• Opini
  • Globalisasi, Kosmopolitanisme, dan Perdamaian

Globalisasi, Kosmopolitanisme, dan Perdamaian

Globalisasi dipandang sebagai jalan menuju perdamaian. Dan kosmopolitanisme dapat mewujudkan ide globalisasi menjadi nyata.

Yohanes Ario Seto

Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Warga berkumpul untuk berdoa dan menunjukkan pembelaan bagi perdamaian dalam Aksi 1.000 Lilin di depan Gedung Sate Bandung Kota Bandung, Sabtu (13/5/2017) selepas magrib. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

30 Desember 2023


BandungBergerak.id – Mendalami dan merenungkan makna perdamaian secara hakiki adalah upaya yang perlu terus menerus dilakukan manusia. Manusia sering kali identik dengan kekerasan. Manakala ia berhadapan dengan keterbatasannya, manusia cenderung menggunakan kekerasan untuk mengatasinya. Di sisi lain, manusia memiliki rasio yang mana dapat membantu untuk melepaskan diri dari kekerasan yang sesungguhnya tidaklah rasional (Mulyatno, 2010, p. 5). Potensi untuk menggunakan rasio inilah yang menjadi modal bagi filsafat untuk meminimalisir kekerasan dan keapatisan terhadap berbagai persoalan hidup bersama, serta mengembangkan keindahan hidup bersama. Dalam pada inilah filsafat dapat berperan untuk setidak-tidaknya menyadarkan manusia akan pentingnya upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia.

Bagi Eric Weil, filsuf kontemporer asal Prancis, hidup bersama tanpa kekerasan merupakan titik tolak sekaligus akhir dari serangkaian refleksi filosofis manusia. Dengan kerangka pandang ini, tujuan perdamaian dapat dipandang sebagai adanya hidup harmoni tanpa kekerasan. Dirunut secara etimologis, kata damai sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu pax yang dapat diartikan sebagai damai, diam, atau keselarasan (Taufiq, 2021, p. 12). Maka dari itu, segala macam tindak kekerasan, konflik, dan perang adalah lawan dari istilah damai.

Pada nyatanya, mewujudkan perdamaian sendiri tidaklah mudah. Situasinya menjadi lebih menantang manakala budaya dan kondisi masyarakat yang majemuk menjadi latar belakang, sebagaimana di Indonesia. Bahkan di tengah era globalisasi, perdamaian belum dapat sepenuhnya diwujudkan. Era globalisasi yang mengandaikan adanya keterhubungan yang mengarah pada harmoni, pada nyatanya belum mampu membawa manusia pada kondisi damai. Perdamaian yang hendak diwujudkan adalah perdamaian yang universal. Dalam hal ini, cakupan perdamaian ada pada tataran harmoni semesta. Seiring dengan tujuan perdamaian ini, apabila makna globalisasi dipahami secara lebih luas dengan gagasan kosmopolitanisme, kiranya, perdamaian yang universal akan terwujud.

Gagasan kosmopolitanisme hendak mengajak manusia agar memiliki keterbukaan terhadap perbedaan dan dengan itu dapat mewujudkan toleransi. Gagasan ini hendak mengatasi polaritas dalam budaya, ras, agama, hingga etnis sehingga tercipta keterhubungan global (Ulrich Beck, 2006, p. 73). Dari sini, kosmopolitanisme dapat mewujudkan ide globalisasi menjadi nyata. Menurut Beck, keberhasilan globalisasi yang kosmopolis akan tampak dalam adanya keberanian untuk menyatukan bentuk-bentuk kehidupan yang tumbuh dari berbagai bahasa, warna kulit, kebangsaan, atau agama dengan kesadaran bahwa, dalam dunia yang sangat tidak aman, semua orang setara meski memiliki kekhasannya masing-masing.

