bahasa ibu dengan bahasa nasional yang disebut code mixing inner. Indonesia sendiri merupakan negara multibahasa di mana masyarakatnya memiliki berbagai bahasa daerah yang berbeda selain bahasa nasional. Menurut Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah bahasa daerah yang telah diidentifikasi dan divalidasi di Indonesia adalah 718 dari 2.560 daerah pengamatan. Maka dari itu, kemungkinan besar munculnya fenomena campur kode pada masyarakat Indonesia sangat umum terjadi.

Salah satu contoh code mixing inner adalah dengan menggabung bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda yang banyak ditemukan pada masyarakat Bandung dan daerah lainnya.

Contoh: Bjir lah kata gue-teh, Aku mah apa atuh.., Iya mereun..

Kata-kata di atas merupakan kata yang sering digunakan pada masyarakat dwibahasa di daerah Jawa Barat. Tentunya kata-kata tersebut digunakan dalam kondisi nonformal.

Sedangkan, fenomena yang menggabungkan bahasa nasional dengan bahasa asing seperti di Jaksel disebut code mixing outer. Sebenarnya secara tidak sadar masyarakat Indonesia sudah sering menggunakan campur kode bahasa Inggris dengan bahasa utama di dalam komunikasi sehari-hari, hanya saja tidak se-medok anak-anak Jaksel.

Contohnya penggunaan kata one way yang digunakan dalam sistem tutup buka jalan pada lalu lintas. Penggunaan istilah healing yang mengganti kata jalan-jalan. Penggunaan kode-kode bahasa Inggris di tempat umum seperti open/close dan masih banyak lagi.

Campur kode yang terjadi pada masyarakat multibahasa bisa disebabkan oleh beberapa hal, menyimpulkan dari sebuah artikel, hal yang menyebabkan masyarakat mencampur bahasa adalah karena menguasai banyak bahasa. Namun, setiap orang tidak bisa 100% menguasai satu bahasa saja, sehingga membutuhkan bahasa lain untuk mencari padanan katanya. Lalu hal tersebut berkaitan dengan penyampaian makna yang dirasa lebih tepat, selaras dengan pendapat Brammer, bahwa pada masyarakat multilingual orang akan memilih bahasa yang lebih enak digunakan yang mampu mengekspresikan dirinya di masyarakat.

Bagaimana dampaknya?

Kode Campur dalam Pemakaian Sehari-hari

Keputusan Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa kemampuan seseorang warga negara Indonesia dalam berbahasa asing tidaklah menghilangkan kewajiban yang bersangkutan untuk memperlakukan dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara atau bahasa resmi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Mengutip dari sebuah ulasan yang menyatakan bahwa kondisi campur bahasa yang terjadi pada anak Jaksel secara tidak langsung akan merusak struktur bahasa dan menggerus cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Penulis menjelaskan bahwa dalam Peraturan Presiden nomor 63 tahun 2019, di mana warga negara Indonesia diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia sesuai kaidah yang baik dan benar seperti dalam lembaga institusi, pendidikan, saat pidato nasional, dan internasional bahkan acara non-formal sekalipun.

Di sisi lain penulis tersebut juga berpendapat bahwa penggunaan campur kode dalam berkomunikasi harus melihat situasi dan kondisi. Ya, tentu saja karena bahasa sendiri bersifat arbitrer yang artinya tidak ada aturan tersendiri yang mengikat dan bahasa bisa berubah kapan pun. Manusia bebas berekspresi menggunakan bahasa yang mereka pilih selama menggunakan bahasa itu secara situasional.

Dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2009 menetapkan bahwa  penggunaan bahasa asing juga diizinkan jika terdapat perbedaan interpretasi dan kesepakatan antara kedua belah pihak.

Masuknya budaya asing ke Indonesia menyebabkan beberapa perubahan pada kehidupan masyarakat, salah satunya dalam hal berkomunikasi. Bagaimanapun juga, di era globalisasi seperti sekarang rasanya akan sulit untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar khususnya pada situasi nonformal, masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa gaul agar komunikasi terasa lebih santai.

Sebagai mahasiswa bahasa asing sendiri, saya merasa cukup sering melakukan campur kode dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut terjadi ketika saya tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan gagasan yang hendak disampaikan dalam bahasa Indonesia. Selain itu, dilakukan juga dalam keadaan untuk mencairkan suasana percakapan agar lebih seru, seperti menyelipkan kata atau frasa bahasa asing ketika sedang berkomunikasi. Dan hal yang terpenting adalah dengan memperhatikan lawan bicaranya.

Dengan demikian, saya melihat bahwa gejala campur kode yang terjadi bukan sebuah keanehan atau sesuatu yang bisa merusak tatanan bahasa Indonesia. Melainkan, saya melihat fenomena tersebut sebagai salah satu hal yang wajar dan boleh dilakukan sebagai bentuk ekspresi diri. Seperti yang sudah saya paparkan, bahwa campur kode merupakan hal normal yang terjadi pada masyarakat multibahasa. Baik itu campur kode inner ataupun campur kode outer, selama kita melakukan campur kode sesuai dengan kondisi yang tepat bersama mitra lawan bicara yang tepat, bukan sebagai ajang menyombongkan diri karena menguasai berbagai bahasa.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//