• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Menimbang Efektivitas Komunikasi Politik Indonesia

MAHASISWA BERSUARA: Menimbang Efektivitas Komunikasi Politik Indonesia

Media sosial sebagai media komunikasi politik pasca reformasi tidak dapat sepenuhnya dimanfaatkan menyuarakan kepentingan politik.

William Danny Koswara

Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Warga mengakses berita tentang penundaan Pemilu 2024 di Bandung, Senin (28/2/2022). Sejumlah tokoh politik dan organisasi masyarakat sipil menolak wacana penundaan Pemilu 2024. Usul penundaan ini sebelumnya digagas oleh Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum PAB Zulkifli Hasan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

20 Desember 2023


BandungBergerak.id – Seorang politisi yang hendak menduduki kursi pemerintahan dapat menyampaikan tujuan politiknya melalui beragam model komunikasi politik. Tidak ada kesamaan model komunikasi secara pasti di antara setiap politisi karena di atas panggung politik mereka berasal dari partai-partai yang berbeda. Model komunikasi politik di Indonesia ditandai dengan jarak, seolah ingin menonjolkan diri sendiri (Lely Arianne, 2022). Interaksi simbolik dalam panggung politik yang menciptakan jarak tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan subjektif para politisi untuk berpolitik. Beragam motif pribadi menyebabkan permasalahan dalam penyampaian pesan politik Indonesia. Alhasil, tujuan yang hendak dipahami masyarakat melalui metode komunikasi politisi menjadi tidak jelas.

Setiap partai dalam panggung politik memiliki sejumlah anggota politisi untuk mengutamakan visi misi partai, akan tetapi komunikator dari partai perwakilannya sering kali tidak mampu menyampaikan pesan politik partainya. Krisis identitas menjadi salah satu masalah utama dalam penyampaian pesan politik. Tidak ada model yang khusus untuk membedakan warna-warni karakter partai politik.

Dalam realitas kehidupan yang terjadi, tidak ada model komunikasi politik khusus yang melambangkan ciri khas partai politik, sehingga gagal direpresentasikan. Kondisi tersebut membuat komunikasi politik ditafsirkan secara pribadi oleh para politisi dengan memanifestasikan perasaan dan motif individu, dampaknya komunikasi politik dalam panggung politik sangat abstrak, memusat, tidak efektif dan tidak berkaitan. Fenomena dalam panggung politik tersebut melunturkan efektivitas komunikasi politik di Indonesia, terutama pasca reformasi.

Baca Juga: Mempertanyakan Keberadaan Para Artis di Panggung Politik
Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024
Dilema Demokrasi dan Menilik Peran Partai Politik

Komunikasi Politik Pasca Reformasi

Dua tujuan utama tujuan komunikasi politik pasca reformasi yang tampak dalam muka publik adalah membentuk pencitraan politik dan memenangkan pemilu. Pencitraan politik sangat dinamis dan butuh proses yang lama karena dibentuk melalui pendidikan politik secara formal maupun peristiwa empirik (pengalaman). Citra politik mengandung berbagai aspek, antara lain: (1) kognitif politik yang benar dan keliru; (2) afeksi terhadap peristiwa politik yang menarik; (3) Konasi yang dimiliki individu tentang suatu peristiwa dengan memperlakukan  objek dalam situasi tersebut secara berbeda-beda, menyesuaikan kognitif dan afeksi politik individu (Lely Arianne, 2022).

Citra politik yang dibentuk melalui sosialisasi politik, mengembangkan kepercayaan, nilai, dan pengharapan yang relevan dengan politik  tujuan lainnya adalah mendapatkan suara dalam kompetisi dan kampanye ketika pemilu. Maka dari itu, setiap partai politik harus menciptakan strategi pencitraan yang tepat karena dalam pemilu suara masyarakat adalah salah satu pendukung terbesar, di sisi lain masyarakat merupakan penilai pesan politik yang aktif. Masyarakat akan memerhatikan dan ingin mengetahui perkembangan dari suatu partai politik, sehingga secara konsisten masyarakat menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan politik mereka melalui nilai dan esensi dari komunikasi politik partai.

“Tidak ada musuh dan kawan politik yang abadi, hanya kepentingan politik yang abadi”. Semboyan tersebut sangat identik dengan strategi komunikasi politik yang diterapkan oleh calon presiden dan wakil presiden tahun 2024 yaitu pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rangkabuming Rangka. Pasangan capres dan cawapres 2024 tersebut membentuk kekuatan dengan mengikuti tren abad ke-21 secara memahami keinginan khalayak dan merancang pesan persuasif yang berhasil memenangkan suara muda-mudi di media sosial.

