• Cerita
  • Suara Buruh Perempuan Jawa Barat dalam Bayang-bayang Kebijakan Upah Murah

Suara Buruh Perempuan Jawa Barat dalam Bayang-bayang Kebijakan Upah Murah

Para buruh datang jauh-jauh dari kawasan Pantura ke Kota Bandung mendapatkan upah layak. Mereka tidur di mana saja, di masjid, sekretariat, hingga sewa rumah.

Buruh dari berbagai tempat di Jawa Barat mengepung Gedung Sate, Bandung, Rabu, 29 November 2023. Mereka menolak upah murah. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah30 November 2023


BandungBergerak.id - "Kita ke sini untuk berjuang, makanya jauh-jauh di tempuh," ucap Nara, buruh asal Cirebon yang baru tiba di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu, 29 November 2023. Perempuan 35 tahun ini tiba saat malam sudah larut.

Meski malam sudah larut dan kalender mendekati pergantian tanggal ke Kamis, 30 November 2023, situasi di sekitar Gedung Sate masih dikuasai lautan buruh yang datang dari berbagai pelosok di Jawa Barat. Sejak beberapa hari belakangan Gedung Sate menjadi sasaran aksi buruh yang menuntut kenaikan upah.

Nara dan rekan-rekannya datang agak terlambat karena di sepanjang jalan mereka mampir ke beberapa titik aksi buruh di Majalengka dan Sumedang. Begitu tiba, jalan di sekitar Gedung Sate sudah disekat oleh polisi. Bersama rombongan anggota dari serikat kerja BISS lainnya, Nara dan Fauziyah kemudian menyantap nasi goreng.

"Kita makan dulu," kata Fauziyah, setengah berteriak. Kertas nasi dihamparkan, nasi goreng disajikan, mereka duduk melingkar. Jumlah nasinya tak banyak, hanya sekadar cukup untuk mengganjal perut di tengah hawa dingin Kota Bandung yang akhir-akhir ini rajin diguyur hujan.

Nara yang mengenakan kerudung dengan kemeja berlogo serikat buruh harus rela meninggalkan anaknya demi berjuang menuntut kenaikan upah di Kota Bandung yang merupakan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Jarak berkilo-kilometer dia tempuh demi mendapatkan gaji layak dari perusahaan tempatnya bekerja.

"Kalau perjuangan gak mandang ke diri sendiri, ke para buruh yang lain juga,” ujar Nara.

Saat ini Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Cirebon 2,4 juta rupiah. Menurut Nara, gaji tersebut meski ditambah tunjangan tetap tidak akan mencukupi biaya hidup di kawasan pantai utara Jawa (Pantura).

"Apalagi sekarang harga bahan pokok naik," timpal Fauziyah (25 tahun), sama-sama buruh dari Pantura. Nara dan Fauziyah berasal dari dari Serikat Buruh Industri Sepatu Sandal Cirebon (BISS).

Mereka lantas menggabungkan diri dengan gelombang buruh yang memadati Gedung Sate sejak siang. Malam itu mereka tidur di Masjid Pusdai Jawa Barat, sebelum melanjutkan aksi keesokan harinya (hari ini).

Tuntutan para buruh seragam, yakni menuntut Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin untuk menetapkan UMK berdasarkan rekomendasi kabupaten dan kota. Mereka menolak jika Bey Machmudin menetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 51 tahun 2023 tentang Pengupahan yang tidak berpihak pada buruh.

Aksi unjuk rasa buruh di depan Gedung Sate, Bandung, Selasa, 28 November 2023. Seluruh serikat pekerja terus mengawal tuntutan kenaikan upah buruh sebesar 15 persen. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Aksi unjuk rasa buruh di depan Gedung Sate, Bandung, Selasa, 28 November 2023. Seluruh serikat pekerja terus mengawal tuntutan kenaikan upah buruh sebesar 15 persen. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Tidur Sebisa dan Seadanya

Sepanjang hari itu para buruh bergantian berorasi menyuarakan tuntutan. Lelah berorasi dan aksi, mereka bergantian menepi untuk istirahat. Mereka cukup melepas lelah dengan tidur di atas aspal berbantalkan tas atau ransel yang mereka bawa.

Di sela-sela istirahat, benak Imeh atau Siti Nur Halimah melayang memikirkan nasib kawan-kawannya. Ia datang dari Subang bersama 100 buruh lainnya. Mereka menginap di rumah yang disewa secara patungan.

