• Narasi
  • House of Hope: Membangun Kemandirian para Difabel Berkebutuhan Khusus

House of Hope: Membangun Kemandirian para Difabel Berkebutuhan Khusus

Lembaga pelatihan kerja House of Hope (HoH) memberikan pelatihan bagi difabel berkebutuhan khusus untuk bekerja.

Maryam Shiddiqah

Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

Suasana di House of Hope, Jl. Lamping No.16, Pasteur, Kec. Sukajadi, Kota Bandung, Jawa Barat. (Foto: Maryam Shiddiqah)

1 Januari 2024


BandungBergerak.id – Dalam setiap proses kehidupan, sejak manusia terlahir sampai akhir hidupnya, manusia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Seiring dengan berjalannya waktu dan usianya, kemandirian seseorang perlahan semakin berkembang dengan berusaha melepaskan diri dari berbagai ketergantungan, misalnya kepada orang tua. Untuk seseorang dengan kondisi fisik dan mental yang “normal”, mungkin kemandirian ini bisa lebih mudah terbentuk. Namun, bagaimana perkembangan kemandirian bisa terbentuk bagi mereka yang lahir dengan kondisi down syndrome, autism, dan cerebral palsy? Tentunya tidaklah mudah .

House of Hope (HoH) yang beralamat di Jalan Lamping Nomor 16 Kota Bandung, merupakan salah satu lembaga pelatihan (Training Center) yang berfokus untuk mengembangkan kemandirian kawan-kawan difabel dengan kondisi khusus tersebut. “Merangkul Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan anak-anak yang kurang beruntung di seluruh Indonesia untuk bisa mandiri, berdaya serta melawan stigma yang negatif,” demikian visi lembaga tersebut seperti yang diterangkan Noel, selaku penanggung jawab operasional HoH.

Noel menjelaskan bawah HoH yang berdiri sejak Februari 2023 memiliki misi menjadi lembaga yang membantu ABK dan anak yang kurang beruntung di Indonesia untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. “Sehingga dapat memanusiakan mereka, berkarya, berdaya, dan mandiri, serta menjadi penghubung mereka dengan masyarakat melalui marketplace dan platform lainnya,” ujarnya.

Founder Lembaga HoH ini adalah Irene Ridjab, yang juga CEO sekaligus Founder “Zoleka”, yang sejak awal mempunyai keinginan agar HoH bisa menjadi jembatan bagi ABK untuk mewujudkan cita-citanya.  Irene telah mulai memberdayakan ABK pada acara fashion show pada tahun 2021, dan keuntungan penjualan baju diserahkan kepada mereka. Noel menambahkan, “Ada harapan bagi mereka (ABK), dan mereka sering dipandang sebelah mata. Di balik keterbatasan mereka, HoH melihat harapan dan potensi dalam diri penyandang disabilitas mencapai tujuan”.

Meskipun belum setahun usianya, namun HoH berhasil menggandeng perusahaan lokal “Eiger” yang memercayakan beberapa pekerjaannya dengan melibatkan peserta ABK yang telah dibina oleh HoH.

Difabel berkebutuhan khusus sedang mengikuti pelatihan di House of Hope. (Foto: Maryam Shiddiqah)
Difabel berkebutuhan khusus sedang mengikuti pelatihan di House of Hope. (Foto: Maryam Shiddiqah)

Baca Juga: Mendekatkan Kawan Difabel dan Thalasemia dengan Alam
Niat Karla Bionics Menghapus Sebutan Difabel, Dimulai dari Pengembangan Lengan Prostesis
Kawan-kawan Difabel Berharap Mendapat Ruang Pemberitaan yang Adil di Media Massa

Pelatihan Kerja bagi Difabel Berkebutuhan Khusus

Dalam kegiatan pelatihan kerja yang dilakukan oleh HoH, peserta pelatihan difabel berkebutuhan khusus maupun pendidiknya memerlukan penyesuaian dan fleksibiltas dalam strategi pembelajaran. Terutama dalam cara berkomunikasi, mengakses informasi dan instruksi dalam proses pemberian materi pembelajaran, pendampingan saat melakukan orientasi mobilitas di lingkungan belajarnya, modifikasi tugas serta evaluasi menggunakan cara yang sesuai dengan pilihan, kebutuhan, dan kemampuan masing-masing peserta didik.

