Anak Muda Bandung Menyindir Situasi Lingkungan Jawa Barat dengan Spanduk Festival Sampah Jabar
Anak muda yang tergabung dalam Sahabat Walhi Jabar menyatakan keprihatinannya atas kebakaran sampah TPA Sarimukti. Ada salah urus sampah di Jawa Barat.
Penulis Dini Putri28 Agustus 2023
BandungBergerak.id - Hingga saat ini, kebakaran sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti belum juga berhasil ditaklukan. Kepulan asap tebal masih membumbung tinggi dan berdampak bukan hanya di wilayah Desa Sarimukti saja, tapi juga menjalar ke wilayah lain. Berbagai upaya pemadaman api terus dilakukan termasuk mengerahkan helikopter untuk melakukan water bombing.
Sejumlah anak muda yang tergabung dalam komunitas Sahabat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat pun merespons terkait kebakaran TPA Sarimukti dengan menggelar kampanye di Lapangan Gasibu, Kota Bandung, Minggu (27/8/2023). Mereka mengusung pesan tertulis: Festival Sampah Jabar (Waste Jabar Fest).
Aksi tersebut dilakukan di depan kantor Gubernur Jabar Gedung Sate. TPA Sarimukti sendiri merupakan TPA di bawah pengelolaan Provinsi Jawa Barat.
Irsan salah satu anggota Sahabat Walhi Jawa Barat mengungkapkan, anak muda tidak boleh acuh terhadap isu persampahan termasuk kebakaran TPA Sarimukti. Apalagi hanya mengandalkan pernyataan-pernyataan resmi dari pemerintah.
Menurut Irsan, topik tentang TPA Sarimukti sekarang memang sedang hangat-hangatnya dibicarkan. Sahabat Walhi terpantik untuk menggalinya lebih dalam dan menemukan berbagai keganjilan yang terjadi.
Setelah mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, kata Irsan, diketahui penyebab kebakaran diduga disebabkan oleh puntung rokok. Irsan menilai informasi ini tidak cukup logis untuk dijadikan alasan penyebab kebakaran karena aktivitas masyarakat sekitar TPA Sarimukti yang berhubungan dengan puntung rokok sudah terjadi sejak lama.
Selain itu, Sahabat Walhi juga melihat dari data yang mereka dapatkan jika daya tampung TPA Sarimukti itu sudah melebihi kapasitas. TPA ini pada awalnya merupakan solusi sementara untuk mengatasi permasalahan pembuangan akhir sampah setelah peristiwa meledaknya sampah di TPA Leuwigajah yang terjadi pada 25 Februari 2005 lalu.
Irsan mengatakan pula, jika merujuk pada Undang-Undang 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pengelolaan sampah harus dilakukan secara desentralisasi, yaitu pemrosesan pengurangan sampah di lingkup terkecil masyarakat sebelum dibuang ke TPA. Maksudnya, penanganan yang dilakukan terhadap pemasalahan sampah harus dilakukan sedekat mungkin dengan sumber.
Undang-Undang tersebut memberikan spirit dengan menghimbau agar tidak digunakannya TPA sebagai alternatif utama pembuangan sampah.
“Sejak adanya Undang-Undang yang baru ini (UU Nomor 18 tahun 2008), TPA itu dirubah redaksinya dari yang semula merupakan tempat pembuangan akhir menjadi tempat pemrosesan akhir. Pemerintah itu sebenarnya ingin memberikan kesadaran bahwa TPA itu fungsinya untuk menampung sampah-sampah yang memang sudah tidak bisa lagi diolah di bank sampah, di TPS, di TPS3R, di TPST, sehingga sampah-sampah yang masuk ke TPA itu hanya yang tidak bisa diolah, sampah residu namanya,” Kata Irsan, kepada BandungBergerak.id.
Irsan menyayangkan bahwa pesan-pesan ada di dalam undang-undang belum terealisasikan secara baik, sehingga pengelolaan sampah di mana pun masih menggunakan sistem kumpul-angkut-buang.
“Kumpul-angkut-buang, sehinga itu membuat si TPA menjadi masa pakainya cepat habis, gampang overload,” terangnya.
Pada akhirnya kurang baiknya pengelolaan sampah akan berdampak terhadap lingkungan sekitar seperti berkurangnya kualitas udara, pencemaran tanah, pencemaran sumber air, dan akhirnya berdampak pada kesehatan masyarakat.
Sahabat Walhi mendorong dan menghimbau pemerintah untuk lebih progresif dalam menangani masalah sampah dengan mengalokasikan anggaran lebih banyak untuk pengelolaan sampah yang lebih ideal, karena, informasi yang Sahabat Walhi dapatkan langsung dari pengelola di TPA Sarimukti dan mengumpulkan banyak data, anggaran yang dikeluarkan pemerintah Kota Bandung senilai 123 miliar rupiah dan 60-64 miliar rupiah untuk Kabupaten Bandung Barat per tahunnya masih belum cukup untuk menanggung biaya retribusi, transportasi, dan sebagainya.
