MAHASISWA BERSUARA: Tradisi Lisan Sunda dan Ujaran Kebencian di Media Sosial
Kudu Ngaragap Haté Batur, Nyarita Ulah Ngeunah Éhé Teu Ngeunah Éon artinya kita sebagai manusia harus bisa menghargai dan menjaga perasaan orang lain.
Sheila Anisa Silpia
Mahasiswa Sastra Sunda Universitas Padjadjaran (Unpad)
16 Desember 2023
BandungBergerak.id – Media sosial adalah perangkat digital yang diciptakan untuk komunikasi jarak jauh dan menyediakan fitur berbagi tulisan, foto, video serta aktivitas lainnya melalui jaringan internet. Berbagai macam platform media sosial yang ramai digandrungi masyarakat seperti aplikasi Whatsapp, Instagram, Youtube, Tiktok, Facebook, Gmail, dan lain sebagainya. Di sana masyarakat bisa berkomunikasi antar personal, antar komunitas, berbagi foto, video, dokumen, bahkan berbagi aktivitas keseharian yang cenderung bersifat pribadi.
Media sosial mempermudah manusia dalam berinteraksi tanpa dibatasi waktu dan ruang. Kini dengan adanya media sosial dunia pun terbagi dua yaitu dunia nyata dan dunia maya. Di dunia maya inilah semua orang bisa menjadi siapa pun dan apa pun kapan saja. Bahkan seseorang bisa berbeda dengan kehidupan aslinya di dunia nyata dengan yang ditampilkan di dunia maya atau media sosial.
Media sosial tentunya memiliki sisi positif dan negatifnya. Jika digunakan secara bijak maka media sosial menjadi wadah yang bermanfaat dan menguntungkan untuk manusia. Contohnya memudahkan komunikasi dengan kerabat jauh, membuka bisnis online melalui media sosial, membuka relasi atau hubungan seluas-luasnya dengan orang-orang dari berbagai daerah bahkan berbagai negara.
Namun media sosial juga bisa menjadi jurang menakutkan apabila disalahgunakan pemakainya.
Pada media sosial bukan hanya disediakan komunikasi pribadi antar personal dan komunitas, namun media sosial juga menyediakan fitur like, dislike, share, dan fitur komentar. Di sini pengguna media sosial tidak ada batasan untuk menyukai, tidak menyukai, membagikan, dan melontarkan komentar apa pun terhadap postingan seseorang.
Contoh sisi media sosial yang merugikan adalah tidak adanya batasan pengguna media sosial dalam menghakimi orang yang tidak disukainya melalui fitur dislike, kolom komentar yang bisa dibaca oleh publik, bahkan mengirim pesan secara pribadi untuk menyampaikan ujaran ketidaksukaannya. Hal ini disebut dengan haters atau orang yang tidak menyukai apa yang dibagikan salah satu pengguna sosial entah itu berupa tulisan virtual, foto, video, dan sebagainya.
Para haters biasanya tidak tanggung-tanggung untuk memberikan perkataan yang menyakitkan seperti cemoohan, sindiran, hasutan, hinaan, menyebarkan berita bohong, pencemaran nama baik, provokasi kepada suatu individu atau aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, orientasi seksual, agama, dan lain-lain. Hal ini disebut dengan ujaran kebencian atau dikenal dengan sebutan hate speech.
Hate speech bisa diakibatkan oleh keadaan psikologis dan kejiwaan serta faktor luar individu seperti lingkungan, kurangnya kontrol sosial, kepentingan masyarakat, ketidaktahuan masyarakat, sarana, fasilitas, dan kemajuan teknologi. Contoh hate speech atau ujaran kebencian pada media sosial misal seorang guru terciduk sedang mengonsumsi minuman alkohol lalu para haters menyerang media sosial guru tersebut dengan cemoohan, hasutan, perkataan menjelek-jelekkan yang akan menjadi sanksi sosial lebih berat kepada pelaku daripada sanksi hukum.
Dampak dari hate speech atau ujaran kebencian bisa berakibat fatal kepada korban seperti rasa percaya diri menurun, munculnya rasa malu, overthinking, tertekan, tidak nyaman, marah, sakit hati, bahkan ada kemungkinan korban ingin mengakhiri hidupnya. Dengan dampak hate speech yang mengganggu dan membahayakan korban pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang dan surat edaran tentang ujaran kebencian melalui Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 45 ayat (1) UU ITE dan Surat Edaran (SE) Kapolri nomor SE/6/X/2015.
Baca Juga: Mahasiswa Sastra Sunda dan Kesusastraan Sunda
Sunda Harus Nyunda, Kebaikan untuk Semua
Pergeseran Nama Orang Sunda, dari yang Unik hingga Modis
Tradisi Lisan Sunda
Selain pencegahan melalui hukum ada juga alternatif pencegahan hate speech melalui tradisi lisan dari Sunda yaitu Kudu Ngaragap Haté Batur, Nyarita Ulah Ngeunah Éhé Teu Ngeunah Éon artinya kita sebagai manusia harus bisa menghargai dan menjaga perasaan orang lain, jangan berbicara seenaknya. Dari tradisi lisan sunda tersebut mengajarkan seseorang untuk menjaga etika dan sopan santun dalam berbicara dan mengajarkan untuk menumbuhkan simpati serta empati terhadap orang lain. Bagaimana seseorang bisa bijak dalam berperilaku, berbicara dan bagaimana seseorang merasakan suka duka orang lain; dengan kata lain put your self in someone's shoes yang berarti tempatkan diri Anda pada posisi seseorang.
Kaitan tradisi lisan sunda Kudu Ngaragap Haté Batur, Nyarita Ulah Ngeunah Éhé Teu Ngeunah Éon dengan hate speech adalah bahwa ujaran kebencian bertolak belakang dengan konsep kesantunan berbahasa, sama halnya dengan etika berkomunikasi (Ningrum et al., 2018). Maka dari itu dalam tradisi lisan tersebut berbicara sebaiknya tidak seenaknya atau bisa dengan bebas mengucap apa saja pada orang lain tanpa memperhatikan keadaan orang tersebut apakah baik-baik saja atau tidak.
Hate speech dapat mengganggu mental seseorang dan termasuk pada kekerasan verbal. Perilaku hate speech tidak selaras dengan nilai budaya di Indonesia, dan bijak-bijaklah dalam berkata baik melalui media sosial maupun media nyata.
Tradisi lisan tersebut juga mengajak masyarakat untuk menumbuhkan kebijakan berperilaku , berbicara, dan menumbuhkan rasa empati pada diri agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Karena menjaga perkataan dan hati lebih baik daripada membiarkan mulut tajam seperti pisau yang siap menikam orang. Ketika tradisi lisan tersebut diimplementasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari maka ujaran kebencian atau hate speech akan dapat diminimalisir karena kepedulian akan perasaan orang lain.