BERSAUDARA DALAM PERBEDAAN: Bertahan dengan Kebaikan di Bandung Selatan
Bandung selatan masih menyimpan masalah terkait izin pendirian rumah ibadah. Namun, bukan berarti inisiatif-inisiatif baik tidak bisa dikerjakan.
Penulis Emi La Palau10 Desember 2023
BandungBergerak.id - Minggu 3 Desember 2023 pagi, pelataran Gereja Katolik Santo Fransiskus Xaverius Dayeuhkolot dipenuhi warga dengan beragam latar belakang. Sebagian besar adalah para perempuan muslim dari permukiman di sekitar gereja. Berbaur dengan gelombang umat gereja yang hendak beribadah, mereka antusias mengikuti layanan pengobatan gratis. Tidak sedikit dari mereka mengajak anak dalam gendongan.
Meta Nurlaela, perempuan 43 tahun yang mengenakan hijab dengan baju sederhana, datang bersama salah seorang tetangga rumahnya, Rismawati. Masuk ke area Gereja, keduanya menuju meja pendaftaran untuk mengecek tensi darah dan kondisi tubuh. Meta didiagnosa memiliki indikas penyakit lambung. Selebihnya, termasuk tensi darah, normal.
Di meja dokter, Meta dan Rismawati melakukan konsultasi sebelum diberi nomor antrean untuk mendapatkan obat. Ketika pulang, tidak hanya obat yang mereka bawa, tapi juga bingkisan dari gereja.
“Senang, (karena) pada ramah-ramah dokternya. (Saya) baru tahu (ada pelayanan kesehatan gratis), baru ke sini. Kalau ke dokter kan berapa ya (bayarnya). Alhamdulillah ada pengobatan gratis kayak gini,” tutur Meta kepada BandungBergerak.id.
Meta merupakan warga Kampung Lamajang, Desa Citereup. Hanya butuh waktu lima menit jalan kaki baginya untuk sampai di gereja. Meta adalah ibu ketua RT (Rukun Tetangga).
Bagi Meta, warga biasa dengan penghasilan tak menentu, layanan pengobatan gratis sangat membantu. Apalagi dia belum memiliki kartu BPJS Kesehatan. Suami Meta bekerja sebagai penjual roti bakar. Anak mereka saat ini duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).
Berobat menjadi semacam kemewahan yang sulit dijangkau bagi keluarga Meta. Mereka harus berpikir dua kali jika mau memeriksakan kesehatan. Ongkos 100 ribu rupiah sangatlah memberatkan. Puskesmas menjadi pilihan terakhir.
“Ke puseksmas kalau udah sakit banget, maklum rakyat kecil,” kata Meta. “Makanya harus strong, harus sehat.”
Rismawati, perempuan 44 tahun, merasa terbantu dengan adanya pengoabatan gratis yang diadakan oleh pihak Gereja. Seperti Meta, dia juga belum memiliki kartu BPJS kesehatan.
Beban ekonomi keluarga Rismawati lebih berat lagi. Suaminya bekerja sebagai pedagang asongan dengan penghasilan tak menentu. Kadang menjual cilok krispi, sesekali menjual seblak, lain lagi menjajakan martabak. Gonta-ganti, menyesuaikan dengan peluang mana dagangan yang sedang laku.
Rismawati mengambil peran sebagai ibu rumah tangga. Keluarga ini memiliki tiga orang anak. Dua di antaranya masih bersekolah dan membutuhkan biaya lebih. Satu di bangku sekolah dasar, satunya lagi di Taman Kanak-kanak.
Rismawati merasa sangat terbantu dengan pelayanan pengobatan gratis. Apalagi dokter-dokter yang dilibatkan berasal dari Rumah Sakit Borromeus.
“Ke puskesmas, ke dokter umum, kan mahal,” ucapnya. “Jadi rada mikir-mikir.”
Layanan pengobatan gratis merupakan salah satu kegiatan rutin yang dilakukan oleh Paroki Santo Fransiskus Xaverius Dayeuhkolot. Sempat terhenti selama pandemi Covid-19, kali ini pelaksanaannya dijadikan puncak rangkaian perayaan ulang tahun gereja.