Strategi yang berbeda dan bertolak belakang dengan cara komunikasi politik melalui media cetak, pasangan ini mampu mengenali dan terjun ke dalam wadah sosial yang digunakan oleh mayoritas anak muda Indonesia, sehingga nama pasangan tersebut menjadi buah bibir masyarakat dengan ciri khas “gemoy”. Strategi komunikasi politik dengan memanfaatkan desain komunikasi visual dalam komunikasi politik merupakan upaya yang berhasil menciptakan identifikasi khas terhadap publik dan strategi ini menyesuaikan perkembangan zaman.

Tantangan Komunikasi Politik Pasca Reformasi

Setelah zaman reformasi, kekuasaan media massa kembali dipegang oleh rakyat, namun terkhusus media politik kontrol tetap dikendalikan oleh para politikus Indonesia. Media massa memusatkan atensi pada suatu isu, mengonstruksi citra publik dari figur-figur tertentu (Kurt Lang & Gladys Angel Lang,1959) dan mampu mencapai masyarakat secara luas yang heterogen. Salah satu media massa pasca reformasi yang banyak dimanfaatkan untuk tujuan penyampaian pesan politik adalah media sosial yang terikat oleh regulasi terlebih lagi UU ITE.

Media sosial sering dimanfaatkan oleh pihak tidak berwenang dengan menggiring opini publik yang menciptakan berbagai perspektif penilaian dan spekulasi terhadap para politisi sehingga menciptakan forum dunia maya yang saling dukung mendukung juga menjatuhkan satu kandidat dengan kandidat lain hanya berdasarkan pengetahuan pribadi yang didapatkan dari unggahan tak terbatas di media sosial. Permasalahan tersebut secara langsung menunjukkan bahwa media sosial sebagai pengantar komunikasi politik pasca reformasi tidak dapat secara penuh dimanfaatkan untuk menyuarakan kepentingan politik, oleh sebab itu media sosial gagal mendistribusikan pesan politik.

Media sosial yang dapat diakses oleh berbagai kalangan masyarakat, terlebih lagi kaum muda-mudi yang belum memahami politik menjadi sebuah tantangan baru pasca reformasi untuk menyikapi pelbagai isu-isu politik yang tersebar bebas di media sosial. Tantangan tersebut dikarenakan minimnya pengetahuan dan pengalaman yang menyebabkan muda-mudi lebih mudah terbawa arus pengaruh media massa dan media sosial, pun dinilai belum bijak memilah informasi politik dengan pertimbangan yang tegas. Namun di sisi lain, kaum muda-mudi di Indonesia diharapkan mampu berkaca dari pengalaman politik terdahulu, mengembangkan cara penyampaian komunikasi politik yang benar, ikut berpartisipasi dalam mengantarkan tujuan pesan politik dan tetap bersikap transparan terhadap perbedaan kepentingan politik supaya tidak menciptakan konflik politik. Apabila terdapat perbedaan kepentingan politik, upaya yang dapat dilakukan oleh generasi Z sebagai penerus tonggak politik Indonesia adalah melakukan konsensus, namun dengan harapan bahwa konsensus tidak memihak dan bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Perbedaan cara penyampaian pesan politik di Indonesia bukanlah penghalang dan pemecah para politisi untuk menyampaikan berbagai aspirasi politiknya. Tujuan politik harus berdampingan dengan perencanaan strategi politik yang tepat terlebih lagi diharapkan dinamis mengikuti perkembangan zaman, supaya tujuan politik dapat mudah dipahami oleh masyarakat Indonesia.

Media sosial sebagai salah satu media komunikasi politik dianggap gagal menyampaikan pesan politik karena campur tangan pihak tidak berwenang dalam forum sosial yang tidak formal, menciptakan perpecahan dan persepsi politik yang beragam. Salah satu imbas dari gagalnya media komunikasi politik dalam menyampaikan pesan politik adalah keterlibatan kaum muda-mudi yang berpendapat sesuai dengan pengetahuan seadanya dan terbawa pengaruh media massa yang lebih condong memihak dan tidak mengedukasi masalah politik. Dengan demikian, kaum muda-mudi terlebih lagi Generasi Z diharapkan mampu menciptakan kondisi politik yang netral, berorientasi pada kepentingan umum dan mampu mengikuti perkembangan zaman sebagai strategi keberhasilan komunikasi politik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//