• Berita
  • Kawan-kawan Muda Bandung Menyerukan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

Kawan-kawan Muda Bandung Menyerukan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

Kampenye Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) dilakukan di depan Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika. Kekerasan terhadap perempuan di Bandung masih marak.

Aksi peringatan hari Hak Asasi Manusia dan puncak 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) di Gedung Merdeka, Bandung, Sabtu, 9 Desember 2023. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya11 Desember 2023


BandungBergerak.idDi tengah riuh Jalan Asia Afrika, Bandung, camilan yang disisipi pesan cinta bagi para penyintas kekerasan terhadap perempuan dibagikan. “Your feelings are valid. Your voices matters” (dengan emoticon senyum) adalah satu dari 120 pesan yang akhirnya sampai ke tangan setiap pejalan kaki yang melintas jalan di kota tua tersebut, Sabtu malam, 9 Desember 2023.

Beberapa di antara orang-orang yang menerima pesan bahkan bersedia membalas balik pesan terkait Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan tersebut lewat notes tempel yang telah disediakan. Dukungan bagi para penyintas makin menguat.

Aksi kampanye 16 HAKTP sekaligus Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional tersebut dilakukan puluhan kawan-kawan muda solidaritas di depan Gedung Merdeka. Selain membagikan pesan dan camilan, mereka mengusung poster kampanye 16 HAKTP dan HAM.

Kampanye ini sengaja dilakukan di pusat keramaian Kota Bandung yang terkenal dengan wisata selfie bersama hantu-hantu (cosplay) Asia Afrika, bukan di Gedung Sate atau Kantor DPRD.

“Kita kan aksi kampanye. Sehingga tujuannya untuk menyebarkan keresahan bersama. Mengajak orang untuk melihat, mendengar, dan peka juga terkait isu-isu yang ada,” terang Andily, salah seorang peserta aksi.

“Dilaksanakan di malam Minggu, di depan Gedung Merdeka, di jalan yang banyak sekali wisatawan yang lalu lalang, itu menjadi tempat yang sangat pas untuk aksi kampanye kita,” lanjut Andily.

Bandung (mungkin) belum menjadi kota ramah gender, itulah kesimpulan dari diskusi yang menjadi rangkaian kampanye 16 HAKTP dua pekan lalu. Setengah warga Bandung adalah perempuan, paradoksnya kota ini menjadi tidak ramah untuk perempuan. Berbagai tindak kekerasan masih terjadi: kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, kekerasan berbasis gender, kekerasan oleh aparat, dan banyak lainnya.

Nida, perwakilan dari Great UPI, mengungkapkan bahwa di mana pun bisa menjadi tempat kekerasan: di tempat kerja, di sekolah, di kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia mempertanyakan keberadaan ruang aman dan keseriusan Pemerintah Kota Bandung dalam mencegah dan mengatasi kekerasan terhadap perempuan.

“Lalu bagaimana dengan kondisi korban kekerasan seksual yang masih mendapatkan stigmatisasi, disalahkan karena bajunya, disalahkan karena dia tidak bisa melawan, karena diam, karena dia perempuan?” ungkap Nida, dalam orasinya.

Keberadaan ruang aman juga dipertanyakan oleh Mila, mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Menurutnya, institusi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi, masih belum aman. Kekerasan seksual masih marak terjadi baik oleh teman sebaya, guru, ataupun staf kependidikan.

Di kampus sendiri, kata Mila, pelecehan seksual masih kerap terjadi, seperti cat calling atau memanggil atau menggoda perempuan layaknya hewan piaraan. Ia juga mengungkapkan bahwa penerapan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual belum maksimal. Hak korban masih belum terperhatikan. Masih banyak yang masih sekadar wacana.

“Aku paling takut kalau hal-hal yang aku perjuangkan sekarang terkait pelecehan nanti suatu saat terjadi di aku. Karena aku pun perempuan yang bahaya itu ada di mana-mana. Siapa tahu sekarang aku memperjuangkan besok aku jadi korban, aku ga tahu. Tapi naudzubillah sih,” terang mahasiswa ilmu hukum semester 2 ini.

Selain bagi-bagi camilan dan mimbar bebas, aksi ini diwarnai pembacaan puisi Dongeng Marsinah oleh Adinda dan penampilan teatrikal Wanggi Hoed. Seluruh rangaian aksi kemudian ditutup oleh aksi lilin sebagai simbol duka atas Kota Bandung yang belum ramah gender. Massa lantas berdoa bersama untuk Kota Bandung yang lebih baik dan lebih ramah perempuan.

Aksi 16 HAKTP dan Hari HAM Internasional tadi malam bukan hanya sekadar selebrasi, tapi juga refleksi bahwa Kota Bandung masih banyak masalah serta tindak kekerasan masih sering terjadi. Aksi ini sekaligus menyadari bahwa perjuangan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri

Baca Juga: Data Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2020, Kekerasan Seksual Paling Banyak Dilaporkan
Data Kekerasan terhadap Anak di Kota Bandung 2020, Terbanyak Berupa Kekerasan Psikis
Kekerasan Seksual Menimpa 12 Santriwati Anak di Bandung, Saatnya Lebih Serius Menangani Masalah Kekerasan terhadap Anak

Aksi peringatan hari Hak Asasi Manusia dan puncak 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) di Gedung Merdeka, Bandung, Sabtu, 9 Desember 2023. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)
Aksi peringatan hari Hak Asasi Manusia dan puncak 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) di Gedung Merdeka, Bandung, Sabtu, 9 Desember 2023. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Suara Perempuan Kota Bandung

Eva Eryani turut hadir dalam acara kampanye HAKTP. Ia menyuarakan isu penggusuran yang menimpa dirinya di Tamansari dalam sengketa rumah deret. Tepat dua bulan lalu, rumah bedeng milik Eva digusur oleh Pemkot Bandung. Kampung halaman dan segenap kenangan di dalamnya pun lenyap. Pemerintah tutup mata dan tidak mau peduli.

Bagi Eva, Bandung yang begitu indah di mata orang-orang, nyatanya menyakitkan bagi warganya yang tinggal di kampung-kampung kota. Kejadian di Tamansari sejak tahun 2017 telah merampok kehidupan warga. Tidak ada yang tenang hidup di Bandung ini. Eva masih merasa dijajah oleh bangsa sendiri.

“Bandung katanya diciptakan ketika Tuhan tersenyum. Tetapi, lihatlah, senyuman menjadi tangisan dari setiap kampung-kampung kota yang terusir oleh tindakan Pemkot Bandung,” teriak Eva melalui pelantang. “Hari ini Tamansari, siapa tau besok rumah kalian juga digusur.”

Isu difabel juga menjadi sorotan peringatan HAKTP ini. Nida menyampaikan bahwa diskriminasi masih terjadi bagi kawan-kawan disabilitas. Menurut mahasiswa Pendidikan Khusus UPI ini, stigmatisasi terhadap kaum difabel bahwa mereka dianggap tidak mampu untuk melakukan kehidupan sehari-hari masih marak terjadi. Selain itu, fasilitas publik masih banyak yang belum bisa diaskes oleh kawan-kawan difabel.

“Malam ini dijadikan ajang untuk berefleksi bahwa ketidakadilan masih terjadi. Kekerasan masih terjadi di setiap aspek kehidupan. Bahkan di rumah pun mendapat kekerasan,” pungkas Nida ketika berorasi di mimbar bebas.  

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan lan dari Tofan Aditya di BandungBergerak.id, atau menyimak artikel-artikel lain tentang kekerasan terhadap perempuan  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//