• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Skandal Perselingkuhan Mahasiswa dengan Penguasa

MAHASISWA BERSUARA: Skandal Perselingkuhan Mahasiswa dengan Penguasa

Saatnya bersatu untuk mengubah arah gerakan mahasiswa dari permainan kekuasaan politik internal kampus ke perjuangan nyata melawan penindasan terhadap rakyat.

Nur Cholis Al Qodri

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya

Aksi unjuk rasa mahasiswa di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Bandung, 20 Oktober 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

14 Desember 2023


BandungBergerak.id – Akuilah, kampus yang kamu banggakan kini telah surut dalam perjuangannya. Sadarilah, organisasimu yang sering teriak kiri sudah surut dalam pembangkangannya. Seperti melangkah ke dalam labirin tanpa peta, menjadi mahasiswa saat ini membuka pintu menuju penyesalan yang tak terduga. Layaknya memasuki dunia magis yang seharusnya penuh kebenaran dan keadilan, dalam realitas saat ini kampus hanya menjadi panggung di mana mahasiswa lebih sering bermain peran untuk kepentingan pribadi daripada menjadi agen perubahan sosial sesuai doktrin yang berkembang dalam dunia akademisnya.

Melangkah ke dunia perkuliahan, harapan menjadi mahasiswa yang revolusioner, peduli terhadap isu-isu sosial, dan suara bagi yang terpinggirkan sangat berapi-api pada awalnya. Namun, seiring berjalanya waktu, penyesalan mulai muncul setelah melihat sebagian besar mahasiswa lebih fokus pada ego kepentingan pribadi ketimbang menyuarakan permasalahan rakyat. Doktrin "Kita agen perubahan" atau "Kita penyambung lidah rakyat," yang diwariskan oleh senior kampus, nyatanya hanya retorika hipokrit dari mereka yang kehilangan esensi terhadap generasi mahasiswa baru.

Gerakan Mahasiswa

Gerakan mahasiswa merupakan aktivitas kolektif yang dilakukan oleh mahasiswa dengan tujuan mencapai perubahan sosial, politik, atau budaya. Sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, ditandai oleh peran aktif mereka dalam menyuarakan aspirasi dan menentang kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan rakyat.

Selama Orde Baru (1966-1998), mahasiswa menjadi kekuatan oposisi terhadap rezim Soeharto. Puncaknya terjadi pada peristiwa Tragedi Mahasiswa 1998, di mana mahasiswa memainkan peran penting dalam unjuk rasa besar-besaran yang menyebabkan mundurnya Soeharto dari jabatan presiden. Meskipun mahasiswa bukan satu-satunya kelompok yang melengserkan Presiden Soeharto pada masa itu, akan tetapi mahasiswa memainkan peran cukup besar saat itu. Dengan ini mencerminkan peran mahasiswa sebagai agen perubahan sosial dan politik, menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa memiliki dampak signifikan dalam dinamika politik Indonesia.

Gerakan mahasiswa yang peka terhadap rakyat termarginalkan maupun kelompok rentan yang teralienasi, pada hari ini kian meredup dan bertahan dalam fase mati surinya. Mahasiswa yang dulunya menggema melawan ketidakadilan, kini tenggelam dalam arus hedonisme dan apatis. Mereka yang seharusnya menjadi penyeru terhadap nasib rakyat terpinggirkan, kini terperangkap dalam pusaran narsisme dan kepentingan pribadi. Bukan lagi agen perubahan, mereka hanyalah pemeran dalam drama palsu, di mana isu sosial hanya akan mereka angkat saat terasa sexy dan mendapat sorotan publik.

Baca Juga: Mahasiswa Bergerak Menyuarakan Suara Rakyat
MAHASISWA BERSUARA: Siapa itu Mahasiswa?
Aku Tahu maka Aku Bergerak, sebuah Usulan untuk Mematahkan Keterputusan Pengetahuan dalam Gerakan Mahasiswa

Apa yang bisa diharapkan dari gerakan mahasiswa saat ini?

Dengan melencengnya gerakan mahasiswa saat ini, tampaknya label "Agent of change" yang selalu diusung telah menjadi seruan kosong. Senior kampus, baik dari segi organisasi internal maupun eksternal, kini hanya menyajikan retorika basa-basi yang tidak lebih dari sampah di depan para junior kampusnya. Keadaan kampus yang semakin menjadi diktator dan otoriter menambah lamanya mati suri gerakan pada tubuh mahasiswa saat ini.

