• Narasi
  • Trias Politika dalam Naskah Kuno Sunda

Trias Politika dalam Naskah Kuno Sunda

Naskah kuno Sunda menguraikan konsep pembagian kekuasaan ala trias politika di tatar Sunda yang bernama Tri Tangtu di Buana.

Rifkia Ali

Alumnus Sastra Sunda Universitas Padjadjaran dan Co Founder Bandoeng Waktoe Itoe.

Mengenal aksara Sunda langkah awal mengaji manuskrip kuno nusantara. Akan sulit memahami isi manuskrip tanpa memahami huruf-huruf Sunda. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

27 Desember 2023


BandungBergerak.id – Konsep trias politika pertama kali dikemukakan oleh John Locke, seorang filsuf asal Inggris, dalam bukunya yang berjudul "Two Treatises of Government" yang diterbitkan pada tahun 1689. Locke berpendapat bahwa kekuasaan negara harus dipisahkan menjadi tiga cabang, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya tirani, yaitu kekuasaan yang tidak terbatas dan tidak bertanggung jawab. Pikiran Locke tentang trias politika kemudian dikembangkan oleh Montesquieu, seorang filsuf asal Prancis, dalam bukunya yang berjudul "L'Esprit des Lois" yang diterbitkan pada tahun 1748. Montesquieu berpendapat bahwa ketiga cabang kekuasaan tersebut harus memiliki kekuasaan yang independen dan saling mengimbangi. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan.

Pemikiran Montesquieu tentang trias politika sangat berpengaruh terhadap perkembangan sistem pemerintahan di dunia. Banyak negara yang mengadopsi sistem pemerintahan yang didasarkan pada konsep trias politika . Pembagian kekuasaan dalam trias politica adalah sebagai berikut: (1) Lembaga Eksekutif, yaitu lembaga yang bertugas menjalankan pemerintahan. Contoh, Presiden dan Wakil Presiden. (2) Lembaga Legislatif, yaitu lembaga yang bertugas untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Contoh, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah. (3) Lembaga Yudikatif, yaitu lembaga yang mengadali dan memutuskan suatu perkara. Contoh, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial.

Indonesia sendiri saat ini masih memakai sistem trias politika. Dengan memakai sistem ini kekuasaan dibagi-bagi tugasnya, agar tak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Trias politika memungkinkan adanya keseimbangan antara tiga lembaga kekuasaan, sesuai dengan tugasnya.

Namun tahukah jika, sistem trias politika sudah digunakan oleh masyarakat Sunda sejak lama? Bahkan jauh sebelum John Locke Montesquieu mengemukakan konsep ini hingga dikenal dan diadopsi oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.

Baca Juga: Sunda Harus Nyunda, Kebaikan untuk Semua
Mahasiswa Sastra Sunda dan Kesusastraan Sunda
Pergeseran Nama Orang Sunda, dari yang Unik hingga Modis

Trias Politika dalam Masyarakat Sunda

Konsep ini dikenal dengan nama Tri tangtu di Buana, memiliki makna tiga golongan yang menentukan roda kekuasaan di dunia. Tri Tangtu di Buana sudah disebut dalam naskah Fragmen Carita Parahyangan. Sebenarnya naskah ini menjadi dua bagian terpisah yang disebut juga naskah Carita Parahyangan. yang ditulis sejak Abad ke 16 atau para pengkaji sejarah sepakat bahwa naskah Carita Parahyangan ditulis pada tahun 1580 Masehi

Istilah Tri tangtu di buana, dapat dijumpai dalam naskah Fragmen Carita Parahyangan bagian 5b. Tertulis bahwa, Sang prebu harus ngagurat Batu. Yang berarti seorang Prebu harus memiliki sikap teguh dalam mejalankan aturan.

Ada pula Rama disebutkan dalam naskah ini Rama harus Ngagurat lemah, yang berarti seorang yang bertugas sebagai Rama harus menggores tanah, hal ini memiliki makna adalah bahwa Rama harus menentukan aturan bagi pelaksanaan pemerintahan.

Terakhir adalah Resi yang harus mempunyai watak Ngagurat Cai yang dalam bahasa Indonesia artinya menggores air. Itu artinya seorang yang bertugas sebagai Rama, harus memiliki sikap menyejukkan dan berkeadilan dalam penyelesaian masalah.

Selain ditemukan dalam naskah Fragmen Carita Parahyangan, Istilah serupa ditemui di temui dalam naskah Siksakandang Karèsian yang berasal dari Galuh (salah satu ibu kota Kerajaan Sunda). Naskah ini menggunakan aksara Sunda Kuno yang ditulis tahun 1518 Masehi.

ujar sang sadu basana mahayu drebyana. Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pina/h/ka prebu, sabda kita pina/h/ka rama. h(e)dap kita pina/hka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na.”(Ini nasihat sang budiman waktu menyentosakan pribadinya. Inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucapan kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tiga ketentuan yang berlaku di dunia, tritangtu ini disebut peneguh dunia).

Dua naskah ini mendeskripsikan gambaran pemimpin ideal bagi masyarakat Sunda, setidaknya pada zaman naskah ini ditulis. bahwa memang seorang pemimpin yang menjalankan kekuasaan harus berpegangan teguh pada aturan. Dari inilah kita mendapatkan nilai moral dengan kearifan lokal Sunda sebagai pemangku kekuasaan.

Jika dibandingkan dengan konsep trias politika yang dikemukakan oleh  John Locke dan Montesquieu, tentu konsep pembagian kekuasaan dari tatar Sunda yang bernama Tri Tangtu di Buana ini serupa hanya berbeda istilah dengan apa yang dikemukakan mereka dari dunia barat.

Secara hitungan tahun Masehi pun Tri Tangtu di Buana sudah terlebih dahulu muncul. Itu artinya masyarakat Sunda sudah berpikir bagaimana agar kekuasaan yang dijalankan berjalan seimbang dan mencegah kesewenangan penguasa.

Dalam penentuan siapa yang menjadi Prebu, bukan didasarkan pada garis keturunan. Akan tetapi melalui persetujuan Rama dan Resi. Dengan begitu tidak ada politik yang bertujuan membentuk dinasti keluarga. Namun mengedepankan nilai dan wujud sistem yang demokratis.

Dalam hal menyusun sistem pembagian kekuasaan,  orang Sunda tidak ketinggalan zaman. Bahkan lebih maju dari bangsa Eropa yang selalu di eluk-elukan sebagai pusat peradaban modern di dunia. Ternyata orang Sunda pada jaman itu berhasil menciptakan suatu pemikiran yang maju dan dipadukan dengan kearifan lokal.

Dengan bahasa yang filosofis istilah Prebu, Rama dan Resi, disampaikan dengan sikap yang diharuskan melekat pada diri yang akan menduduki masing-masing bagian kekuasaan. Ngagurat batu, lemah dan cai. Tentu bahasa yang disampaikan pun memiliki makna filosofis dan berkaitan dengan benda-benda alam.

Sudah seharusnya orang Sunda masa kini menanamkan nilai-nilai filosofis kesundaan dalam kehidupan. karena sejatinya naskah kuno merupakan tulisan hasil pemikiran orang-orang Sunda terdahulu. Nyatanya pemikiran mereka pada jaman itu cukup dalam demi menjaga keseimbangan alam dan kehidupan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//