• Berita
  • Akar Fenomena Pernikahan Dini di Bandung Berhubungan dengan Masalah Kesetaraan Gender

Akar Fenomena Pernikahan Dini di Bandung Berhubungan dengan Masalah Kesetaraan Gender

Ada kaitan erat antara maraknya pernikahan dini di Bandung dan kesetaraan gender. Edukasi tak cukup hanya pada anak-anak sekolah.

Warga mengurus berbagai perkara di Pengadilan Agama Bandung, Jawa Barat, termasuk gugatan cerai, Rabu, 19 Mei 2021. Tren gugatan cerai meningkat saat masa pandemi Covid-19 dengan faktor penyebab berupa perselisihan dan pertengkaran yang paling tinggi. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana15 Desember 2023


BandungBergerak.idRibuan pelajar SMP dan SMA mengikuti Deklarasi Stop Pernikahan Dini yang digagas Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) dan Dinas Pendidikan Kota Bandung, baru-baru ini. Ada yang alfa dari deklarasi ini karena edukasi lebih ditujukan pada pelajar. Padahal peran orang tua ataupun lingkungan memiliki andil besar dalam terjadinya pernikahan dini.

Terlebih Kepala DPPKB Kota Bandung Kenny Dewi Kaniasari mengatakan, kegiatan ini diselenggarakan untuk melindungi hak-hak anak demi mempersiapkan perencanaan berkeluarga yang matang dan berkualitas, juga mencegah lahirnya generasi stunting (bayi kekurangan gizi).

Kenny memaparkan, tujuan deklarasi ini adalah memberikan arahan dan bimbingan kepada peserta didik untuk perencanaan keluarga yang berkualitas. “Dan tentunya mengurangi angka pernikahan dini untuk mencegah lahirnya generasi stunting,” papar Kenny, dikutip dari siaran pers deklarasi yang berlangsung Rabu, 22 November 2023 lalu.

Pernikahan dini di masyarakat merupakan fenomena yang amat rumit yang dipengaruhi banyak faktor, mulai dari peran keluarga atau orang tua, anak perempuan, kesetaraan gender, ekonomi, pendidikan, kultur, dan lain-lain. Jadi pernikahan dini bukan semata-mata menyangkut pelajar atau anak-anak sekolah.

Diyah Sri Yuhandini, Entin Jubaedah, Sriyatin dari Program Studi Sarjana Kebidanan, Jurusan Kebidanan, Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya dalam risetnya membeberkan, di Indonesia menurut Data Susenas tahun 2015, 1 dari 4 anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dan sembilan perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun.

Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, prevalensi pernikahan usia dini di 34 provinsi yang ada di Indonesia menunjukan angka 25 persen. Hal ini berarti 67 persen wilayah di Indonesia darurat pernikahan usia dini.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2017 menunjukan data bahwa di Provinsi Jawa Barat ada 17,28 persen pernikahan anak usia kurang dari (<) 16 tahun, dan ada 23,43 persen pernikahan anak usia <17-18 tahun="" p="">

Di Jawa Barat tahun 2018 presentase pernikahan dini anak usia <15 tahun="" sebanyak="" 7="" 5="" persen="" dan="" usia="" antara="" 15-19="" tahun="" sebanyak="" 52="" 1="" persen="" komposisi="" ini="" menempatkan="" jawa="" barat="" menduduki="" peringkat="" kedua="" nasional="" p="">

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2017 menunjukan data bahwa di Provinsi Jawa Barat ada 17,28 persen pernikahan anak usia kurang dari (<) 16 tahun, dan ada 23,43 persen pernikahan anak usia <17-18 tahun="" br="">Di Jawa Barat tahun 2018 presentase pernikahan dini anak usia <15 tahun="" sebanyak="" 7="" 5="" persen="" dan="" usia="" antara="" 15-19="" tahun="" sebanyak="" 52="" 1="" persen="" komposisi="" ini="" menempatkan="" jawa="" barat="" menduduki="" peringkat="" kedua="" nasional="" p="">

Baca Juga: Perempuan Paling Dirugikan dalam Fenomena Pernikahan Dini
Bandung (Mendaku) Ramah Anak, tapi Pernikahan Anak Masih Marak
Anak-anak Bandung Rentan Ditinggal Orang Tua karena Pagebluk

Bagaimana dengan di Kota Bandung?