Kampus yang dijuluki sebagai pilar keilmuan dan perubahan sosial kini menjadi gersang dan sulit bersinar. Program "Kampus Merdeka" dari Kemendikbud, seharusnya jadi wadah kemerdekaan mahasiswa, malah menjadi belenggu yang mengekang kemerdekaan itu sendiri. Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi internal dan eksternal lebih tertarik pada undangan pejabat penindas rakyat daripada menghadiri konsolidasi untuk memperjuangkan reforma agraria atau petani dan pejuang lingkungan yang di kriminalisasi.

Diskusi kritis mengenai penindasan negara terhadap rakyat, di dunia kampus, telah menjadi wujud yang berbeda. Kegiatan kampus kini lebih mengutamakan diskusi "dialog kebangsaan" sebagai upaya melegitimasi kehadiran calon legislatif, calon presiden, atau ketua partai dalam lingkup kampus.

Sebuah era di mana mahasiswa seharusnya menjadi tonggak kebenaran dan keadilan, kini hanya berhadapan dengan kekosongan moral. Gerakan yang seharusnya meruntuhkan batas-batas ketidaksetaraan, sekarang terperangkap dalam jaringan kepentingan individu. Ini bukan lagi gerakan mahasiswa sejati, melainkan kisah kepunahan idealisme, di mana mahasiswa terperangkap dalam lingkaran kebodohan dan kepentingan golongannya. Pasca reformasi, mahasiswa yang dulu selalu bersama masyarakat terpinggirkan, kini lebih suka menjadi pendamping elite partai politik dalam kampanye mereka. Mahasiswa yang dulu sering bersolidaritas dengan turun ke titik konflik, sekarang lebih suka berkumpul di gedung-gedung tempat para tikus berdasi yang berkedok sebagai wakil suara rakyat.

Apa yang dilakukan mahasiswa saat ini?

Dalam kehancuran organisasi mahasiswa saat ini, terlihat jelas bahwa mahasiswa masih terperangkap dalam omong kosong yang mencolok dan elitis, mereka malah sibuk bersaing untuk merebut kursi kekuasaan dalam struktur politik kampus. Keadaan kritis organisasi mahasiswa menunjukkan bahwa mereka tidak hanya sekarat secara organisasional, tetapi juga mengalami penderitaan akibat terputusnya urat vitalitas organisasi mereka.

Selain menghadapi kekacauan, mahasiswa saat ini menderita akibat terputusnya ikatan eksistensial mereka. Rasa haus akan eksistensi terhadap diri dan golongannya menjadi akar hilangnya gagasan dan perdebatan tentang dunia baru yang bebas dari penindasan dan berubah menjadi perdebatan untuk merayu para pemegang kekuasaan. Politik praktis yang telah meresap dalam diri mereka menjadi penyebab penyakit kronis pada tubuh mahasiswa saat ini bertahan lama.

Bertahanlah sedikit lebih lama

Untuk mahasiswa yang masih bertahan dalam upaya menembus batas-batas keteraturan, bersemi dalam gerakan yang melawan, dan menjaga masih menjaga kewarasan, pertahankanlah eksistensimu yang terbuang ini. Bersatulah dengan kaum tertindas dalam kampusmu, jadilah badai yang mengguncangkan fondasi elitisme di kampusmu. Sebagai mahasiswa, saatnya kita bersatu untuk mengubah arah gerakan mahasiswa saat ini. Alihkan fokus dari permainan kekuasaan politik internal kampus ke perjuangan nyata melawan penindasan terhadap rakyat. Pulihkan esensi pergerakan mahasiswa.

Gelora keberanianmu adalah bara yang berkobar di tengah kegelapan konformitas. Rantai solidaritasmu tidak hanya mengikatmu dengan para kawan seperjuangan, melainkan juga menanggung beban ketidakadilan yang kita tolak bersama. Mari kita robohkan dinding-dinding ketidaksetaraan, hancurkan penindasan dengan kreativitas. Kembangkan narasi kebebasan, tanamkan biji-biji pembangkangan dalam kampus, dan bersama-sama kita wujudkan dunia baru yang lebih adil dan merdeka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//