• Opini
  • PELAJAR BERSUARA: Tapak Tilas dan Jejak Langkah Santri

PELAJAR BERSUARA: Tapak Tilas dan Jejak Langkah Santri

Santri bukan hanya sekumpulan orang-orang yang cuma belajar agama.

Dafi Cahyadi

Siswa MA Persis Cipada

Warga dan santri pawai obor sebelum bermain sepak bola api dalam peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharam 1445 H di Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Selasa (18/7/2023). (Foto : Prima Mulia/BandungBergerak.id)

5 Desember 2023


BandungBergerak.id – Konon, “Menang jadi abu, kalah jadi arang.” Maksudnya apa pun kondisinya jika dua pihak berperang, maka kedua belah pihak itu akan sama-sama merugi pada akhirnya, mulai dari kerugian finansial hingga psikologis masyarakat yang bisa saja trauma berat karena perang. Namun, apa salahnya jika berperang untuk mendapat hak hidup yang lebih layak, toh, berperang juga merugi agar tidak rugi. Indonesia selama 350 tahun berada dalam penderitaan di bawah penjajahan dari mulai Portugis, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), Belanda, Inggris, dan kembali lagi ke tangan Belanda dan terakhir Jepang, mereka silih berganti mengeksploitasi hak milik bumiputra. Berdagang, katanya, tapi kerakusan mengubah tujuan mereka menjadi menjajah bumi khatulistiwa. Juru selamat, katanya, tapi pada akhirnya mereka juga yang malah mengeksploitasi hasil bumi Indonesia. 

Ketamakan yang awalnya dari individu berubah menjadi terstruktural, mereka yang awalnya membangun hubungan dengan bumiputra dan berdagang, berubah menjadi membangun koloni dengan tujuan memonopoli kekayaan hasil bumi untuk perut mereka sendiri. Sedang, bumiputra dipaksa kerja di negeri sendiri, menanam buah dan sayur bukan untuk diri sendiri, membangun rumah bukan untuk mereka tinggali.

Ketamakan sudah menjadi sebagian dari ideologi dan sifat mereka. Hukum-hukum yang dibuat pun berdasar keuntungan dan kepentingan pribadi, sementara bumiputra merasai. Hasil bumi khatulistiwa dijual ke luar negeri sampai-sampai VOC dinyatakan sebagai perusahaan terkaya di dunia hingga saat ini dengan kekayaan mencapai 110 kuadriliun rupiah, perbandingannya adalah kekayaan perusahaan Apple sekarang adalah sekitar 40 triliun rupiah.

Perjuangan demi perjuangan dilancarkan para bumiputra dari mulai zaman kerajaan, kesultanan, hingga zaman intelektual. Semua itu dilakukan untuk merebut kembali permen yang diambil orang dewasa darinya. Sehingga pada 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 dengan bangga diumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang menyatukan Sabang sampai Merauke.

Orang-orang bersorak gembira mendengar berita itu, “Merdeka! Merdeka!

Merdeka!” pekik mereka menggetarkan bumi khatulistiwa.

Rakus ya rakus, sifat lama kambuh lagi. Rakyat menjerit, si penjajah balik lagi dengan dasar meruntuhkan negara boneka milik fasisme Jepang, katanya. Para blok sekutu membantu Belanda menguasai Indonesia, bahkan membikin pasukan khusus bernama AFNEI (Aliied Forces for Netherland Indies). Dalam seketika, wilayah-wilayah penting di Indonesia diduduki, termasuk salah satunya adalah kota Surabaya.

Kota Surabaya menjadi salah satu korban kerakusan Belanda. Para arek Suroboyo yang sudah resah dengan penjajahan, mengangkat senjata mereka mengacungkan senjata pada bangsa asing yang telah mengganggu kedamaian.

“Merdeka atau mati,” ucapan Bung Tomo dari radio menggema ke seluruh penjuru dan membakar semangat para pejuang untuk menghapus penjajahan sesuai UUD 1945 yang merupakan dasar negara bangsa Indonesia.

