Kualitas Udara Kota Bandung Diperburuk Tingginya Volume Kendaraan Pribadi dan Pembakaran Sampah?
Kualitas udara Kota Bandung satu level lagi naik menjadi tidak sehat. Praktik pembakaran sampah dan tingginya penggunaan kendaraan pribadi disinyalir jadi penyebab.
Penulis Iman Herdiana28 Agustus 2023
BandungBergerak.id - Isu pencemaran udara menguat akhir-akhir ini yang dipicu kondisi polusi di Jakarta yang terus memburuk. Jakarta memang sudah lama masuk radar pencemaran lingkungan karena polusi udara. Di samping DKI, Bandung terekam memiliki kualitas udara yang tidak bagus.
Menurut CAI-Asia (2009), berdasarkan hasil pemantauan kualitas udara yang dilakukan di 10 kota besar di Indonesia pada tahun 2008, menunjukan bahwa beberapa kota besar di Indonesia memiliki kualitas udara pada kondisi atau kategori tidak sehat dengan masing-masing selama 18 hari, 9 hari, 1 hari, dan 6 hari berturut-turut untuk Jakarta, Medan, Surabaya, Pontianak, dan Bandung.
Pencemaran udara di kota-kota besar tersebut berasal dari berbagai sumber seperti pembakaran batu bara, pembakaran BBM pada sarana transportasi (darat, laut, dan udara), pembakaran pada proses industri dan pengolahan limbah domestik, serta zat kimia yang langsung diemisikan ke udara oleh kegiatan manusia.
Pembakaran sampah masuk dalam kategori pembakaran kimia. Diketahui, Bandung juga mempraktikkan pembakaran dalam mengelola sampah, seperti sistem TPS yang menghasilkan arang RDF yang diklaim sebagai sumber energi terbarukan. Padahal baik proses pembuatan RDF maupun penggunaannya dapat menimbulkan emisi yang mencemarin lingkungan.
Lebih dari sepekan ke belakang, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti juga mengalami kebakaran yang menghasilkan polusi udara di cekungan Bandung.
Data terbaru mengenai kualitas udara Kota Bandung disampaikan Kepala Seksi Pemantauan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung Iren Irma Muti, melalui siaran pers Kamis (24/8/2023). Menurutnya, kualitas Kota Bandung masuk dalam kategori kualitas sedang. Dengan kata lain, hanya terpaut satu level lagi untuk menyentuh angka kualitas tidak sehat.
Iren menyebutkan, dalam seminggu ke belakang, tingkat polusi udara Kota Bandung memang cukup tinggi, tapi masih dapat diterima manusia. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di Kota Bandung berada di angka 51-99.
"Meski begitu, ini tetap menjadi perhatian kita karena jika dibiarkan makin lama bisa menuju ke arah tidak sehat. Saat ini statusnya sedang berdasarkan indikator partikulat PM 2,5," ujar Iren.
Iren menerangkan, ada beberapa faktor yang mengakibatkan kualitas udara di Kota Bandung memburuk. Sekitar 70 persen dikarenakan gas emisi transportasi, sisanya dari rumah penduduk seperti pembakaran sampah, cerobong pabrik, cerobong genset, dan lainnya.
Berdasarkan PP 41 Tahun 1999, ambang batas PM10 memiliki nilai 150 μg/m3 (mikrometer). Menurut IQAIR, PM10 merupakan partikulat atau partikel udara berukuran lebih kecil dari 10 mikron (mikrometer). Sebagai perbandingan, rambut manusia rata-rata berdiameter 50 hingga 70 mikrometer.
Materi partikulat kadang-kadang disebut sebagai debu mengambang atau aerosol. Partikel halus dapat tetap tersuspensi di atmosfer dari hari ke minggu, memungkinkan bahan untuk melakukan perjalanan jarak jauh. Partikel yang lebih besar segera kembali ke permukaan karena presipitasi dan gravitasi.
Perbedaan antara PM10 dan PM2.5 adalah masalah ukuran. PM2.5 sangat halus dan PM10 lebih besar dan lebih kasar dari PM2.5. Karena PM10 adalah partikel yang lebih besar dari PM2.5, kecil kemungkinannya untuk menyeberang dari paru-paru ke aliran darah. Namun, PM10 dapat menembus jauh ke dalam paru-paru.
Faktor Penyebab Kualitas Udara Kota Bandung Memburuk
Alvin Pratama dan Asep Sofyan dari Program Magister Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB menyatakan pencemaran udara merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang memiliki pengaruh penting terhadap kehidupan manusia dan ekosistem. Apabila jumlah polutan yang dihasilkan melebihi ambang batas (threshold) yang telah ditetapkan, maka dapat mempengaruhi kesehatan manusia, kesuburan daerah pertanian dan perkebunan, bahkan dapat mempengaruhi kerusakan infrastruktur untuk jangka waktu yang lebih lama.
Alvin Pratama dan Asep Sofyan menyatakan hal tersebut dalam Jurnal Teknik Lingkungan Volume 26 Nomor 1, April 2020. Menurut mereka, Bandung menurut pemantauan CAI-Asia (2009) merupakan kota dengan kualitas udara tidak sehat. Mereka juga mengutip penelitian hasil lain bahwa selama 10 tahun partikulat halus di Kota Bandung mempunyai porsi yang cukup besar terhadap polutan partikulat yang berukuran 10 mikrom (PM10).