Sahabat Walhi mengharapkan pemerintah bisa lebih tegas untuk memberikan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan yang masih lalai dan kurang efektif dalam melakukan pengolahan sampah yang dihasilkannya.
Edukasi terhadap masyarakat juga harus dilakukan secara masif misalnya terkait konsep nol sampah (zero waste) dan eco lifestyle agar masyarakat bisa lebih memahami dan bersama-sama menjaga serta melindungi lingkungan dari pencemaran sampah dan berbagai dampak buruk yang dihasilkan.
Baca Juga: Kualitas Udara Kota Bandung Diperburuk Tingginya Volume Kendaraan Pribadi dan Pembakaran Sampah?
Pengelolaan Sampah Model TPA Sarimukti sudah Ketinggalan Zaman
Parade Foto Trotoar-trotoar Rusak di Kota Bandung
Sampah, antara Potensi dan Petaka
Arlina Phelia dari Universitas Teknokrat Indonesia dalam jurnalnya tentang “Evaluasi Efektifitas Sistem Pengangkutan dan Pengelolaan Sampah di TPA Sarimukti Kota Bandung” (2021) menyatakan sampai saat ini paradigma pengelolaan sampah masih menggunakan pola kumpul, angkut, buang tanpa melalui proses pemilahan terlebih dahulu. Dengan model ini diperkirakan hanya sekitar 60 persen sampah di kota-kota besar di Indonesia yang dapat terangkut ke TPA.
“Demikian halnya dengan Kota Bandung yang saat ini telah berkembang pesat dan menjadi salah satu kota tujuan wisata di Jawa Barat, tidak terlepas dari permasalahan sampah yang menuntut penanganan secara serius,” tulis Arlina Phelia, diakses Senin (28/8/2023).
Kota Bandung memiliki beban penimbunan tertinggi sampah berdasarkan luas lahan TPA yang ada yaitu sebesar 3,55 meter kubik per meter persegi (BPLHD, 2008). Sedangkan menurut data dari PD Kebersihan Kota Bandung, pelayanan sampah Kota Bandung hanya mencakup 62,73 persen dari total timbulan sampah.
Model penanganan sampah seperti yang berlaku di TPA Sarimukti amat rentan dan berbagaya bagi lingkungan. Salah satunya menghasilkan gas metan atau rumah kaca yang menyumbang pemanasan global dan krisis iklim.
Gas yang terdapat pada TPA adalah gas CO2, O2, dan CH4. Menurut US EPA (2012), CO2 dan CH4 merupakan gas yang berpotensi menimbulkan global warming. Satu ton CH4jika lepas ke udara sebanding dengan tujuh puluh dua ton CO2. Sehingga semakin banyak CO2 dan CH4 yang lepas ke udara akan meningkatkan gas rumah kaca di udara dan dapat menyebabkan pemanasan global.
“Selain itu bila lepas ke udara CH4 dapat menyebabkan dampak terhadap kesehatan manusia yaitu gangguan sistem pernapasan. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan penangkapan dan pemanfaatan gas metan,” tulis Arlina Phelia.
Peran Pemulung dan Pengepul
Sampah juga memiliki potensi ekonomi. Menurut Arlina Phelia, pemulung adalah orang yang mengambil sampah-sampah yang memiliki nilai jual pada tumpukan sampah di TPA. Pengepul adalah orang yang membeli sampah tersebut dari pemulung dan menjualnya ke bandar. Sementara bandar adalah orang yang membeli sampah dari pengepul.
Arlina membeberkan data hasil wawancara dengan pemulung, diketahui bahwa jam kerja dan produktivitas pemulung berbeda-beda. Ia meawancarai pemulung yang bekerja lima jam sehari dari pagi hingga siang. Setiap hari dengan waktu lima jam tersebut dia dapat mengumpulkan sampah sebanyak 100 kilogram.
Sampah yang dikumpulkan adalah sampah botol plastik, kaca dan alumunium kaleng. Pendapatannya rata-rata pemulung tersebut adalah 400.000-500.000 rupiah per minggu, sehingga jika dikalkulasikan pendapatan mereka mencapai 2.000.000 rupiah per bulan.
Sementara dari hasil wawancara dengan pengepul, diketahui biasanya satu pengepul membeli sampah yang bernilai jual dari 10-12 orang pemulung. Sampah dari pemulung dipilah lagi sebelum dijual ke bandar. Setiap hari pengepul bisa mendapatakan sampah sebanyak 1.012 kuintal dengan keuntungan sebesar 200 rupiah per kilogram. Pendapatan mereka bisa mencapai 200.000-260.000 per hari.