Peristiwa perobekan bendera merah putih biru milik Belanda menjadi sang sangka merah putih milik Indonesia, menjadi salah satu peristiwa monumental dalam usaha Indonesia mempertahankan kemerdekaannya yang baru seumur jagung. Perang yang berlangsung selama tiga minggu ini menyisakan banyak kesedihan di mana ribuan pejuang harus wafat dan ratusan ribu warga harus mengungsi. Memang kemenangan ini memakan banyak korban. Namun seperti yang dikatakan di awal, kita perang memang merugi, tapi agar nanti tidak merugi lagi dan anak cucu bisa hidup sejahtera di negeri khatulistiwa.

“Kota Pahlawan,” julukan yang disematkan ke kota ini sebagai bentuk penghormatan dari bangsa ini untuk para pejuang arek Suroboyo, yang dengan tangguhnya mempertahankan kemerdekaan. Keringat dan darah sudah menjadi dasar bagi kota itu.

Memang banyak peristiwa dari pertempuran Surabaya, namun kebanyakan orang hanya tahu Bung Tomo, perobekan bendera, pemuda dan lainnya. Mereka lupa sosok yang pertama kali menggaungkan suaranya untuk melawan para penjajah.

Baca Juga: Vaksin di Mata Para Santri
Mengenal Al Ihsan Nambo sebagai Salah Satu Pesantren Tertua di Kabupaten Bandung Barat
Dekadensi Pesantren dalam Menyiasati Tradisi

Ulama dan Santri di Kota Pahlawan

Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah…” 

Keputusan yang dikeluarkan PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) menggelora di kalangan santri, tidak hanya itu, warga terutama pemuda ikut terbakar semangat atas keputusan yang dikeluarkan oleh PBNU, yang saat itu menjadi sentral agama Islam bagi masyarakat Jawa Timur.

Semua kejadian ini berawal dari kegundahan presiden Soekarno atas kedatangan Inggris ke Indonesia, beliau takut akan adanya sesuatu yang buruk terjadi. Maka dari itu, beliau mengirim utusan ke pondok Tebuireng untuk meminta arahan dan petunjuk kepada Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari untuk memecah kegundahan presiden.

Membebaskan interniran dan melucuti senjata Jepang, katanya yang menjadi tujuan utama kedatangan Inggris ke Indonesia. Memang iya sih, tapi mereka juga menyelundupkan NICA (Nederlandsch Indische Civiele Administratie). Tidak lain tidak bukan, ya untuk bernostalgia merebut kembali hasil bumi dan wilayah bumiputra yang baru saja mengumumkan kemerdekaannya.

Jangan Mencoreng Nama Baik Santri

Peranan santri dalam kontribusi mempertahankan kemerdekaan menjadi peranan penting, karena berkat resolusi jihad itu pula arek Suroboyo berani melawan penjajah. Santri tidak hanya menjadi sekumpulan orang-orang yang cuma belajar agama, tapi mereka juga menjadi pendukung rakyat dan pejuang keadilan ketika hak-haknya diinjak.

Namun, jika melihat keadaan sekarang. Sepertinya nama santri dan pesantren sedang buruk dikarenakan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Mendekati zina hukumnya adalah haram, namun, ironis banyak sekali pelecahan seksual di pesantren yang ironisnya lagi ada kasus yang dilakukan oleh para Ustaz yang mengajar di pesantren. “Ihsan adalah ketika engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu”. Jika berdasar pada hadis nabi tentang ihsan, maka akan timbul pertanyaan, “Apakah para oknum pencoreng nama baik pesantren itu masih percaya akan keberadaan Allah?”

Para pejuang dulu perang merugi agar tidak rugi dengan tujuan mendapat hak yang layak mereka dapatkan, tapi sekarang dikhianati oleh oknum yang malah mencuri hak seseorang yang bukan mahramnya. Kita terlalu banyak mengenang masa lalu hingga lupa masa kini dan masa depan. Tidak ada yang salah mengenang dan mengingat, namun lebih benar kalau menerapkan nilai-nilai perjuangan pendahulu untuk hari ini dan hari esok.  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//