Baca Juga: Cinta Melampaui Tuhan?: Problematika Pernikahan Lintas Agama di Indonesia
Berburu “Damai” di Dunia Para Serigala
Membangun Toleransi Beragama Melalui Perjumpaan Onto-Teologi

Globalisasi dan Upayanya untuk Mewujudkan Perdamaian

Dunia ini sedang berlari kencang. Tampaknya, adagium ini tidaklah sulit untuk dipahami. Globalisasi membawa akselerasi pada berbagai hal yang tentu memengaruhi manusia, entah secara positif atau negatif. Adagium di atas sendiri dilontarkan oleh Uskup Agung Wulfstan dalam kotbahnya di York, sekitar tahun 1014 (Anthony Giddens, 2002, p. 22). Hal yang menarik adalah, pernyataan yang dilontarkan ribuan tahun lalu itu ternyata masih relevan dengan dunia masa kini. Di tengah lajunya yang makin cepat, dunia masih memiliki aneka macam rupa permasalahan, salah satu yang fundamental untuk diatasi adalah perdamaian. Dunia yang katanya tengah hidup di era globalisasi di mana ada keterhubungan, nyatanya belum mampu untuk mewujudkan perdamaian yang hakiki.

Mendefinisikan istilah globalisasi sendiri bukanlah hal yang mudah. Pada perkembangannya sendiri, para pemikir banyak menginterpretasi istilah ini. dengan berbagai macam sudut pandang. Penggunaan istilah globalisasi sendiri mulai marak digunakan pada awal tahun 1990an, tetapi kesadaran global bahwa ada kesatuan kesadaran telah dimulai jauh sebelum itu (Thomas Hylland Eriksen, 2014, p. 1). Ditelusuri lebih lanjut, istilah ini sudah muncul pada pemikiran 4 G.W.F Hegel (1770-1831), seorang filsuf besar era fajar akal budi. Ia sudah mengungkapkan akan pentingnya keterhubungan global antar manusia. Dunia dibayangkan sebagai satu komunitas. Pada abad ke-19, Karl Marx (1818-1883) menyerukan pandangan politik yang global dalam semangat sama rasa dan sama rata. Pada tatarannya yang paling sederhana, globalisasi dapat diartikan sebagai intensifikasi hubungan sosial di seluruh dunia yang menghubungkan daerah- daerah yang jauh sedemikian rupa, sehingga kejadian-kejadian lokal dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di tempat yang jauh, dan sebaliknya (Anthony Giddens, 1990, p. 63).

Pada perkembangannya, setidak-tidaknya ada tiga faktor yang turut membentuk globalisasi. Pertama, berakhirnya perang dingin, kedua, akselerasi teknologi dan internet, dan ketiga, lesunya pamor politik identitas yang merugikan ras, agama, etnis, dan teritori tertentu (Thomas Hylland Eriksen, 2014, p. 4). Aneka macam peristiwa pilu yang terjadi di medio abad ke-20 juga menjadi penentu dari munculnya kesadaran akan pentingnya keterhubungan antar manusia (Hosen, 2020, p. 2). Dalam perspektif ini, maka kiranya dapat dikatakan bahwa gagasan globalisasi adalah hasil dari keinginan manusia untuk menggapai perdamaian. Globalisasi tidak semata-mata diarahkan pada aneka macam keuntungan ekonomi sebagaimana terjadi saat ini. Lebih daripada itu, gerakan ini juga dilandasi pada adanya keprihatinan dan kerinduan segenap umat manusia akan adanya situasi yang damai.

Dengan pandangan ini, maka tidaklah salah apabila globalisasi dipandang sebagai jalan untuk menuju pada perdamaian. Bahkan, semangat asali inilah yang hendaknya senantiasa diperjuangkan. Perang dingin yang dulunya membagi dunia menjadi dua bagian, kini perlahan, batasannya mulai hilang. Politik identitas yang dahulu amat laku dijadikan alat untuk para politisi, kini para pemilih telah lebih cerdas untuk tidak memilih kembali hal itu. Pelbagai kemajuan dalam bidang ekonomi dan kerja sama global juga telah membantu lebih banyak manusia. Akan tetapi, menghadapi cepatnya laju globalisasi, kehati-hatian diperlukan untuk melihat inovasi dari globalisasi. Jangan sampai, inovasi-inovasi atas nama globalisasi justru melenceng dari semangat asali globalisasi, yaitu untuk membawa manusia pada kesatuan dan harmoni.

Fakta bahwa globalisasi dalam taraf tertentu telah membawa kemajuan tentu tidaklah dapat ditampik. Dihadapkan pada pertanyaan mengenai perdamaian, apakah globalisasi yang hendak menggaungkan keterhubungan antar manusia telah berhasil membantu dunia untuk mencapai perdamaian yang hakiki? Dalam hal ini, kiranya globalisasi seperti belum berhasil untuk mewujudkannya.