“Dari hasil studi tersebut juga menyatakan bahwa konsentrasi partikulat halus di kota Bandung sudah termasuk kategori membahayakan. Hal ini disebabkan karena konsentrasi rata-rata tahunan di beberapa lokasi pengamatan di kota Bandung memiliki nilai di atas baku mutu rata-rata tahunan yang ditetapkan oleh WHO yaitu 20 μg/m3,” tulis Alvin Pratama dan Asep Sofyan, dalam jurnal yang diakses Senin (28/8/2023).
Kedua peneliti melakukan pengumpulan sumber emisi Kota Bandung dari 365 sumber. Diketahui bahwa sumber emisi PM10 terbesar berasal dari Bandung bagian selatan, yaitu tol Padaleunyi dan jalan Soekarno Hatta. Jumlah emisi dari kedua sumber tersebut memiliki nilai antara 180 - 430 ton per tahun. Selain itu, daerah lain seperti Jalan Setiabudhi, Jalan Ahmad Yani, dan Tol Pasteur menyumbangkan emisi PM10 yang cukup besar yaitu berkisar antara 55 - 180 ton per tahun.
Kedua peneliti juga meneliti pesebaran polutan di Kota Bandung dipengaruhi oleh pergerakan angin, tinggi boundary layer, tingkat turbulensi, proses konvektif, dan curah hujan. Pada musim kering, angin dominan berasal dari timur dan tenggara (monsun Australia) dengan intensitas yang tinggi serta melewati topografi yang cenderung datar.
“Hal ini menyebabkan polutan di Kota Bandung tersebar ke arah barat dan barat daya hingga ke luar Kota Bandung,” tulis Alvin dan Asep.
Pada bulan basah, angin dominan berasal dari arah barat laut (monsun Asia) dan melewati topografi yang komplek serta didominasi oleh perbukitan. Hal ini menyebabkan tingkat dispersi polutan ke arah timur pada bulan basah tidak tersebar dengan baik.
Baca Juga: Kemeriahan Turnamen Sepak Bola di Sukamaju Kaler. Tua-muda memenuhi lapangan. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha) Gejolak Hasrat Sepak Bola di Cijerah
Bertahan di Reruntuhan Pasar Sadang Serang
Parade Foto Trotoar-trotoar Rusak di Kota Bandung
Tingginya Volume Kendaraan Pribadi
Penyumbang utama polutan udara di Kota Bandung adalah tingginya penggunaan kendaraan pribadi. Dengan demikian, kendaraan umum atau transportasi publik mestinya bisa menjadi solusi untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Namun faktanya, transportasi publik di Kota Bandung hidup enggan mati segan. Contoh, angkutan umum di Bandung lebih banyak dikelola secara tradisional. Di saat yang sama, jumlah pengguna transportasi publik justru menurun seperti terlihat dalam penelitian Maulida Wahyu Fadhilah dan Sholihati Amalia yang meneliti jumlah pengguna transpormasi massal jenis bus, Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (DAMRI) Kota Bandung.
Kedua peneliti dari Politeknik Negeri Bandung ini mencatat penurunan jumlah penumpang DAMRI Bandung antara 2018-2020. Pada 2018 total penumpang bus kota DAMRI Bandung tercatat 9.449.509 orang, lalu menurun menjadi 8.873.996 orang pada 2019, dan menyusut hampir tinggal setengahnya menjadi 4.058.587 orang pada 2020. Peneliti menduga kuat bahwa orang-orang lebih memilih kendaraan pribadi daripada bus.
Penelitian tersebut ini dilatarbelakangi Kota Bandung sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2020 memiliki penduduk sejumlah 2.444.160 jiwa. Setiap tahunnya penduduk Kota Bandung mengalami peningkatan 0,21 persen (BPS, Februari 2021). Jumlah penduduk yang banyak membuat tingginya penggunaan transportasi sebagai penunjang mobilitas dalam kegiatan sehari-hari, maka dari itu kemacetan pun sering terjadi.
Sementara itu, pada 2019, Asian Development Bank (ADB) merilis laporan kemacetan dari 45 negara di Asia dan hasilnya Kota Bandung menempati urutan ke-14 sebagai kota termacet di antara negara-negara tersebut.
Peneliti juga mencatat penduduk yang memakai transportasi umum hanya 20 persen, sedangkan sisanya sebanyak 80 persen adalah penduduk yang memakai kendaraan pribadi. Kemudian diketahui dari data BPS Kota Bandung bahwa total kendaraan umum hanya 12.514 unit, sedangkan total kendaran bermotor milik pribadi ialah sebanyak 1.538.788 unit (BPS, Februari 2021).
Transportasi Publik Bukan Prioritas
Kepala Seksi Pemantauan Lingkungan Hidup DLHK Kota Bandung Iren Irma Muti mengakui kendaraan umum merupakan solusi untuk menciptakan kualitas udara yang lebih baik, di samping melakukan pengujian-pengujian emisi kendaraan.
"Ke depan juga akan ditingkatkan melalui rekan-rekan Dinas Perhubungan penggunaan kendaraan masal. Berbagai upaya juga sudah kita lakukan seperti menguji emisi kendaraan bermotor untuk penerapan kawasan emisi bersih itu sudah cukup signifikan," akunya.
Meski demikian, data menunjukkan transportasi publik di kota yang diklaim sebagai smart city ini kurang mendapat prioritas dari Pemkot Bandung. Tanpa melakukan pembenahan di sektor transportasi publik, dikhawatirkan kualitas udara Kota Bandung sama dengan Jakarta.