• Berita
  • Membangun Smart City: Mengelola Infrastruktur, Transportasi, hingga Sampah Makanan

Membangun Smart City: Mengelola Infrastruktur, Transportasi, hingga Sampah Makanan

Teknologi dan inovasi memainkan peran vital dalam pengembangan smart city. Dibutuhkan kesatuan sistem yang padu.

Suasana International Workshop for Smart Cities and Circular Green Economy di Auditorium IPTEKS ITB, Rabu,13 Desember 2023. Peserta menengarkan pemaparan Dr.-Ing. Ali Bawono, B.Sc., M.Sc., Ph.D., PMP. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya15 Desember 2023


BandungBergerak.id – Peningkatan populasi di wilayah urban berdampak kepada peningkatan kebutuhan energi dan air serta membludaknya produksi sampah. Akibatnya, wilayah perkotaan terancam masalah lingkungan dan bencana. Merespons kondisi tersebut, pengembangan smart city tengah menjadi perbincangan hangat di beberapa negara di dunia.

Dalam pengembangan smart city, teknologi dan inovasi memainkan peran vital. Topik tersebutlah yang dibahas dalam International Workshop for Smart Cities and Circular Green Economy pada Rabu,13 Desember 2023. Bertempat di Auditorium IPTEKS ITB, SCCIC dan ICESCO mengundang beberapa akademisi dunia untuk membahas teknologi dan inovasi dalam pembangunan smart city dan ekonomi sirkular.

“Ketika kita bicara soal suistainable city, kita sudah berbicara masalah ekosistem. Jadi kita harus berpikir masalah transportasinya, kita harus bicara soal bangunannya, kita harus bicara soal energinya,” terang Dr.-Ing. Ali Bawono, B.Sc., M.Sc., Ph.D., PMP., dalam pemaparannya.

“Seringkali enginering-enginering ini desain sesuatu tidak berpikir ada manusia di baliknya yang menggunakan.”

Menurut peneliti senior dari Technical University of Munich Asia tersebut, kita masih punya pekerjaan rumah besar dalam meningkatkan efisiensi di semua aspek, termasuk infrastruktur, transportasi, makanan, dan sebagainya. Dalam pembangunan infrastruktur, sejak dalam tataran konsep, pemerintah dan industri harus membuat perencanaan dalam pemilihan bahan baku yang ramah lingkungan dan bisa didaur ulang yang mampu membuat bangunan memiliki umur panjang.

Selain dalam segi infrastruktur, peneliti yang merupakan lulusan ITB tersebut juga menyoroti masalah transportasi. Baginya, berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi umum adalah contoh bagus dalam penerapan transportasi berkelanjutan. Melihat studi kasus di Singapura, dirinya bahkan berani menyatakan bahwa penggunaan transportasi pribadi bukan merupakan indikator kesuksesan dari seseorang.

“Dan ternyata setelah saya ke Jerman, setelah saya tinggal di Singapore, terus menemui banyak orang-orang sukses, jadi owning private vehicles itu nggak berkolarasi dengan success atau wealth itu,” lanjut peneliti yang menyelesaikan magister di bidang sistem transportasi tersebut. “Karena yang penting adalah mobility-nya.”

Lebih jauh, Ali juga mengatakan bahwa masalah terbesar di wilayah perkotaan adalah makanan dan sampah. Kembali mengambil contoh dari Singapura, dari total 813.000 ton sampah makanan, baru sekitar 146.000 ton atau 18 persen yang berhasil di daur ulang. Di tataran produsen, kampanye Love Your Food digaungkan untuk menekan sampah makanan dari sumbernya: retail, supermarket, dan pabrik makanan. Selain itu, di tataran konsumen, kampanye Clean Plate juga dilangsungkan.

Baca Juga: Demam Istilah Smart City Dilihat dari Masalah Cekungan Bandung
Klaim Smart City Kota Bandung tak Membekas pada Transportasi Publik
Meningkatkan Kualitas Hidup dengan Smart City

Manajemen Rantai Pasok

Apa yang disampaikan Ali kemudian diteruskan oleh Dr. Yuanita Handayati, M.S.M. Dosen di Sekolah Bisnis Manajemen ITB ini mengungkapkan bahwa dalam perancangan smart city dan ekonomi sirkular berbasis teknologi butuh sistem yang holistik, mulai dari resourcing, manufacturing, distribution, dan consumtion. Tujuannya adalah agar bisa reuse atau jika tidak mungkin dapat melakukan remanufacture atau repurpose.

Menurut data yang didapatkan Yuanita, Indonesia adalah produsen terbesar food waste, sebanyak lebih dari 40 persen. Mirisnya, angka tersebut justru kontradiktif dengan angka anak-anak stunting yang masih tinggi. Satu konsep yang ditawarkan Yuanita adalah manajemen rantai pasok.

Yuanita memberi contoh dengan memaparkan praktik baik yang dia temukan. Dirinya menemukan satu konsep menarik: sampah-sampah makanan yang sangat menumpuk dari industri dikumpulkan dan dijadikan pupuk organik. Sayangnya, praktik baik ini belum optimal. Yuanita memaparkan bahwa konsep yang dirinya masih terbilang mahal dan belum cocok dengan keinginan pasar.

“Ketika ia collect si organic waste, ini tuh gaada insensif dari pemerintah gitu yah. Bahkan dia tuh harus mengeluarkan uang dari koceknya sendiri untuk membeli sampah-sampah tersebut. Efeknya adalah tingginya biaya distribusi,” terang Yuanita menjelaskan salah satu tantangan yang dihadapi dalam contoh yang dia paparkan.

Selain Ali dan Yuanita, adapun pemaparan terkait teknologi dan inovasi dalam mewujudkan ekonomi sirkular oleh Arvind Easwaran, Ph.D., Associate Professor dari Nanyang Technological University dan Dr. Fadhil Hidayat, S.Kom., M.T., Peneliti dari SCCIC ITB. Arvind memaparkan tentang penghematan energi dalam penggunaan mobil listrik sementara Fadhil memaparkan tentang penggunaan tata kelola kota berbasi Internet of Things (IoT).

Lokakarya tersebut adalah sesi penutup dari rangkaian “Technology and Innovation for Smart and Circular Economy”. Pada hari Kamis (14 Desember 2023), ada kunjungan ke Bandung Living Labs yang berlokasi di Bandung Command Center.

* Artikel ini merupakan bagian kerja sama BandungBergerak.id dengan Pusat Inovasi Kota dan Komunitas Cerdas (PIKKC) ITB bersama Islamic World Educational, Scientific and Cultural Organization (ICESCO) Maroko.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//