Mengambil konteks Indonesia sendiri, tentu masih lekat dalam ingatan mengenai konflik-konflik yang terjadi di Indonesia, seperti di Poso, Ambon, Sampit, Aceh, hingga Papua. Hal ini belum ditambah dengan rangkaian konflik agama yang juga jamak dijumpai di Indonesia. Pelbagai konflik ini didasari oleh adanya perbedaan pada berbagai bidang, seperti sosial, golongan, budaya, ras, etnis, hingga agama (Taufiq, 2021, p. 8).

Dalam konteks global, eskalasi konflik juga terjadi. Konflik bersenjata di Ukraina sudah berjalan lebih dari satu tahun. Belakangan ini, peperangan antara Israel dan pasukan Hamas di Gaza juga menjadi salah satu konflik yang hangat dibicarakan. Maka dari itu, gagasan perdamaian dan hidup dalam harmoni yang pada mulanya diinginkan oleh globalisasi sepertinya masih jauh dari harapan. Setelah lebih dari 30 tahun, semangat asalinya justru seperti jalan di tempat apabila tidak mau dibilang terlupakan.

Globalisasi yang Kosmopolis

Globalisasi yang kosmopolis tampaknya akan membantu globalisasi untuk mencapai tujuan utamanya. Gagasan kosmopolitanisme mengandaikan adanya dunia yang menjadi jejaring yang mana medan imajinernya terkait, tumpang tindih, kompleks, serta dinamis (Bambang Sugiharto, 2019, p. 75). Sejatinya, ide mengenai kosmopolitanisme sendiri sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, jauh sebelum ideologi nasionalisme muncul (Robert Fine, 2007, p. ix). Di dalam Imanuel Kant (1724-1804), filsuf besar era fajar akal budi, kaum kosmopolis berisi orang-orang berbudaya dan para filsuf yang akan menuju pada dunia yang harmonis. Saat ini, "kosmopolis" justru lebih mengarah pada mereka. yang merasa identitasnya tak lagi bisa diwadahi oleh gagasan sempit nasionalisme. Pada pengertiannya yang paling mendasar, gagasan ini hendak mengatasi polaritas dalam budaya, ras, agama, hingga etnis sehingga tercipta keterhubungan global (Ulrich Beck, 2006, p. 73).

Dirunut secara etimologis, kata kosmopolis berasal dari bahasa Yunani, yaitu kosmos dan polis. Kosmos dapat diartikan sebagai dunia atau universal yang merujuk pada segala sesuatu yang ada di alam semesta. Kata ini juga mengindikasikan adanya keteraturan. Polis sendiri berarti kota yang juga merujuk pada sistem sosial, politik, dan budaya di kota-negara. Dari akar kata ini, gagasan kosmopolitan sendiri dapat pula diartikan sebagai "warga dunia". Daripada itulah, kosmopolitan hendak mengatasi sekat-sekat sempit nasionalisme dan mengarahkan diri pada harmoni yang universal. Filsuf zaman Yunani Kuno, Sokrates, selalu mengatakan bahwa ia adalah warga dunia, tanpa menyebut nama daerah asalnya. Hal ini hendak menunjukkan bahwa pada hakikatnya, manusia adalah bagian dari semesta yang universal.

Untuk semakin mendalami ide kosmopolitanisme ini, setidak-tidaknya ada empat ciri utama dari padanya (Bernard Lonergan, 1992, p. 263). Pertama-tama, kosmopolis hendaknya dipahami bukan sebagai upaya untuk menyatukan keanekaragaman dunia dan menjadi semacam polisi yang mengawasi. Dalam hal ini, gagasan ini justru hendak menghargai aneka macam perbedaan itu. Kedua, kosmopolis berfungsi untuk menjadikan ide-ide yang terpendam menjadi nyata dalam ranah yang global. Ketiga, kosmopolis berfungsi untuk meredam dominasi grup/kelompok tertentu yang hendak menguasai dunia. Yang terakhir, kosmopolis hendak memastikan masa depan yang aman dan penuh harmoni. Dengan demikian, gagasan ini memang hendak mengarahkan manusia pada harmoni yang universal dalam hidupnya.

