MAHASISWA BERSUARA: Menolak Pengungsi Rohingya, Mengikis Rasa Kemanusiaan
Kendala bahasa dan perbedaan budaya yang menyebabkan kesalahpahaman antara pengungsi Rohingya dan warga Aceh. Memicu ketegangan dan penolakan.
Farel Rizky Gunawan
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
31 Desember 2023
BandungBergerak.id – Selama beberapa dekade, etnis Rohingya telah mengarungi lautan sebagai pengungsi dan mendarat di tanah Indonesia untuk mencari keselamatan. Provinsi yang paling banyak menerima kedatangan pengungsi Rohingya adalah Nangroe Aceh Darussalam, provinsi paling barat Indonesia yang dikelilingi oleh Samudera Hindia dan paling dekat dengan Myanmar. Sejak bulan November 2023 lalu, sudah ada lebih dari 1.500 pengungsi Rohingya yang tiba di pantai Aceh dengan menggunakan perahu. Orang-orang ini kelaparan, dehidrasi, dan kurang tidur setelah menghabiskan waktu berminggu-minggu di laut, dan begitu mereka tiba, mereka mencari bantuan untuk kondisi mereka. Sebagai sesama manusia, sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban kita untuk membantu mereka pada saat mereka sangat membutuhkan.
Namun kenyataannya banyak warga Aceh dan bahkan pemerintah daerahnya sendiri yang menolak kedatangan etnis Rohingya. Ada banyak upaya, beberapa berhasil untuk mendorong perahu-perahu yang digunakan oleh para pengungsi Rohingya kembali ke lautan karena masyarakat merasa frustrasi dengan para pengungsi. Melalui kombinasi beberapa faktor, seperti kendala bahasa, perbedaan budaya, dan perspektif yang berbeda, kesalahpahaman telah menyebabkan ketegangan menjadi-jadi. Salah satu kesalahpahaman tersebut adalah pembuangan makanan yang disumbangkan pada pengungsi Rohingya, dan meskipun pada awalnya diasumsikan sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih, dapat dijelaskan bahwa mereka tidak terbiasa dengan makanan pedas.
Masalah yang rumit ini telah menimbulkan kekhawatiran atas perlakuan terhadap pengungsi, pengabaian hak asasi manusia, serta benturan antara kepentingan warga negara dan etnis Rohingya yang tidak berdaya. Bantuan dan tindakan sebagian besar dilakukan di tingkat lokal, di mana masyarakat memberikan bantuan karena alasan belas kasih dan kepedulian. Namun, dengan meningkatnya ketegangan tersebut, keengganan warga setempat untuk membantu pengungsi Rohingya mulai terlihat. Apa yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah yang sedang berkembang ini, dan apa lagi yang dapat diberikan untuk memperbaiki situasi pengungsi Rohingya?
Baca Juga: Efek Pacsapandemi dan Kebangkitan Kemanusiaan
Kudeta Militer dan Deportasi Pengungsi Myanmar oleh Malaysia, Bagaimana Disposisi Diplomasi Indonesia?
Penyaluran Bantuan Kemanusiaan dalam Pendekatan Kesetaraan
Etnis Rohingya Tidak Memiliki Kewarganegaraan
Pertama, kita harus memahami situasi yang menimpa etnis Rohingya yang mendorong mereka menjadi pengungsi. Mereka diklasifikasikan sebagai stateless person, atau orang yang tidak memiliki kewarganegaraan karena ditolak sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar, tempat mereka berasal. Status ini juga berarti bahwa mereka secara hukum tidak menjadi tanggung jawab negara mana pun di dunia dan tidak memiliki tempat di negara mana pun karena mereka tidak memiliki identitas dan dokumen. Secara alamiah, mereka dianggap bukan siapa-siapa, baik secara hukum maupun budaya.
Pemerintah Myanmar secara resmi menolak memberikan kewarganegaraan Myanmar kepada etnis Rohingya sejak tahun 1982 ketika Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar diberlakukan. Namun, penganiayaan dan peminggiran terhadap mereka telah terjadi sebelum undang-undang ini disahkan. Hal ini termasuk penolakan hak mereka untuk menerima semua layanan penting dan sarana pendukung, serta tidak dapat melakukan perjalanan tanpa izin resmi. Lebih buruk lagi, mereka mungkin mengalami kerja paksa, di mana seorang pria Rohingya dipaksa bekerja di proyek-proyek pemerintah.
Dengan Tindakan keras militer Burma di negara bagian Rakhin yang menjadikan desa etnis Rohingya sebagai sasaran, terjadilah eksodus massal di tahun 2016. Hal yang mendorong tindakan keras ini adalah ketika orang-orang bersenjata menyerang beberapa pos polisi perbatasan, menyebabkan sembilan polisi tewas, di mana sekelompok pemberontak Rohingya mengklaim bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Tindakan ini telah dilaporkan oleh PBB telah menyebabkan penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan beramai-ramai, kebrutalan terhadap warga sipil, dan penjarahan telah dilakukan.