Meski Pemkot Bandung mengklaim angka pernikahan dini menurun, tetapi fenomena ini tetap ada di ibu kota provinsi Jawa Barat ini. “Saya sangat bersyukur, angka pernikahan dini di Kota Bandung masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan daerah lain,” kata Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Asep Saeful Gufron, dalam deklarasi stop pernikahan dini.

Asep mengatakan, deklarasi ini menunjukkan komitmen dan upaya Kota Bandung untuk terus mencegah pernikahan dini. Jika pernikahan dini dapat dientaskan, maka stunting pun pasti berkurang. Meski demikian, tidak dipaparkan bagaimana angka pernikahan dini di Bandung dan apa kaitannya pernikahan dini dengan stunting.

Menurut riset yang dilakukan Elycia Feronia Salim, Sonny Dewi Judiasih, dan Deviana Yuanitasari dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, pada 2020 angka pernikahan dini di Bandung justru melonjak. Hal ini terutama setelah disakannya Undang-Undang Perkawinan yang pada Oktober 2019.

Elycia dkk mengungkap data perkara dispensasi kawin dari 6 pengadilan di berbagai provinsi, yakni Bandung, Aceh, Surabaya, Semarang, Mataram, dan Makassar. Dispensasi adalah permohonan untuk pernikahan anak di bawah umur. Di pengadilan agama Bandung perkara dispensasi kawin ini melonjak dari sebelumnya hanya 130 perkara menjadi 898 perkara.

Angka tersebut untuk perkara yang terjadi di Bandung, belum lagi dengan di daerah-daerah lain di Jawa Barat yang prevalensinya diperkirakan lebih tinggi sebagaimana disampaikan dalam penelitian sebelumnya oleh Diyah dkk.

Elycia dkk mencatat, lonjakan permohonan perkara dispensasi kawin tidak lepas dari terbitnya UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan yang menggantkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang lama bertentangan dengan nilai kesetaraan gender. Pasal 7 ayat (1) bahwa perkawinan itu hanya diizinkan jika pihak laki-laki telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Perbedaan syarat usia minimum ini bias gender karena laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama sesuai. 

Dengan kata lain, undang-undang lama tentang perkawinan tidak berpihak pada persamaan hak-hak perempuan. Jika secara regulasi saja sudah tidak memihak, bagaimana realitasnya di ranah masyarakat?

“Ketentuan tersebut telah mengakibatkan kerugian konstitusional baik nyata maupun konstitusional khususnya terhadap anak perempuan, dikarenakan perkawinan di bawah usia 18 tahun yang telah menikah mengakibatkan ia tidak lagi dianggap sebagai seorang anak,” papar Elycia dkk, dikutip dari Acta Diurnal, Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad).

Berkaitan dengan perbedaan usia tersebut, Elycia dkk menyatakan pada praktiknya kebanyakan perkawinan bawah umur terjadi pada perempuan, karena ini ketidaksetaraan gender muncul antara laki-laki dan perempuan.  Remaja perempuan yang berpendidikan rendah lebih berisiko 5,4 kali melakukan perkawinan pada usia dini dibandingkan remaja perempuan yang berpendidikan tinggi

Terbitnya Undang-Undang tentang Perkawinan yang baru mengubah Pasal 7 mengenai syarat usia minimum perkawinan. Syarat usia minimum bagi perempuan yang semula 16 tahun diubah menjadi sama dengan laki-laki yakni 19 tahun. Munculnya UU ini diharapan dapat menekan hingga menghapus angka perkawinan bawah umur di Indonesia, namun yang terjadi malah sebaliknya.

Data perkara disepensasi yang melonjak di pengadilan agama Bandung menunjukkan perubahan regulasi ini tak dibarengi dengan pemahaman nilia-nilai kesetaraan gender.

“Pada praktiknya, setelah diterbitkannya undang-undang ini, angka perkawinan bawah umur serta permohonan dispensasi kawin di Indonesia malah semakin meningkat dibanding sebelumnya,” ungkap Elycia dkk.

Deklarasi tak Menyentuh Akar Fenomena Pernikahan Dini

Siaran pers tentang Deklarasi Stop Pernikahan dini yang digagas Pemkot Bandung juga tidak menyinggung akar penyebab pernikahan dini di masyarakat, selain kurang melibatkan peran keluarga. Semua terfokus pada pelajar khususnya perempuan yang kerap menjadi “korban” pernikahan dini. 

