• Opini
  • Anak Muda yang Badung

Anak Muda yang Badung

Masih banyak anak muda yang tidak mengerti bagaimana cara meluapkan kritikan tanpa merusak fasilitas umum. Dibutuhkan penguatan pendidikan moral.

Ibram Ibrahim

Penulis Tinggal di Bandung

Grafiti di salah satu sudut Kota Bandung berisi kritik pada penguasa, 31 Agustus 2021. Di Bandung sempat tumbuh komunitas hippies antikemapanan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

1 Desember 2023


BandungBergerak.id – Akhlak atau moral merupakan hal yang sangat penting. Manusia adalah ciptaan yang paling sempurna, sebab kita mempunyai dua sisi, yang pertama adalah rohani kemudian yang kedua adalah jasmani. Kedua sisi tersebut harus kita isi dengan nutrisi-nutrisi yang baik, dalam artian, jasmani kita isi dengan makanan-makanan yang sehat, dan rohani kita isi dengan pengetahuan moral atau pengetahuan akhlak yang baik.

Seperti pepatah Sunda yang mengatakan bahwa “silih asih, silih asah jeung silih asuh”. Logika sederhananya adalah bagaimana kita bisa menjadi orang yang “silih asih” jika pengetahuan kita atau kepribadian kita tentang moral/akhlak itu sangat minim.

Nenek moyang kita telah memproklamirkan bagaimana cara kita bersikap dengan3 slogan silih asih, silih asah, dan silih asuh. Dengan adanya 3 slogan tersebut, diharapkan pewaris-pewaris peradaban yang nantinya akan menjadi pemimpin peradaban bisa memahami dan memaknai secara utuh ketiga hal tersebut. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa, bangku sekolah hanyalah membentuk pemikiran kita tapi tidak moral kita. Dan ini adalah suatu keresahan yang mana harus diketahui oleh banyak orang bahwa pendidikan moral/akhlak itu sangat penting ditanamkan sejak dini.

Tujuan pendidikan menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jika melihat dari tujuan pendidikan itu sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang ideal itu harus mencangkup 3 unsur sebagaimana yang dijelaskan oleh Beni Ahmad Saebani dalam bukunya yang berjudul Ilmu Akhlak, yaitu: (1) Kognitif, yaitu pengetahuan dasar manusia melalui potensi intelektual; (2) Afektif, yaitu pengembangan potensi akal manusia melalui upaya menganalisis berbagai kejadian sebagai bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan; serta (3) Psikomotorik, yaitu pelaksanaan pemahaman rasional ke dalam bentuk perbuatan yang konkret.

Baca Juga: Anak Muda Diharapkan Aktif Berkomunikasi Politik di Media Sosial
Peringatan Hari Sumpah Pemuda, Memaknai Kembali Semangat Anak Muda Masa Kini
Anak Muda Bandung Menyindir Situasi Lingkungan Jawa Barat dengan Spanduk Festival Sampah Jabar

Pendidikan Moral

Pendidikan moral yang terjadi pada zaman globalisasi ini (yang katanya zaman maju) malah memundurkan moral atau akhlak tiap individu masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya istilah yang merujuk kepada ujaran kebencian dan lain sebagainya. Tentu ini sangat bertentangan dengan apa yang menjadi cita-cita pendidikan dalam Undang-undang Dasar 1945, karena nyatanya 3 aspek yang menjadi tujuan pendidikan yang harusnya terpenuhi, malah terbengkalai entah ke mana.

Kemunduran-kemunduran yang bisa kita rasakan pada saat ini adalah seperti kurangnya respect dari anak muda terhadap budaya. Sebagai contohnya banyak terjadi kasus vandalisme berupa coretan-coretan dinding yang terdapat pada tempat-tempat cagar budaya. Seperti halnya yang terjadi di candi Borobudur pada tahun 2020, banyak ditemukan coretan dan bekas permen karet. Padahal, candi Borobudur merupakan salah satu kawasan yang telah dinyatakan sebagai warisan dunia.