Menurut Noel yang mempunyai background pengalaman mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK) selama 5 tahun sebelum bergabung di HoH, kunci dari strategi pelatihan yang dilakukan untuk difabel berkebutuhan khsusu ada pada cara berkomunikasi. “Meskipun mereka ada keterbatasan, tapi ternyata sama aja. Yang beda adalah cara kita interact sama mereka, cara kita berkomunikasi sama mereka dan lain-lain,” ujarnya.

Noel menyampaikan bahwa pelatihan yang diberikan kepada difabel berkebutuhan khusus maksimal 9 bulan, yang terdiri dari 3 tahapan/stage. Para peserta tidak tinggal di HoH, tetapi pulang pergi, dan pemberian makanan diserahkan kepada keluarganya. Peserta bisa mengikuti pelatihan sesuai minat dan bakatnya, namun karena keterbatasan tempat belum banyak pelatihan yang dibuka. Yang ada baru yang sifatnya umum seperti yang pernah dikerjasamakan dengan percetakan yang mencakup pekerjaan melipat box, quality control (QC) baju, tumbler, dan goodie bag.

Selanjutnya, terkait tahapan sebelum mereka magang kerja ke perusahaan, maka HoH membaginya dalam 3 tahap. Pada tahap pertama, peserta mengikuti asesmen awal, yang  ditangani oleh seorang psikolog untuk melihat perkembangan psikologi mereka, serta berdiskusi dengan orang tua dan anaknya terkait apa yang akan dikerjakan di HoH. Jika dinyatakan lolos, maka peserta akan masuk ke tahap berikutnya yang terdiri dari 2 tahap (3 bulan/tahap). Jika ternyata peserta tidak memenuhi syarat di tahap awal, maka peserta tidak meneruskan pelatihan karena akan dibuka kesempatan buat peserta yang lain. Namun, ketika peserta didik dinilai bagus kinerjanya selama tahap awal, maka  peserta bisa langsung magang di perusahaan. Mereka akan diberikan laporan penilaian kinerja setelah 3 bulan kerja. Sebagai contoh, untuk magang kerja di Eiger, pada bulan pertama magang, dilakukan sebanyak 3 kali seminggu di Eiger (hari Senin, Rabu, dan Jumat), dan pada hari Selasa, Kamis di HoH. Pada bulan kedua, maka peserta didik dicoba dilepas, dan sekali seminggu HoH berkoordinasi dengan  Eiger untuk memantaunya.

Noel menceritakan pengalaman dua orang peserta didik difabel berkebutuhan khusus angkatan pertama HoH yang magang di Eiger tahun 2023, yaitu Darian dan Vania. Vania bersifat introvert, pendiam, dan sulit di ajak ngobrol. Namun terjadi perubahan yang positif setelah magang. “Vania jadi lebih sering ngomong, eye contact pun jadi lebih berani,” ujarnya.

Adapun Darian, sebaliknya, bersifat ekstrover . “ Darian itu harus dikasitau biar dia ga ngalor-ngidul ngomongnya,” ujar Noel. Setelah magang tersebut Darian mulai percaya diri. Jika Darian ditanya, “Aku udah kerja di Eiger,” tambah Noel.

Banyak orang-orang kaget dengan perubahan ini. Bahkan, keduanya kini lebih memilih berada di Eiger daripada di HoH dengan alasan tempat kerjanya luas, lebih bisa eksplorasi, dan mereka lebih menikmati pekerjaannya.

Vania dan Darian, memang bukan anak-anak, usianya sekitar 20an tahun . Ini menjadi pertimbangan HoH dalam menerima peserta didik untuk pelatihan siap kerja ini, dengan menetapkan usianya adalah 18-35 tahun untuk memastikan HoH tidak mempekerjakan anak di bawah umur.

Pelatihan lainnya yang ada di HoH adalah kelas Art Therapy (untuk ABK berusia 12 tahun ke atas), dan berbayar seperti kursus. Setiap minggu ada 3 kelas (4 peserta/kelas) dengan pengajar sekaligus pendamping, yang  berasal dari Surabaya. Pemberian materi dilakukan melalui aplikasi Zoom. Hasil pembelajaran peserta HoH di kelas ini adalah launching buku karya ABK pada bulan Agustus 2023, yang merupakan kreasi dari 10 anak ABK dalam bentuk ilustrasi buku “ Konser Musik”, yang telah ditampilkan di Museum Konferensi Asia Afrika di Bandung.

Ke depannya diharapkan pelatihan kepada ABK ini dapat diperluas ke pelatihan sosial media, design, membuat flyer, dll., demikian harapan yang disampaikan oleh Noel.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//