Mengapa perempuan? Ada masalah kesetaraan gender yang memposisikan perempuan sebagai gender kedua. Pemahaman bahwa perempuan harus buru-buru menikah dibandingkan laki-laki masih kental di masyarakat. Jadi Deklarasi Stop Pernikahan tidak boleh berhenti sampai pelajar, Pemkot mesti melakukan edukasi serupa di masyarkaat atau keluarga.

Diyah Sri Yuhandini, Entin Jubaedah, Sriyatin dalam risetnya menyatakan, penyebab dari pernikahan dini di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain ketidaksetaraan gender dan budaya, pendidikan rendah, kebutuhan ekonomi, seks bebas pada remaja dan pemahaman agama.

“Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ketidaksetaraan gender salah satu penyebab besar terjadinya pernikahan usia dini, karena dalam pandangan masyarakat, komunitas dan keluarga peran perempuan adalah sebagai istri dan ibu yang mengakibatkan tingginya angka pernikahan usia dini, karena hal tersebut kecil kemungkinan untuk perempuan mendapatkan akses dalam dunia pendidikan,” papar Diyah dkk, diakses dari jurnal “Pengembangan Media Video dan Komik Pendidikan Kesehatan Reproduksi tentang Bahaya Pernikahan Dini Bagi Siswa/I SMP Tahun 2020”, Jumat, 15 Desember 2023.

Mengenai kaitan pernikahan dini dengan stunting, Diyah dkk memaparkan, dalam pandangan dunia kesehatan dampak dari pernikahan dini berpengaruh terhadap keadaan ibu sejak hamil sampai melahirkan maupun bayinya, karena organ reproduksi yang belum sempurna. Belum matangnya organ reproduksi menyebabkan perempuan yang menikah usia dini berisiko terhadap berbagai penyakit seperti kanker serviks, penyakit menular seksual, perdarahan, keguguran, anemia saat hamil, persalinan sulit, risiko terkena pre eklampsia.

“Sedangkan dampak pada bayi akibat pernikahan dini berupa prematur, berat bayi lahir rendah (BBLR), cacat bawaan hingga kematian. Bayi yang dilahirkan oleh perempuan dibawah usia 20 tahun memiliki risiko kematian dua kali lebih besar sebelum usia 1 tahun dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan oleh ibu berusia reproduksi,” papar Dyah dkk.

Sementara itu, kasus stunting di Kota Bandung sendiri masih menjadi persoalan yang tidak kecil. Pemkot Bandung merilis pada tahun 2021 angka stunting berada di 26,4 persen. Sedangkan pada 2022, angka stunting Kota Bandung berada di 19,4 persen. 

"Kalau dikonversikan jumlahnya ada sekitar 6.000 orang. Tahun ini kita optimis target 17 persen. Tahun depan diharapkan bisa mencapai target 14 persen," tutur Sekretaris Daerah Kota Bandung Ema Sumarna dalam siaran pers Bandung Cegah Stunting, di Cikapundung Riverspot, Jalan Ir. Soekarno, Sabtu, 18 November 2023.

Risiko perkawinan bawah umur juga dipaparkan Elycia dkk. Pernikahan dini mengakibatkan dampak buruk baik secara fisik maupun psikologis, terutama bagi anak perempuan. Sering kali mereka dipaksa melakukan hubungan seksual atau diperkosa pada malam perkawinan dan menjadi korban kekerasan seksual oleh suaminya. 

“Praktik perkawinan anak dalam hal ini, terutama perkawinan anak perempuan telah mengarah pada bentuk legitimasi eksploitasi seksual anak,” paparnya.

Anak yang melakukan perkawinan bawah umur tidak dapat terlindungi sepenuhnya dari kekerasan dan diskriminasi. Diskriminasi gender terlihat dari banyaknya perkawinan bawah umur oleh anak perempuan di Indonesia yang dipengaruhi oleh stigma masyarakat terhadap perempuan. Hak-hak mereka sebagai anak sulit untuk terpenuhi seperti layaknya anak laki-laki.

Kekerasan juga seringkali menjadi dampak buruk dari perkawinan bawah umur. Ketidakmatangan dari sisi psikologis anak menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. 

“Data global menunjukkan bahwa anak perempuan yang menikah sebelum usia 15 tahun, mengalami peningkatan sebesar 50 persen dalam hal kemungkinan mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),” paparnya.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan Iman Herdiana atau artikel-artikel tentang Pernikahan Dini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//