Adapun kasus yang dekat dengan kita adalah terjadinya vandal di sekitaran Monumen Perjuangan Rakyat, juga coretan-coretan yang terjadi di Jalan Babakan Siliwangi, dan tak lupa vandal-vandal yang menghiasi dinding-dinding toko di Kosambi. Hal-hal itu sekurang-kurangnya menandai telah terjadi dua hal yang saling bersinggungan. Antara lain adalah pemkot Bandung yang masih minim mewadahi aspirasi masyarakatnya, dan pemuda Bandung yang masih tidak mengerti bagaimana cara meluapkan kritikan tanpa merusak fasilitas umum. Mengkritik dengan merusak fasilitas umum belakangan ini menjamur di kalangan anak muda Bandung.

Hal lainnya terjadi pula di beberapa kampus atau universitas di kota Bandung yang katanya, pelakunya merupakan seorang mahasiswa. Jika, sekelas mahasiswa saja masih melegalkan perpeloncoan, bullying, dan hal-hal lainnya yang tak dapat dibenarkan dalam norma, maka apa jadinya Indonesia emas pada tahun 2045? Kalau pemudanya saja masih menganggap bahwa moral bukan prioritas utama dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Fenomena menunjukkan ketidakselarasan antara tujuan pendidikan yang harusnya bisa mencangkup pada psikomotorik seseorang, bukan hanya kognitif dan afektif saja. Dengan kata lain kurangnya moral karena kurangnya pendidikan tentang hal tersebut.

Lantas pendidikan moral seperti apa yang diharapkan saat ini? Dan bagaimana cara kerja sistem pendidikan saat ini?

Hal-hal tersebut hanya sebagian dari keresahan penulis melihat efektivitas pendidikan zaman sekarang kurang maksimal. Di mana anak sekolah hanyalah diajarkan berapa 1+1, kemudian bagaimana terjadinya sejarah Konferensi Meja Bundar, sedangkan hal-hal seperti tolong-menolong, gotong royong, dan lain sebagainya hanya bisa didapatkan ketika anak tersebut hidup bermasyarakat. Padahal pada faktanya tidak semua lingkungan ramah dengan anak.

Menguatkan Pendidikan Moral

Mengutip dari yang disampaikan oleh Syekh Imam An-Nawawi, ilmu itu adalah sebuah cahaya dan orang yang hatinya bersih adalah orang yang akan mendapatkan cahaya tersebut. Dari kutipan Syekh Nawawi kita bisa tarik kesimpulan bahwa terkadang pengetahuan hanyalah menjadi sebuah pengetahuan tapi tidak menjadi sebuah dasar perilaku.

Saya yakin betul bahwa para koruptor pun mengetahui bahwa tindakan mereka itu adalah tindakan yang salah, tapi mereka tetap melakukannya. Hal tersebut terjadi karena pengetahuan yang tidak didasari dengan moral. Oleh karena itu pendidikan moral bukan untuk dijadikan sebagai pengetahuan belaka, namun harus kita resapi agar menjadi darah dan daging kita itu sendiri, sebagaimana nenek moyang kita mengamalkan prinsip-prinsip pendidikan moral tanpa mempelajarinya. Hal tersebut tentu saja di dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti lingkungan, pergaulan, dan bacaan.

Langkah-langkah konkret harus diambil untuk memperkuat pendidikan moral di tengah arus globalisasi. Sekolah harus menyematkan pelajaran tentang moral dan etika dalam kurikulum mereka, tidak hanya sebagai mata pelajaran tambahan, tetapi sebagai bagian integral dari pembentukan karakter siswa. Orang tua juga memiliki peranan besar dalam membentuk moral anak-anak mereka melalui contoh dan nilai-nilai yang mereka ajarkan di rumah. Entah itu pemerintah melalui lembaga pendidikannya ataupun orang tua sebagai rumah pertama anak-anak dididik, keduanya harus bisa bersinergi dan bekerja sama dalam pembentukan individu demi menyongsong generasi Indonesia emas.

Dewasa ini kita harus menyadari bahwa moralitas adalah fondasi dari sebuah masyarakat yang beradab. Jika kita ingin melihat dunia yang lebih baik, pembangunan moral harus diperhatikan dengan serius, tidak hanya sebagai hal tambahan tetapi sebagai bagian esensial dari kehidupan manusia. Dengan Begitu, kita dapat meraih visi sebuah masyarakat yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dan solid secara moral.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//