• Berita
  • Tergusur Infrastruktur di Jawa Barat, Lingkungan dan Rakyat Kecil Dikesampingkan

Tergusur Infrastruktur di Jawa Barat, Lingkungan dan Rakyat Kecil Dikesampingkan

Pembangunan proyek strategis nasional di Jawa Barat kurang memperhatikan dampak negatif pada lingkungan dan rakyat kecil.

Gerbang Kampung Pasir Salam di bawah High Speed Railway Tunnel 8 yang menerobos bukit. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergeark.id)

Penulis Virliya Putricantika22 Desember 2023


BandungBergerak.id - Pembangunan infrastruktur di Jawa Barat tak sedikit menuai dampak merugikan bagi warga. Mulai dari hilangnya mata air, tergusurnya lahan sawah, sampai proyek panas bumi yang dilakukan secara “sembunyi-sembunyi”. Penghormatan pada alam, kearifan lokal, dan hak-hak masyarakat kecil menurun drastis.

“Di tengah orang ber-euforia menggunakan kereta cepat, kereta yang bisa mempersingkat jarak Bandung - Jakarta, mempermudah segala kepentingan, tapi di sisi lain ketika melintasi lintasan itu, banyak sekali mata air yang hilang,” cerita Bambang Arifianto (38 tahun), jurnalis Pikiran Rakyat, dalam diskusi “Tergusur Infrastruktur” di Gedung Pascasarjana Unpar, Bandung, Kamis, 21 Desember 2023.

Bambang, salah satu jurnalis yang terlibat dalam liputan kolaborasi antara BandungBergerak.id, LBH Bandung, dan Kurawal Fondation bersama jurnalis lokal lainnya, menelusuri mata air yang hilang di Kabupaten Bandung Barat selama tiga bulan lamanya.

Beberapa lokasi mata air yang hilang, tidak tercantum dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang dikeluarkan tahun 2016. Hanya tiga mata air yang dimuat dalam AMDAL pembangunan KCJB.

Suasana diskusi Tergusur Infrastruktur di Gedung Pasca Sarjana Unpar, Bandung, Kamis, 21 Desember 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Suasana diskusi Tergusur Infrastruktur di Gedung Pasca Sarjana Unpar, Bandung, Kamis, 21 Desember 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Kereta cepat, proyek yang sudah bergaung sejak tahun 2011 nyatanya tidak menganalisa dampak lingkungan dengan baik. Pola hilangnya mata air dengan mudah ditandai. Mereka hilang setelah dibangunnya tunnel atau terowongan untuk jalur KCJB.

Sebelum berdiri jalur kereta cepat, warga sekitar biasa mendapatkan air di lingkungan sekitar secara cuma-cuma. Sekarang dengan hilangnya mata-mata air warga mengalami kesulitan, air pun menjadi komoditas.

Air yang tadinya gratis berubah menjadi kebutuhan hidup yang diperjualbelikan dan menguntungkan pihak tertentu saja.

Permasalahan air yang disebabkan Proyek Strategi Nasional (PSN) tidak hanya terjadi di KCJB, tapi juga terjadi di pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP geothermal). PLTP geothermal ini sebelumnya pernah dibicarakan dalam dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali tahun 2022 dengan dibungkus isu transisi energi bersih terbarukan.

Di Jawa Barat, Gunung Gede Pangrango menjadi salah satu gunung yang sudah “dilelang” untuk dibangun PLTP geothermal sejak tahun 2010. Proyek ini kemudian digarap PT. Daya Mas Energi, anak perusahaan Sinar Mas.

Warga sekitar tidak dilibatkan dalam rencana pembangunan PLTP. Warga dianggap tidak perlu mengetahui proses pengembangan yang dilakukan perusahaan di wilayah hidup mereka.

“Ada seseorang yang mengaku dari BMKG ngomong kalau gunung ini (Gede Pangrango) uapnya harus diambil, biar ga meletus,” tutur Rinaldi Fitra (27 tahun), jurnalis lainnya yang turut terlibat dalam kolaborasi ini, dari Trimurti.id, menirukan cerita warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Gunung Gede Pangrango (AMGGP).

Baca Juga: Menengok Warga Terdampak Pembangunan Kereta Cepat di Purwakarta
Bandara Kertajati masih Dihinggapi Sepi, Warga Berharap ada Banyak Moda Transportasi
Yang Ditinggalkan Kereta Cepat

Bambang Arifianto (kiri) dan Rinaldi Fitra (kanan) dalam diskusi Tergusur Infrastruktur di Gedung Pascasarjana Unpar, Bandung, Kamis, 21 Desember 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Bambang Arifianto (kiri) dan Rinaldi Fitra (kanan) dalam diskusi Tergusur Infrastruktur di Gedung Pascasarjana Unpar, Bandung, Kamis, 21 Desember 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Persoalan Infrastruktur

Penggusuran demi pembangunan infrastruktur berkategori Proyek Strategi Nasional (PSN) dapat dengan mudah dilakukan. Terlebih dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2021 yang mengatur kemudahan perizinan sampai pengadaan.

Namun, pembangunan proyek strategis nasional tersebut tidak selaras dengan alam atau kearifan lokal. Jawa Barat dikenal dengan nilai-nilai filosofi yang selaras dengan alam yang disebut giri harja yang bermakna siapa pun harus menjaga keberadan gunung atau hutan yang ada di wilayah tersebut.

Dalam praktiknya, perusahaan maupun pemerintah sering mengesampingkan pelibatan masyarakat atau bahkan warga adat yang lebih memahami nilai-nilai kearifan lokal dan alamnya.

“Biasanya mereka (masyarakat adat) menghayati unsur-unsur filosofis tadi, kesatuan dengan air, dengan udara, dengan tanah,” jelas Alfonsus Sutarno, dosen filsafat dari Universitas katolik Parahyangan (Unpar).

Pembangunan yang dilakukan di Jawa Barat seperti Waduk Jatigede, Bandara Kertajati, geothermal, dan Kereta Cepat Jakarta Bandung satu sama lain saling berkaitan, yaitu mengedepankan kepentingan ekonomi menjadi tujuan utama dan pada akhirnya berdampak mengesampingkan kepentingan lingkungan dan masyarakat kecil.

Pembebasan lahan yang terjadi tidak pernah mendatangkan keuntungan, sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) Keuangan Nomor 21 tahun 2017. Belum selesai dengan kerugian, masyarakat harus mencari mata pencaharian alternatif untuk bertahan.

“Ukuran-ukuran analisa tadi (AMDAL) hanya di atas kertas, tapi tidak benar-benar diperhitungkan bahwa itu berdampak pada masyarakat,” ungkap Lasma Natalia, Direktur LBH Bandung.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Virliya Putricantikaatau artikel lain tentang Proyek Strategis Nasional

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//