• Opini
  • Pergeseran Nama Orang Sunda, dari yang Unik hingga Modis

Pergeseran Nama Orang Sunda, dari yang Unik hingga Modis

Pergeseran nama berkaitan erat dengan pola pikir masyarakat. Pergeseran nama mengikuti perkembangan zaman.

Rifkia Ali

Alumnus Sastra Sunda Universitas Padjadjaran dan Co Founder Bandoeng Waktoe Itoe.

Anak-anak belajar aksara Sunda usai mengaji di Masjid Al Jabbar, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, 9 September 2022. Mereka antusias mempelajari huruf Sunda yang lama tenggelam. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

8 Desember 2023


BandungBergerak.id – Seiring dengan perkembangan zaman terjadi pergeseran pemberian nama kepada anak. Pola Pemberian nama anak pada masa lalu cenderung lebih sederhana, terdiri atas satu kata yang berkiblat pada timur tengah, sedangkan pada masa sekarang pemberian nama lebih cenderung pada konteks global (Bakti, I. S., Hamdi, E., & Nur, M. 2018). Hal ini tentu menjadi hal yang menarik karena tentu pergeseran nama itu tak hanya terjadi di satu tempat saja, bahkan seluruh dunia karena mengikuti tren zaman.

Etnik Sunda yang umumnya mendiami pulau Jawa bagian barat pun ternyata mengalami pergeseran dalam hal pemberian nama. Hal yang tentunya seiring dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan setiap manusia mendapat informasi secara luas dan beragam dari seluruh dunia.

Menurut Sobarna & Afsari bahwa pemberian nama kepada sesuatu tersebut berkaitan erat dengan pola pikir suatu masyarakat dan merupakan suatu yang menyeluruh (2020: 21). Bagi masyarakat etnis Sunda pemberian nama menjadi penting untuk pembeda sesuatu atas yang lain.

Di era modern seperti sekarang kita sudah jarang mendengar nama yang identik dengan masyarakat Sunda seperti Ujang, Asep, Cece, Tatang, Dadang, Nandang, dan lain sebagainya, sebagai nama laki-laki. dan Neneng, Nining, Unung, Enung, Enong dan lain sebagainya yang umumnya digunakan untuk perempuan.

Setiap nama sudah tentu memiliki makna yang disematkan dari orang tua selaku pemberi nama tersebut.  Sobarna dkk. berpendapat bahwa makna nama pada masyarakat Sunda ada yang diberikan dengan acuan atau tanpa acuan (2020: 27). Pemberian nama tanpa acuan hanya bertujuan untuk membedakan seorang dengan yang lainnya, seperti masyarakat atas strata sosial bawah seperti: untuk laki-laki Idi, Katimin, Misran, Sahlhiam, Subri; untuk perempuan Jaitem, Kenoh, Mursi, Ursi. Pemberian makna nama disertai acuan dapat mengacu pada kata sapaan, perhitungan, alam, religi. tokoh. unik, dan modis.

Kata sapaan merupakan salah satu usaha penamaan terhadap seseorang pada masyarakat Sunda. Ada juga sapaan yang merujuk pada kebencian dan kasih sayang, sapaan yang berhubungan dengan jenis kelamin, dan dihubungkan dengan kedekatan. Berdasarkan hubungan kekerabatan, pada masyarakat Sunda ayah biasa disapa Abah dan ibu disapa Ema oleh buah hatinya. Kakek disapa Aki dan Nenek disapa Nini. Adik-adik ayah dan ibu yang laki-laki disapa Emang yang perempuan disapa Bibi. Kakak ayah dan ibu baik laki-laki maupun perempuan disapa Ua. Kakak laki-laki disapa Akang, yang perempuan disapa Ceuceu, Teteh. Anak kakak/adik baik laki-laki maupun perempuan disapa Alo.

Di samping secara dua belah pihak, pada masyarakat Sunda diketahui pula kedekatan secara generasional, sampai tujuh generasi ke atas dan ke bawah . Kata sapaan seperti itu sekarang digunakan pula kepada seseorang yang tidak memiliki hubungan kedekatan. Alasan penggunaan sapaan tersebut dikarenakan atas dasar kepatutan seseorang di sapa demikian, Agan yang sebelumnya berasal atas kata juragan tuan berkembang menjadi Adang, Agan, Atang, Dadang, Dang, Nandang, Nang, Tatang, dll. Neng, yang bermuasal atas Neneng atau Neng bergeser menjadi Eneng, Ening, Enong, Enung, Onong, Unung, Nining, Nunung, dll., Otong yang semula bermuasal atas kata sebutan untuk “alat kelamin laki-laki” berkembang menjadi Oto, Otoy, Totong, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Fenomena Merek Bahasa Sunda pada Produk Buatan Kaum Milenial
Mahasiswa Sastra Sunda dan Kesusastraan Sunda
Sunda Harus Nyunda, Kebaikan untuk Semua

Pengaruh Barat

Pemberian nama yang mengacu pada keturunan bermula karena pengaruh barat, nama keturunan lazimnya menjadi nama keluarga. Nama keluarga biasanya digunakan menjadi nama belakang sebagai kepanjangan. Nama keluarga digunakan oleh keturunan bangsawan, makna nama keluarga mengacu pada makna filosofis yang dalam, kebanyakan berasal atas bahasa kawi atau Sanskerta. Seperti Gandakusuma, Nataprawira, Somawisesa, dan lain sebagainya.

