• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Negara Lain Menghukum Koruptor?

MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Negara Lain Menghukum Koruptor?

Jepang tidak mempunyai lembaga khusus seperti KPK di Indonesia untuk penanganan pemberantasan korupsi di negara tersebut.

Pitri Nurhajizah

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Seorang warga berdiri di depan Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1A Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jalan R.E. Martadinata, Citarum, Kota Bandung, Selasa (12/7/2022). (Foto Ilustrasi: Choerul Nurahman/BandungBergerak.id)

25 Desember 2023


BandungBergerak.id –  Negara Jepang yang dijuluki negeri sakura ataupun matahari terbit yang termasuk dalam golongan enam negara maju, negara tersebut meninggalkan negara-negara lainnya di benua Asia yang kebanyakan merupakan kelompok negara berkembang. Pada bidang perekonomian Jepang masuk yang terbesar setelah Amerika dan China di dunia. Negara Jepang sangat terkenal akan minimnya kasus korupsi.

Survei Transparancy Internasional menempatkan Jepang menduduki peringkat ke-20 dari 180 negara yang menjadi negara terbersih dari tindak korupsi, di dunia Jepang menempati dengan peringkat 73 dari 100. Jepang misalnya meraih poin 27 pada sektor publik untuk indeks persepsi korupsi, negara tersebut menempati peringkat ke-19 dan itu jauh lebih baik dari Amerika Serikat yang menempati posisi 24 di antara negara-negara di dunia.

Di Indonesia seperti berbanding terbalik. Tingginya kasus korupsi di Indonesia menjadi masalah besar yang perlu ditindak dengan serius. Pada periode 2023 saja Komisi Pemberantasan Korupsi menerima laporan dugaan tindak korupsi sebanyak 2.707; termasuk jumlah yang tinggi. Korupsi sendiri merupakan perbuatan buruk yang mempunyai dampak yang sangat besar bagi perekonomian nasional, meningkatkan kemiskinan, ketimpangan sosial, serta merusak mental dan budaya bangsa. Jika tidak ditindak secara benar dan tegas akan menyebabkan budaya korupsi.

Di Indonesia sendiri saat ini masih banyak sekali pejabat yang melakukan tindakan korupsi dan berlomba-lomba untuk memperkaya dirinya sendiri dengan kekayaan hasil dari korupsi, dan apakah sanksi yang diterapkan di Indonesia tidak membuat pejabat jera atau pun takut dalam melakukan tindak pidana korupsi?

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Indeks Persepsi Korupsi dan Politik Demokrasi Indonesia yang Terkartelisasi
MENCATAT BANDUNG: Korupsi di Jantung Smart City
MAHASISWA BERSUARA: Korupsi dan Kejahatan Internasional di Balik Perdagangan Satwa Dilindungi

Penanganan dan Sanksi Tindak Korupsi di Indonesia

Kasus korupsi di Indonesia ditangani oleh lembaga khusus yaitu KPK dan Indonesia mempunyai Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang di dalamnya mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam UU Tipikor Pasal 603 misalnya mengatur hukuman bagi pelaku korupsi yakni pidana penjara seumur hidup atau sesingkatnya 2 tahun penjara dan paling lama 20 tahun.

Namun pada kenyataannya sanksi yang diberlakukan untuk orang yang melakukan tindak pidana korupsi selalu tidak sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang tersebut. Bahkan ada kesan KPK kurang tegas dalam menangani kasus korupsi melibatkan pejabat. Penanganan tindak pidana korupsi yang terkesan kurang terbuka menyebabkan masyarakat kurang percaya dengan penanganan tindak korupsi di Indonesia.

Sistem hukum di Indonesia masih sangat lemah menghadapi kasus tindak pidana korupsi, bahkan sanksi hukum tidak ditegakkan dengan benar sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Para penegak hukum bisa dengan mudah disuap agar hukuman yang didapatkan pelaku kejahatan korupsi bisa lebih ringan dan mendapatkan fasilitas yang baik di dalam penjara, bahkan pejabat yang melakukan tindak korupsi diperlakukan berbeda dengan tahanan lain. Permasalahan dari tingginya tindak korupsi itu sendiri ada pada penegakan hukum.

Data Indonesia Corruption Watch  (ICW) pada tahun 2022 menunjukkan jumlah kasus tindak pidana korupsi meningkat sebanyak 8,63% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada berbagai kasus ada 1.396 orang yang terbukti kasus pidana korupsi, jumlahnya naik menjadi 19,01% jika dibandingkan dengan tahun 2021 yang hanya sebanyak 1.173 tersangka yang terbukti. Kasus korupsi pun paling banyak terjadi di sektor desa yaitu 155 kasus pada 2022 atau setara dengan 26,77% jika dilihat dari semua total kasus korupsi yang telah ditangani oleh penegak hukum pada tahun 2022.