"Kami ada seratus lebih, ini rencana mau tidur menyewa rumah itu urunan dari kas internal juga untuk kepentingan organisasi," terang Imeh, suara serak karena kebanyakan orasi.

Perempuan yang saat ini aktif di Departemen Perjuangan Buruh Perempuan KASBI Subang ini menceritakan beban yang dipikul para buruh. Banyak perempuan anggota serikat yang harus menanggung kehidupan anak dan orang tua mereka.

"Ketika hari ini bekerja dalam satu pabrik ada perempuan menjadi tulang punggung keluarga harus menanggung anak dan orang tua. Itu posisi menjadi rasa semangat dia untuk memperjuangkan hak agar saya bisa menopang keluarga," tutur Imeh.

Di tahun 2023, Imeh menyebut pemerintah memberikan kado-kado istimewa yang menyakitkan kaum buruh, mulai dari lahirnya UU Cipta Kerja, Permenaker, dan PP 51 tahun 2023 tentang Pengupahan. Regulasi-regulasi ini memperpanjang perbudakan buruh perempuan. Aturan-aturan tersebut tidak membedakan buruh lajang dan yang sudah berkeluarga.

Belum lagi harga-harga kebutuhan pokok terus melambung tinggi. Harga beras dan BBM terus mengalami kenaikan. Tingginya pengeluaran sehari-hari kelas buruh membuat mereka tak bisa menabung.

"Beras sudah naik 15 ribu (rupiah) satu liter. Itu sudah naik semua apalagi mendekati Natal dan tahun baru pasti sangat signifikan. Kita bagaimana mau menabung, yang katanya buruh sudah sejahtera itu mana. Bagaimana bisa bertahan dalam satu bulan dengan segitu," jelas Imeh.

Perjuangan para buruh yang datang dari Subang ke Kota Bandung bukan perkara main-main atau hiburan. Bagi Imeh urusan perut bukan bahan candaan. Ada hak dan nasib yang diperjuangkan, ada orang-orang di belakang mereka yang harus dinafkahi agar bertahan hidup.

"Jadi posisinya, kita menekan terus. Kita gak main-main dalam hak upah, perut, dan nasib kita ke depan," kata Imeh.

Imeh menegaskan, tuntutan para buruh cuma satu, yaitu kenaikan upah layak. “Kalau upahnya sudah naik menuju kesejahteraan sudah bener dong. Bahwa kami tidak main-main dalam hal ini. Apa yang kita harapkan juga mereka sama-sama menikmati. Kalau hasilnya memuaskan sesuai dengan mereka harapkan mereka menikmati apa yang dapatkan," jelas Imeh.

Akan tetapi, lanjut Imeh, pemerintah sering membuat para buruh kecewa dan melakukan hal manipulatif. Tahun depan entah kado apa lagi yang diberikan pemerintah setelah lahirnya UU Cipta Kerja yang menyengsarakan buruh.

Baca Juga: Buruh Tolak PP 51 Tahun 2023 Tentang Pengupahan, Kenaikan Upah Tak Mencukupi Kebutuhan Buruh
Gelombang Unjuk Rasa Buruh di Gedung Sate Menuntut Kenaikan Upah 15 Persen sesuai Rekomendasi Kabupaten dan Kota

Perjuangan Buruh Perempuan dari Cimahi dan Bandung Barat

Langit gelap, cahaya bulan bulat terang, di bawah lentera penerang jalan-jalan yang menguning riuh suara-suara buruh. Tak ada percakapan selain tentang nasib mereka ke depan. Mereka yang berkeluarga ataupun lajang, mereka yang bersama suami atau yang orang tua tunggal, duduk sama rendah, tinggi sama berjuang tak mengenal lelah.

Lagu-lagu perjuangan disenandungkan. Mereka melingkar, menari, menyalakan flare, membakar ban, dan irama musik dangdut setia menemani. Mereka sesekali ramai berjoget, walau ada harap-harap cemas keputusan apa yang akan diketuk oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat tentang upah.

Di antara ratusan buruh yang hadir, seorang buruh perempuan muda bersama kawan-kawannya berkumpul di gerbang Gedung Sate. Mereka memakai baju merah seragam serikat pekerja dan berkerudung hitam.

"Saya sebagai perempuan, itu sangat penetapan segitu tidak layak. Dari kenaikan. Karena yang dikeluarkan jauh dari kesejahteraan. Sembako jauh lebih awal naiknya, belum lagi harga bahan pokok yang lain. Bagi saya yang lajang juga agak berat, belum lagi dengan buruh yang sudah berkeluarga dan memiliki anak," tutur Nindi, buruh perempuan asal Cimahi yang bergabung dengan KASBI.