Sebelum pandemi, kuota layanan pengobatan gratis bisa menjangkau 500 warga. Namun kali ini, karena keterbatasan waktu, kuota ditetapkan 200 orang. Selain pengobatan, gereja juga menggelar darah yang rutin dilakukan empat bulan sekali,
Stefanus Tanto Agustiana, pastor Paroki Santo Fransiskus Xaverius Dayehkolot, menjelaskan, gereja selalu mengajak umat untuk berpartisipasi dengan kegiatan-kegiatan bersama masyarakat sekitar. Selain di dalam gereja, umat bisa berkontribusi dalam hidup bermasyarakat, misalnya, dengan menjadi pengurus RT atau RW.
“Kemungkinan, kalau kami sekadar tinggal di dalam memang (terlihat) kokoh, tapi bisa saja akan dipandang berbeda oleh masyarakat,” tutur Romo Tanto, sapaan akrab sang pastor.
Kaum Muda sebagai Motor Toleransi
Penghargaan terhadap keberagaman masih menjadi isu krusial di Bandung selatan. Beberapa insiden intoleransi terjadi di kawasan ini dalam beberapa tahun terakhir. Reportase BandungBergerak.id yang terbit beberapa bulan lalu, “Jalan Buntu Mendirikan Gereja di Bandung Selatan”, mengungkap bagaimana komunitas agama minoritas menghadapi beragam hambatan ketika mengajukan izin mendirikan tempat ibadah. Gereja-gereja yang ada saat ini berdiri dengan perjanjian sewa di lingkungan militer.
Meski menyimpan persoalan, bukan berarti tidak ada inisiatif-inisiatif baik bisa dikerjakan. Di Bandung selatan, anak-anak muda dari kelompok minoritas menjadi motor gerakan toleransi.
Romo Tanto menjelaskan, fokus pastoral Keuskupan Bandung tahun 2023 ini menyasar hidup keberagaman di dalam masyarakat. Orang muda menjadi motor gerakan intoleransi. Mereka secara aktif terlibat dalam beragam kegiatan bersama masyarakat.
Kegiatan-kegiatan sosial, termasuk layanan kesehatan bagi masyarakat, digelar secara rutin. Di bulan puasa, orang-orang muda ikut membagi-bagikan takjil kepada masyarakat muslim. Dalam perayaan Agustusan, orang-orang muda gereja juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh warga sekitar.
“Karena toleransi itu bukan hanya ‘Oh iya kita menghargai saja’, tapi kami juga harus bertindak,” tutur Romo Tarno.
Lewat kerja-kerja baik, terjadi hubungan yang akrab dan saling menghargai. Mulai dari yang sederhana, seperti penyediaan lahan parkir bagi umat yang hendak beribadah dan kerja bareng membersihkan lingkungan, hingga partisipasi aktif sebagai pengurus kemasyarakatan di lingkungan masing-masing.
Baca Juga: BERSAUDARA DALAM PERBEDAAN: Kiprah Orang-orang Muda Melestarikan Seni Reak dari Bandung Timur
BERSAUDARA DALAM PERBEDAAN: Kawan-kawan Difabel dalam Pelukan Komunitas Seni
BERSAUDARA DALAM PERBEDAAN: Selamat Pagi, Kampung Cibedug
Olah Raga, Kemah, dan Buka Bersama
Di Paroki Santo Martinus Kabupaten Bandung, anak-anak muda juga berkontribusi signifikan dalam gerakan toleransi. Caranya kadang sangat cair, seperti secara rutin berolah raga bersama orang-orang muda di permukiman sekitar gereja dan kerja bareng membersihkan lingkungan. Pernah juga gereja menginisiasi kemah dan diskusi lintasiman.
Bagi Nadya Pontoh, salah satu orang muda Katolik di Paroki Santo Martinus, kegiatan buka bersama awal tahun ini menjadi kegiatan paling mengesan. Dia menjadi inisiator sekaligus ketua panitianya. Banyak pengalaman dia peroleh, mulai dari mengurus perizinan di internal gereja hingga membangun komunikasi dengan lingkungan sekitar.
