Peringatan Hari Sumpah Pemuda, Memaknai Kembali Semangat Anak Muda Masa Kini
Apakah semangat zaman gerakan anak muda yang mendeklarasikan Sumpah Pemuda 95 tahun yang lalu sebagai kesadaran atas kebangsaan masih dibawa oleh pemuda masa kini?
Penulis Salma Nur Fauziyah28 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Tepat pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika Kongres Pemuda II dilaksanakan, sekumpulan gerakan anak muda bersama-sama mendeklarasikan ikrar Sumpah Pemuda sebagai bentuk penegasan atas cita-cita bangsa untuk mewujudkan negara Indonesia. Namun, timbul sebuah pertanyaan, apakah semangat juang tersebut masih tersematkan pada generasi muda saat ini?
Memperingati hari Sumpah Pemuda, Pasar Biru penyelenggara acara Pasar Biru Vol. IV bekerja sama dengan jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) menggelar diskusi dengan tema dengan tema Menabuh Kembali Peran Pemuda Masa Lalu dan Kini di kampus Universitas Pasundan (Unpas) di Jalan Setiabudi Bandung pada Jumat, 27 Oktober 2023, pagi.
Diskusi tersebut menghadirkan dua narasumber, yaitu Hafidz Azhar dan Sophan Adjie yang masing-masing menyampaikan sudut pandang yang berbeda mengenai sepak terjang anak muda di masa lalu dan masa kini. Mahasiswa dari berbagai perguruan
Tidak hanya mahasiswa Unpas, beberapa mahasiswa Unpar turut hadir ke acara ini. Selain diskusi yang dipimpin oleh Andrias Arifin, acara itupun menyediakan lapak buku-buku dan ditutup dengan penampilan musikalisasi teater dari Aminul Ummah Boarding School.
Baca Juga: Pemuda Bandung Termakan Revolusi, Sejarah Jalan Mohamad Toha dan Mohamad Ramdan
Pemimpin Impian Pemuda dan Referensi Idealisme Kepemimpinan
Ketakutan Rezim Orde Baru pada Musik dan Pemuda Berambut Gondrong
Jejak Organisasi Pemuda Sunda: Sekar Roekoen
Dalam diskusi pertama, Hafidzh Azhar, dosen sekaligus penulis ini menyampaikan sejarah mengenai gerakan organisasi pemuda zaman prakemerdekaan.
“Ada dulu, ada sekarang. Gak ada dulu, gak ada sekarang,” Ucap Hafidzh saat membuka sesi diskusi mengenai gerakan muda zaman dulu. Ia menyampaikan jika kita membicarakan peristiwa sumpah pemuda di masa lampau, maka kita juga harus membahas generasi muda di masa kini.
Ia memaparkan ketika zaman sebelum kemerdekaan, banyak sekali organisasi pemuda seperti, Jong Celebes, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, dan gerakan pemuda lainnya.
Hafidzh kemudian memantik audien dengan memberikan sebuah pertanyaan, “Adakah orang sunda yang terlibat dalam peristiwa Sumpah Pemuda?”
Jawabannya adalah Sekar Roekoen.
Sekar Roekoen terbentuk dari perkumpulan orang sunda yang mayoritas bersekolah di Kweekschool (Sekolah Guru) yang terletak di Batavia (sekarang Jakarta). Salah satu pendirinya berasal dari Sekolah Hukum, Iwa Kusumasumantri, dikenal sebagai pendiri Universitas Padjadjaran. Perkumpulan ini juga mengeluarkan koran yang terbit sebulan sekali.
Keberadaan Sekar Roekoen ini tidak terlepas dari tujuannya memajukan kesenian Sunda, mempersatukan murid- murid sunda di Batavia, melestarikan bahasa sunda, dan ngababereh hate atau menata hati. Meskipun begitu, kelompok anak muda inilah yang menginisiasi penggunaan bahasa melayu pada saat Kongres Pemuda I tahun 1926.