Jepang tidak mempunyai lembaga khusus seperti KPK di Indonesia untuk penanganan pemberantasan korupsi di negara tersebut. Di Jepang penanganan kasus korupsi dilakukan oleh anggota kepolisian, kasusnya kemudian diserahkan kepada kejaksaan untuk masuk dalam tahap penuntutan, kemudian berlanjut ke pengadilan yang juga bukan lembaga peradilan khusus tapi dilakukan di peradilan umum. Berdasarkan data yang didapatkan dari lembaga    Transparency International pada jangka waktu 2003-2017 Indeks persentase korupsi tidak mencapai lebih dari 30 poin, dan termasuk pada rendah.

Di Jepang, korupsi dianggap sebagai kejahatan pidana biasa dan berlaku dalam undang-undang yang bersifat umum, tidak memiliki undang-undang khusus yang mengatur kejahatan tindak korupsi. Hukuman yang diberikan pun cukup ringan yaitu maksimal 7 tahun kurungan penjara atau menyesuaikan sesuai dengan besar atau kecilnya korupsi yang dilakukan. Akan tetapi khusus untuk hukuman bagi koruptor di Jepang bukan hanya sanksi hukum, negara tersebut mengimplementasikan sanksi sosial yaitu dengan mengucilkan para pelaku tindak korupsi dari masyarakat serta memberi kesan sebagai orang yang tidak memiliki rasa malu. Hukuman sosial yang diberlakukan tersebut memiliki dampak yang sangat besar kepada pelaku tindak korupsi dan kebanyakan pelakunya bunuh diri akibat tekanan sosial yang didapat karena rasa malu yang berlebihan.

Belajar dari Jepang

Jepang memiliki sistem informasi khusus untuk keuangan negara yang akan dimuat di media- media online (The Japan Institute For Labour Policy and Training, 2018). Laporan keuangan tersebut di perbaharui pada setiap satu bulan sekali baik itu pemasukan atau pengeluaran negara secara detail, jadi warga masyarakat pun bisa ikut mengawasi dan bisa langsung melaporkan jika terjadi tindakan atau pun penggelapan dana negara yang dilakukan oleh pejabat. Seperti contoh di negara Jepang kita juga bisa melakukan pencegahan dengan melakukan pengawasan kepada para pejabat dan membuat sistem informasi khusus yang bisa di akses oleh semua kalangan masyarakat yang  di dalamnya berisi laporan pemasukan dan pengeluaran negara. Masyarakat Indonesia harus peka terhadap teknologi pada massa sekarang agar bisa bersama-sama mengawasi pemerintahan di negara Indonesia ini.

Jika diamati kenapa di jepang yang memiliki sanksi hukum yang cukup ringan dan tidak mempunyai aturan khusus mengenai tindak pidana korupsi, justru kasus yang terjadi di negaranya sangat minim berbanding terbalik dengan negara Indonesia yang memiliki aturan yang khusus pada UUD dan memiliki lembaga khusus untuk menangani tindak korupsi yaitu KPK bahkan sanksi yang diberlakukan pun cukup berat. Ternyata permasalahan yang paling utama itu adalah proses penegakan sanksi hukum itu sendiri dan juga kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing negara. Di Jepang terdapat budaya malu, itulah yang menyebabkan kenapa kasus korupsi di negaranya sangat sedikit karena dengan budaya malu masyarakat Jepang akan menanggung tekanan dari masyarakat sekitar dan dianggap melakukan tindakan tercela, kriminal pidana. Sementara di Indonesia sendiri banyak sekali pejabat negara yang tidak tahu malu dalam melakukan tindak korupsi bahkan merasa benar dan memperoleh lebih banyak lagi agar kekuasaan semakin tinggi dan semua bisa dilakukan dengan apa pun termasuk uang.

Menjunjung kejujuran yang tinggi serta disiplin dalam segala hal. Pada masyarakat Jepang menjaga kepercayaan orang lain merupakan hal yang lebih penting dari apa pun sehingga agar kepercayaan itu terjaga mereka tidak akan berbuat korupsi yang akan merusak citra mereka. Faktor yang paling mempengaruhi jepang dalam menangani kasus korupsi adalah masyarakat Jepang itu sendiri dengan semua budaya yang dimilikinya mulai dari budaya malu dan kejujuran pada strategi ini Jepang berhasil mengedepankan pencegahan daripada penanganan.

Negara kita harus belajar dari Jepang untuk penanganan tindak korupsi. Dalam penegakan sanksi yang diberlakukan perlu penguatan aparat dalam menindak secara tegas pelaku korupsi. Pemerintah maupun masyarakat harus ikut peduli dengan maraknya korupsi yang terjadi di negeri ini. Seperti negara Jepang yang mempunyai budaya malu untuk orang yang melakukan tindak korupsi seperti dikucilkan ataupun di anggap tidak bisa dipercaya dan mendapatkan tekanan sosial dari masyarakat sekitar, maka pelaku akan merasa enggan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Pelaku tindak korupsi harusnya di perlakukan sama seperti tahanan lain dan mendapatkan penjara sesuai sanksi hukum yang berlaku bukan mendapatkan perlakuan berbeda saat masuk penjara. Yudisial dinegara Indonesia tidak boleh di interpretasi oleh pihak mana pun saat mengadili tindak pidana korupsi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//