UMR Cimahi yang hanya naik dua persen jelas tak memadai menunjang kebutuhan hidup para buruh. Namun dengan upah tak seberapa mereka terus dipaksa bekerja mengejar target-target perusahaan.

"Dengan upah segitu belum tercukupi. Engga belum ada. Kita hanya untuk bertahan hidup," jelas Nindi.

Nindi bersama buruh Cimahi lainnya awalnya berkumpul di Pabrik Kahatex Cimahi kemudian berjalan ke beberapa titik hingga akhirnya berlabuh di Gedung Sate. Selain Nindi, ada juga Indiasih (44 tahun) buruh asal Cimahi yang berjuang untuk kesejahteraan hidupnya.

"Saya anak dua, suami masih cari kerjaan, ngontrak, satu SMA satu lagi PAUD," kata Indiasih.

Ia mengeluhkan mahalnya biaya sekolah, terutama PAUD. Gajinya tak mencukupi untuk semua pengeluaran rutinnya.

BandungBergerak.id juga ikut pada rombongan buruh di Bandung Barat menuju Gedung Sate. Di perjalanan beberapa buruh Bandung Barat menunggu rombongan dari Cianjur di Alun-alun Cimahi. Para buruh perempuan juga ikut menunggu kawan-kawan seperjuangan mereka.

Dewi (34 tahun) salah seorang anggota federasi serikat pekerja mental Indonesia (FSPMI) Bandung Barat menyebutkan, upah merupakan bagian dari urat nadi ia sebagai buruh. Namun, penetapan yang tidak sesuai oleh Pj Gubernur Jawa Barat Bey dirasa tak memihak. Dirinya meminta keseimbangan antara kebutuhan pokok dan upah yang sesuai.

"Untuk itu kami turun ke jalan ini bukan hanya ingin kenaikan. Kami meminta untuk keseimbangan. Dengan kebutuhan hidup layak seorang buruh itu sudah di angka lebih kemarin dari kota 20-25 persen. Rekomendasi 15 persen. Di Kabupaten Bandung Barat 14,5 persen. Upah sebagai urat nadi kita. Ibu-ibu rék ngebul kumaha," ucap Dewi.

Dewi menceritakan banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Kebetulan Dewi dan suami sama-sama bekerja. Namun tetap saja mereka tidak bisa menabung karena tingginya biaya hidup.

"Pengeluaran sehari-hari, tidak mencukupi 3,4 sekian (juta rupiah). Pengeluaran rumah dengan milik sendiri kalau untuk saya anak 3, 2 sekolah, 1 masih kecil. Untuk saya sehari-hari masih kerja, kebanyak kita perempuan dijadikan tulang punggung. Untuk kebutuhan saya sendiri jauh sih. Tapi belum mempunyai tabungan masih pas-pasan," jelas Dewi.

Lain halnya dengan Dewi, Lilis (32 tahun) dengan hidup sendirian serta menanggung anak yang kini sedang belajar di pesantren. Selain itu, anaknya juga harus sekolah. Sehingga pengeluarannya menjadi ganda.

"Untuk anak saya cuma satu pesantren itu kan dobel (biaya pesantren, biaya sekolah). Otomatis uang juga dobel lebih dari 1 juta (pengeluaran sekolah). Belum lagi kebutuhan dia sehari-hari tidak kurang 400 ribu (rupiah)," tutur Lilis.

Lilis harus hidup hemat. Ia mengerem dari uang jajan sehari-hari. Terkadang ia juga berjualan sembari bekerja agar penghasilannya sedikit-sedikit bertambah.

"Belum lagi BBM sekarang sehari besoknya harus ngisi lagi. Terus untuk jajan kita menggirit supaya cukup terpenuhi kebutuhan untuk anak dan kita otomatis tak ada yang membantu otomatis menghemat sebisa mungkin. Harga pokok jauh sekali yang dulu. Untuk mengcover saya jualan," cerita Lilis.

Lilis berharap pemerintah bisa mengerti keinginan rakyat. Sementara malam semakin hening, para buruh sebagian ada yang pulang, sebagian ada yang pergi tidur di mana saja yang memberi suaka, sebagain buruh lagi baru datang.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, serta artikel-artikel lain tentang aksi buruh

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//