Hafidzh menjabarkan juga bahwa Kongres Pemuda II yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda, dilewati dengan penuh perdebatan gagasan dalam pelaksanaannya. Namun, ketika ikrar Sumpah Pemuda dibacakan, hal itu menunjukkan adanya Zeitgeist atau semangat zaman untuk bersama-sama melawan bentuk kolonialisme.
Karakteristik dan Peran Anak Muda Masa Kini
Setelah membicarakan kiprah para pemuda di masa lalu, maka diskusi pun beralih untuk membahas apakah semangat zaman itu masih dibawa oleh pemuda masa kini. Sophan Adjie memulainya dengan menyebutkan bahwa karakteristik anak muda Indonesia sekarang adalah Semangat Indie.
“Semangat untuk tidak tergantung. Semangat untuk bergerak secara lepas, bebas, tanpa ada ikatan,” jelasnya mengenai Semangat Indie.
Selain itu ada tiga karakteristik anak muda lainnya yang terlihat pada saat ini, seperti Skena, Kalcer, dan Anak Senja. Skena merupakan singkatan dari Swa, Cengkerama, dan Kelana. Kalcer sendiri diartikan sebagai sesuatu yang sedang trending atau update terus. Lalu terakhir ada anak senja, yang merujuk pada pendengar atau pencipta musik yang terhubung dengan lagu-lagu bernuansa melankolis, introspektif, atau reflektif.
Kemudian, Sophan pun menunjukkan karakteristik Gen Z dan Milenial dalam model SCENE yang digagas oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT). Secara singkat karakteristik ini menjelaskan bahwa para generasi Z dan Milenial itu serba ingin cepat (speed), membutuhkan suatu kenyamanan (convenience), menyukai sesuatu yang menarik dan menghibur (entertaiment), bentuk pengasuhan yang harus jelas sesuatunya (nurture), dan berpihak pada perubahan (entitlement).
Dibalik itu semua terselip sebuah ancaman yang mengintai anak muda. Sophan menyebutkan ada tiga hal, yaitu mood swing, mental health, dan krisis figur.
Meskipun begitu anak muda pun memiliki peran besar di dalam kancah internasional. Ia menyebutkan beberapa organisasi anak muda berbasis internasional seperti Global Youth Parliament dan ASEAN+ Youth Summit. Organisasi ini menjadi media bagi anak muda untuk menyampaikan ide dan gagasan.
Namun, Sophan menyayangkan masih ada gap di antara kelompok anak muda tersebut.
“Terkadang pandangan yang diambil dari Global Youth Parliament atau ASEAN Youth Summit dan Y-20 Summit ini kurang membumi. Tidak mewakili realitas anak muda pada umumnya. Karena diwakili oleh kelompok elit,” jelas Sophan.
Saat ini populasi anak muda di Indonesia sangat besar, hampir mencapai 60% dari total populasi. Hal ini menjadi sorotan, karena adanya perubahan lanskap politik yang didorong oleh para pemilih muda.
Berdasarkan hasil survei yang dikemukakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengenai Pemilih Muda Dalam Pemilihan Umum 2024: Dinamis, Adaptif dan Responsif, anak muda cenderung tertarik dengan isu ekonomi, khususnya kesejahteraan masyarakat (44.4%) yang disusul oleh isu lapangan pekerjaan (21.3%). Demokrasi dan Kebebasan Sipil bukanlah prioritas utama anak muda dalam melihat isu strategis yang ada.
Sophan menanggapi fenomena ini dengan menjelaskan bahwa perubahan zaman yang mendukung banyak anak muda untuk dapat bebas berpendapat melalui platform yang ada. Selain itu, ia memaparkan jika memang anak muda lebih memprioritaskan untuk mendapatkan uang.
Ia pun menilai dari perbandingan zaman perkumpulan Sekar Roekoen hingga peristiwa Sumpah Pemuda adalah adanya aksi solidaritas dan egalitarian. Hari ini, kedua hal tersebut dipandang sebagai ancaman oleh anak muda dengan sifat semangat indinya.
“Berkontribusi dalam masyarakat itu lebih penting daripada kita mengejar kesejahteraan, versi Tan Malaka,” ujarnya menutup sesi diskusi pagi itu.