“Walaupun acaranya buka bersama dengan umat muslim, tapi di sini kita ngundang juga dari (umat) Hindu, Budha, dan Kristen,” ujar pelajar sekolah menengah atas (SMA) ini, Kamis 16 November 2023.
Orang muda katolik lainnya, Samuel Bintang Silaen, tergerak untuk terus menggelorakan toleransi setelah berkaca dari pengalaman pribadinya menghadapi diskriminasi di lingkungan sekolah. Selama empat semester ia tidak mendapat nilai agama dari wali kelas. Tak tinggal diam, Samuel mencari organisasi lintasiman untuk belajar mengadvokasi kasus-kasus seperti itu. Perjumpaan dengan Jakatarub (Jaringan Kerukunan Antar Umat Beragama) sangat membatunya untuk berani bersuara dan memperjuangkan hak.
“Jangan kita membatasi diri kita yang berbeda, tapi kita harus saling membantu,” ucapnya.
Lebih Mengenal, Lebih Terlibat
Bandung selatan sampai hari ini awet sebagai salah satu pusat penghayat kepercayaan, terutama warga Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP). Di Ciparay, berdiri pasewakan Kerta Tataning Hirup Linuwih yang menjadi jantung kegiatan warga yang membaur dengan dinamika keseharian warga lain. Dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh warga penghayat, masyarakat secara aktif membantu. Giliran ada kegiatan di lingkungan sekitar, warga penghayat turut berkontribusi.
Sintia Soniawati, seorang penyuluh pendidikan penghayat kepercayaan, bercerita juga tentang kegiatan diskusi bersama sekolah-sekolah di lingkungan Kabupaten Bandung untuk mengenalkan eksistensi penghayat. Guru-guru diajak berdialog. Sintia dan para penyuluh lain juga secara proaktif mengenalkan para peserta didik penghayat dengan lingkungan sekitar.
“Supaya mereka (sekolah dan guru) mengenal eksistensi kami, serta peserta didik kami juga percaya diri bahwa orang luar juga tidak berpandangan buruk begitu kepada masyarakat kepercayaan,” ucap Sintia, Senin, 13 November 2023.
Menurut Sintia, intoleransi lahiar dari kurangnya pemahaman. Dengan komunikasi yang terus dibangun, dengan perjumpaan-perjumpaan yang dilakukan, dia percaya bahwa hidup rukun berdampingan bisa diusahakan.
“Yuk kenali lebih dekat,” tutur Sintia. “Ketika kita mengenali seseorang yang berbeda dari kita, kita tidak akan mempunya pandangan yang buruk terhadap orang tersebut.”
Yuliati, 37 tahun, adalah perempuan muslim yang lahir dan tumbuh di rumah di dekat pasewakan. Baginya, perebedaan adalah hal biasa, hal keseharian. Kebersamaan warga penghayat dan warga lainnya terjalin secara erat lewat aktivitas sehari-hari.
“Kalau misalnya ada yang sakit, langsung ngejenguk. Kalau ada yang bedah rumah, saling membantu gitu,” ucapnya
Yuliati juga berkisah tentang bagaimana kebersamaan dan toleransi tidak hanya dilakoni oleh orang-orang dewasa, tapi juga anak kecil dan orang muda. Mereka melakoni toleransi dengan cara mereka sendiri yang khas.
Tusi, 42 tahun, memberikan kesaksian serupa. Dia seorang penghayat, sementara suaminya seorang muslim. Mereka menjalani status ini dengan penuh penghormatan satu sama lain. Anak mereka sering mengikuti sekolah di pasewakan, dan itu dinilai sebagai hal positif.
“Kalau ada kegiatan-kegiatan, (anak) suka ikutan,” kata Tusi. “Belajar tentang ajaran, terus sama budi pekerti.”
*Reportase ini terbit sebagai bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Jakatarub dalam kampanye Bandung Lautan Damai 2023