Menurut laporan PBB, lebih dari 700.000 orang melarikan diri atau diusir dari Negara Bagian Rakhine. Mayoritas muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh untuk mencari tempat yang lebih aman, yang menyebabkan terciptanya kamp pengungsi terbesar di dunia. Ada juga yang melarikan diri ke negara-negara lain seperti Malaysia, Brunei, termasuk Indonesia. Alasan mereka melarikan diri ke negara-negara ini adalah karena mereka adalah negara mayoritas muslim, dan mereka merasa aman dan nyaman dikelilingi oleh orang lain yang memiliki agama yang sama. Meskipun begitu, ada banyak negara yang dipilih oleh para pengungsi seperti Singapura dan Thailand.
Namun, di luar negeri pun mereka terus menghadapi persekusi, dan hal yang sama juga terjadi di Aceh. Tindakan yang paling mencolok adalah tindakan nelayan Aceh yang menggunakan perahu mereka untuk mendorong kapal-kapal yang membawa pengungsi Rohingya kembali ke lautan, sehingga membahayakan nyawa para pengungsi yang juga terdiri dari perempuan dan anak-anak. Kemudian ketika mereka mendarat di pantai, mereka menghadapi pengawasan yang lebih ketat karena mereka adalah orang asing. Dan karena perbedaan budaya, cara pandang, dan bahasa, banyak kesalahpahaman yang terjadi antara pengungsi dan penduduk setempat. Banyak insiden kekerasan terjadi, seperti penghancuran rumah oleh para pengungsi karena tempat penampungan pengungsi Rohingya kehilangan listrik selama satu malam. Kemudian berkurangnya sumbangan makanan dan keuangan dari penduduk setempat membuat ketegangan semakin memanas.
Pemerintahan provinsi Aceh sesungguhnya tidak memiliki kewajiban baik dalam hukum nasional maupun internasional untuk mengizinkan para pengungsi Rohingya untuk mendarat. Namun, melalui nelayan dan warga Aceh pun di beberapa tahun sebelumnya yang meminta dengan baik untuk memperbolehkan mereka mendarat. Sejak saat itu, pemerintah provinsi telah memberikan sejumlah bantuan dasar, seperti makanan, air, dan sandang, namun sebagian besar bantuan tersebut berasal dari masyarakat.
Etnis Rohingya di Wilayah Abu-abu Hukum Indonesia
Indonesia diwajibkan oleh hukum internasional untuk memberikan perhatian pada orang-orang tanpa kewarganegaraan, meskipun Indonesia belum meratifikasi beberapa perjanjian internasional terkait hal tersebut. Tidak ada sistem standar yang bisa memberikan semua yang dibutuhkan para pengungsi untuk bertahan hidup sehingga upaya ini sepenuhnya bergantung pada kemurahan hati, yang semakin memburuk seiring dengan gesekan yang terjadi belakangan ini. Contohnya, Aceh tidak memberikan panduan resmi dalam memberikan bantuan kepada pengungsi, dan Kementerian Sosial tidak secara langsung mengizinkan kapal yang membawa etnis Rohingya untuk berlabuh di Indonesia.
Etnis Rohingya artinya berada di wilayah abu-abu hukum Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki undang-undang yang menjanjikan hak bagi pencari suaka agar terhindar dari hukuman politik dari negara lain, undang-undang tersebut hanya berlaku bagi warga negara di negara tersebut, bukan orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Meskipun demikian, hukum internasional masih memberikan tekanan pada pemerintah Indonesia untuk bertindak dan memberikan bantuan kepada pengungsi dengan memenuhi hak asasi manusia mereka, yang merupakan sesuatu yang belum sepenuhnya terwujud. Sejauh ini, pemerintah Indonesia baru mengambil satu langkah untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu dengan menindak operasi perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini? Apa langkah-langkah yang diperlukan untuk meredakan dan meredakan ketegangan? Yang penting untuk diperhatikan adalah informasi dan pendidikan, melaluinya masyarakat akan menjadi lebih terdidik dan peka dengan kondisi yang dialami oleh etnis Rohingya, dan melecehkan mereka hanya akan memperburuk keadaan. Etnis Rohingya juga perlu mendapat pelajaran untuk memahami budaya setempat dalam hal ini budaya Aceh dan Indonesia pada umumnya. Meminta kesediaan pengungsi Rohingya untuk mengikuti kursus kilat bahasa Indonesia untuk komunikasi dasar, akan menjadi perbaikan besar terhadap situasi di provinsi tersebut.
Pemerintah kemudian dapat berupaya untuk mulai membangun tempat penampungan dan kamp yang layak untuk memastikan hak-hak warga Rohingya terpenuhi. Setelah mendapatkan kasih sayang dan pendidikan lebih lanjut, etnis Rohingya kemudian dapat diserap ke dalam masyarakat dan menjalani kehidupan normal di mana mereka dapat bekerja dan menjadi warga negara jika mereka telah melalui proses tersebut. Dengan langkah-langkah ini diharapkan kemajuan dapat dicapai dan krisis dapat diselesaikan.