Mewujudkan gagasan ini, pada nyatanya tidaklah mudah karena kerap kali harus berhadapan dengan memori kolektif nasional yang memendam dendam kekerasan masa lalu. Salah satu yang hendaknya dapat mulai diwujudkan adalah menciptakan jejaring interaksi masyarakat yang saling berkomunikasi dan membentuk kelompok dalam ruang maya dan nyata (Bambang Sugiharto, 2019, p. 77). Perwujudan kosmopolitanisme sendiri tidak dapat dibayangkan sebagai adanya kesatuan budaya secara global. Kosmopolitanisme akan menjadi nyata manakala ada kesadaran bahwa perbedaan adalah bagian kodrati dari hidup manusia dan dengan itu penghargaan padanya sungguh diperlukan.

Ada banyak sudut pandang yang hendak dibangun bukan hanya dari satu sudut pandang. Harapannya adalah muncul diorama yang mengandaikan adanya banyak sudut pandang. Upaya untuk menumbuhkan semangat kosmopolis sendiri tidak mengandaikan hilangnya tanah air seseorang. Hal yang sungguh perlu diupayakan adalah mencoba untuk berjarak dan kritis terhadap budaya sendiri sebagai upaya untuk memahami budaya lain. Dalam pada itulah, tantangan untuk mewujudkan masyarakat yang kosmopolis tampak secara nyata.

Kecenderungan saat ini, globalisasi seperti direduksi menjadi semata- mata urusan perekonomian saja. Tentu, hal ini perlu diapresiasi, tetapi globalisasi tidak cukup berhenti di situ. Apabila dirunut sejarahnya, unsur kosmopolis di dalam globalisasi sebenarnya cukup kental. Sayangnya seiring berjalannya waktu, tampaknya globalisasi semakin jauh dari unsur kosmopolitansime. Maka dari itu, konsep kosmopolitanisme dalam globalisasi kiranya perlu dikuatkan kembali. Dengan demikian, wajah humanis globalisasi akan semakin tampak dan dapat memberikan sumbangsih yang lebih besar untuk dunia. Sumbangsih yang lebih besar ini hendaknya diarahkan pada perdamaian dunia yang semula diidamkan oleh globalisasi.

Mewujudkan Perdamaian dalam Era Globalisasi yang Kosmopolis

Sepanjang sejarah peradabannya, manusia senantiasa berhadapan dengan konflik yang sangat jauh dari pengertian perdamaian. Dalam hal ini, tampaknya mudah untuk menyebut bahwa pada dasarnya manusia jahat. Pada nyatanya, manusia adalah makhluk yang baik, hal ini setidak-tidaknya dapat dilihat dari selalu adanya upaya untuk mewujudkan kebaikan antar sesama (Rutger Bregman, 2019, p. 383). Bagi Eric Weil, manusia memiliki dua pilihan. Pertama, menjadi keras dan irasional dan dengan itu hidup hanya didasarkan pada insting, hawa nafsu, dan egoisme. Kedua, hidup menjadi rasional yang di dalamnya ada keterbukaan pada dialog dan usaha konkret untuk memisahkan diri dari kekerasan. Dalam artian ini, sejatinya manusia selalu dihadapkan pada pilihan, antara menggunakan insting semata atau menggunakan rasionya. Penggunaan rasiolah yang pada akhirnya membawa pada perdamaian yang hakiki.

Gagasan globalisasi dan kosmopolitanisme yang menghendaki adanya harmoni kiranya dapat menjadi sumbangsih pemikiran yang berguna untuk mewujudkan perdamaian. Adanya kesadaran bahwa seluruh manusia adalah bagian dari semesta ini, agaknya akan mampu membuat manusia lebih memilih untuk mewujudkan perdamaian, alih-alih kekerasan dan konflik. Salah satu alasan paling mendasarnya adalah fakta bahwa penggunaan kekerasan dan konflik hanya akan merugikan semesta yang satu ini. Bersamaan dengan itu pula, kesatuan harmoni yang senantiasa diupayakan akan menjadi sia-sia.

Melalui gagasan globalisasi yang kosmopolis, diharapkan perdamaian yang hakiki akan dirasakan tidak hanya oleh satu negara/kelompok tertentu, tetapi dirasakan oleh semua secara universal. Globalisasi yang kosmopolis kiranya dapat menjadi gagasan pendorong untuk mewujudkannya. Dengan demikian, perdamaian hakiki yang universal tidak hanya menjadi utopia, tetapi sungguh dapat direalisasikan oleh segenap umat manusia.

* Artikel ini merupakan salah satu pemenang kategori Excellent pada Lomba Esai Nasional 2023 dengan tema "Peace For Indonesia, Peace For All! yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//