Makna nama yang mengandung acuan terhadap alam, acuannya bisa berupa benda langit, benda mati, binatang, bunga, warna, waktu, dan kejadian yang tergolong krusial saat melahirkan anak. Acuan makna kepada benda langit kata-kata yang digunakan biasanya berasal atas bahasa Sanskerta, seperti Aditya yang memiliki arti Matahari, Wulan yang mengacu pada bulan, Tirta yang mengacu pada air.

Makna acuan nama yang mengacu pada binatang bagi masyarakat Sunda lama banyak digunakan di era globalisasi seperti sekarang. Nama bagi masyarakat Sunda sekarang makna acuan seperti itu sudah tidak lagi menjadi pilihan. Lazimnya makna acuan terhadap binatang ini berhubungan dengan daya kekuatan/sifat yang dipunyai oleh binatang tersebut. Binatang yang dijadikan acuan, yakni, kijang, kuda, gajah, kerbau, kera, dan burung. Seperti, Boncel yang memiliki makna acuan ikan gabus, Wanara yang mengacu pada kera, Liman yang mengacu pada gajah, dan sebagainya.

Makna nama yang mengacu pada religi utamanya terhadap agama Hindu dan Islam. Nama yang memiliki acuan terhadap agama Hindu beberapa saja, seperti, Indra, Wisnu, dll. Acuan makna nama terhadap Islam lebih bervariasi. Nama-nama yang dipakai lazimnya seperti, kedudukan nabi dan para sahabatnya, contohnya, untuk laki-laki, Abu Bakar, All, Holid, Ibrahim, Sulaeman, untuk perempuan Aisah, Hadijah, Sabadah dll.

Makna acuan nama terhadap tokoh atau idola bisa juga menjadi asal suatu penamaan Tokoh atau idola ini bisa berupa tokoh dibidang politik, agama, olah raga, dan seni. Seperti waktu Perang Teluk dimulai, nama Saddam Husein menarik atensi dunia. Oleh karena itu, bayi yang dilahirkan pada masa itu tidak sedikit yang diberi nama Sadam oleh orang tuanya. Selanjutnya orang tua yang gemar terhadap seni, utamanya wayang memberikan nama seperti Darma, Karna, Lasmana, Utari, Rukmini dan lain sebagainya.

Pemberian nama unik ini tidak ada perhitungan atau mengacu pada makna lain, sekedar ingin nama memiliki keunikan saja. Seperti pada masyarakat Sunda saat ini, anak sulungnya lahir diberi nama Irma (perempuan), adiknya diberi dengan nama Irvan (laki-laki), adiknya lagi secara beruntun laki-laki, oleh karena itu, diberi dengan nama yang silabe awalnya sama seperti kakaknya, Irvan dan Irwan. Ada juga yang mengacu pada urutan abjad, seperti, anak pertama namanya harus berawalan fonem /a/, anak kedua berawalan fonem /b/, anak ketiga berawalan fonem /c/, dst., misalnya Aria, Bela, Citra, Dena.

Acuan makna nama pada modis, sama halnya seperti acuan makna nama kepada keunikan, tidak ada lagi pertimbangan lain kecuali orang yang menyematkan nama itu ingin memberi kesan modis. Nama-nama dengan acuan seperti ini kerap dilakukan oleh sebagian masyarakat Sunda pada kelas sosial menengah ke atas saat ini. Nama-nama kekinian ini sebagian besar diambil dari nama-nama Barat, seperti Boy, Freddy, Oky untuk laki-laki, serta Lucky, Meisye, Susie untuk perempuan, dan lain-lain. Mayoritas fenomena ini ditemukan pada masyarakat yang bermukim di perkotaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Penulis di SMP Laboratorium Percontohan UPI Kampus Cibiru pada tahun 2023 yang di mana terdapat 137 data siswa beretnik Sunda dibuktikan dari etnis kedua orang tuanya yang beretnis Sunda, menghasilkan sebuah kesimpulan sudah tidak ada lagi nama yang menggunakan satu unsur kata seperti Ismail, Gunardi, Ujang dll. Hanya ada 2 unsur nama hingga enam unsur kata menjadi nama terpanjang.

Pergeseran nama etnik Sunda sangat terlihat di tempat ini. Karena tempat penelitian ini pun berada di daerah perbatasan antara kota dan kabupaten Bandung di sertai derasnya arus urbanisasi. Lazimnya di tempat ini kental nama yang berasal dari Bahasa Arab seperti Haydar Omar, Kamila Khairani Milhan Rifainy.

Tak sedikit pula siswa yang namanya unik dan modis meskipun beretnik Sunda seperti, Radhlya Scharlis Nuraisya, Luzio Rafif Afandi, Arkan Athaya Alastair. Nama yang tidak lagi menyertai unsur Kesundaan di dalamnya sebagai identitas diri dan suku bangsa. Tentu ini menjadi hal yang menarik karena setiap nama adalah doa dan identitas yang melekat hingga akhir hayat.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//