• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Eksibisionisme dalam Perspektif Etika Masyarakat dan Hukum

MAHASISWA BERSUARA: Eksibisionisme dalam Perspektif Etika Masyarakat dan Hukum

Eksibisionisme tidak hanya melibatkan aspek hukum, tetapi juga merupakan isu etika dan sosial yang kompleks. Pendidikan seksual penting untuk upaya pencegahan.

Aaliyah Mutiara

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi pengadilan. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

2 Januari 2024


BandungBergerak.id – Eksibisionisme, suatu perilaku mengekspos organ intim di depan umum, menjadi isu kompleks yang memerlukan analisis etika masyarakat dan hukum. Eksibisionisme adalah sebuah fenomena di mana seseorang mengekspos organ genital atau alat kelamin secara seksual kepada individu yang tidak memberikan persetujuan. Sering kali, ini melibatkan perilaku yang dianggap tidak pantas dan melanggar norma-norma sosial yang berlaku. Eksibisionisme bukan fenomena baru karena pada tahun 1980 masuk pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). Sejak saat itu, definisi klinis gangguan eksibisionistik relatif tidak berubah dan termasuk dalam kategori Gangguan Parafili, serta secara hukum dianggap sebagai tindakan seksual yang melanggar (Kaylor & Jglig, 2019).

Fenomena ini menciptakan tantangan dalam menyeimbangkan kebebasan individu dan nilai-nilai sosial. Eksibisionisme kini diakui sebagai gangguan mentalitas, dan penelitian psikologis telah mencoba memahami faktor-faktor yang mempengaruhi individu untuk terlibat dalam perilaku ini. Gangguan ini tidak hanya menimbulkan dampak pada individu yang mengekspresikan diri mereka secara eksibisionis, tetapi juga memicu respons dan reaksi yang kompleks di kalangan masyarakat (Långström, 2010).

Dari sudut pandang etika masyarakat, eksibisionisme sering kali dianggap sebagai pelanggaran norma moral dan budaya. Etika masyarakat mencakup seperangkat nilai, norma, dan aturan perilaku yang dianggap oleh masyarakat sebagai dasar untuk interaksi sosial yang harmonis. Dalam konteks eksibisionisme, tindakan mengekspos organ intim di depan umum dianggap melanggar norma-norma ini. Eksibisionisme sering dipandang sebagai tindakan yang bertentangan dengan standar moral yang dianut oleh masyarakat. Konsep moralitas sering kali didefinisikan oleh nilai-nilai yang diyakini oleh mayoritas masyarakat, dan tindakan eksibisionisme dianggap tidak sesuai dengan norma-norma moral tersebut. Dalam pandangan ini, eksibisionisme dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai kesopanan dan integritas moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat (Eka, 2023).

Di samping norma moral, eksibisionisme juga dianggap sebagai pelanggaran norma budaya. Setiap masyarakat memiliki norma-norma tertentu yang membentuk identitas budayanya, dan eksibisionisme sering kali tidak sejalan dengan nilai-nilai ini. Norma budaya mencakup pandangan terhadap tubuh, privasi, dan perilaku seksual, dan eksibisionisme sering dipandang sebagai tindakan yang bertentangan dengan ekspektasi budaya terkait. Pandangan kolektif terhadap eksibisionisme menciptakan dinamika kompleks dalam tatanan sosial. Tindakan ini dapat menciptakan ketidaknyamanan, ketegangan, dan perpecahan di antara anggota masyarakat. Perbedaan pandangan mengenai eksibisionisme dapat menyebabkan konflik nilai dan mempengaruhi hubungan sosial di dalam masyarakat (Felani, 2020).

Eksibisionisme tidak hanya memengaruhi individu yang terlibat dalam perilaku eksibisionis, tetapi juga masyarakat yang menjadi saksi atau korban tidak langsung. Ketidaknyamanan sosial muncul ketika orang-orang tanpa persetujuan terlibat secara tidak langsung merasa terganggu, canggung, atau bahkan terancam oleh tindakan tersebut. Selain itu, eksibisionisme dapat merusak tatanan sosial dengan mengganggu norma-norma perilaku yang dianggap pantas dalam masyarakat (Green, 2018).

Masyarakat memiliki harapan tertentu terkait dengan etika dan norma yang harus diikuti oleh individu dalam interaksi sosial, dan ketika tindakan eksibisionisme melanggar norma-norma ini, hal tersebut dapat merusak keharmonisan dan rasa aman dalam tatanan sosial. Dampak ini memunculkan perdebatan etika tentang sejauh mana hak individu harus dihormati dibandingkan dengan kepentingan masyarakat, karena eksibisionisme melibatkan pertanyaan tentang batas-batas hak individu. Konflik nilai dan etika dalam masyarakat juga terjadi, karena nilai-nilai moral dan etika yang dipegang oleh sebagian masyarakat mungkin bertentangan dengan perilaku eksibisionis.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat
Alfanya Pasal Hukum bagi Pelaku Pelecehan Seksual Fetish
Melontarkan Ucapan Berbau Seksual di Muka Umum adalah Bentuk Kekerasan Seksual

Eksibionisme dalam Pandangan Hukum

Hukum memainkan peran penting dalam menanggapi eksibisionisme dengan melibatkan penegakan pasal yang secara khusus dirancang untuk melindungi warga negara dari bentuk pelecehan seksual. Penegakan hukum terhadap eksibisionisme bukan hanya tentang menanggapi tindakan individual, tetapi juga menciptakan kerangka hukum yang khusus untuk menangani pelanggaran tersebut. Pasal-pasal hukum yang berkaitan dengan pelecehan seksual dan perilaku asusila menjadi landasan bagi upaya penegakan hukum terhadap eksibisionisme. Dengan mengatur dan memberikan sanksi terhadap perilaku eksibisionis, hukum menciptakan deterrence yang bertujuan untuk mencegah terjadinya tindakan serupa di masa mendatang.

Penegakan hukum terhadap eksibisionisme bukan hanya sekadar respons terhadap tindakan individu, tetapi juga merupakan upaya untuk menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat secara keseluruhan melalui sistem norma hukum yang jelas dan tegas. Proses penegakan hukum melibatkan penyelidikan, pengumpulan bukti, dan penuntutan oleh aparat penegak hukum, seperti kepolisian dan jaksa (Eka, 2023). Jika terbukti bersalah, pelaku dapat dijatuhi hukuman pidana berupa penjara atau denda sesuai dengan ketentuan yang ada dalam hukum. Sanksi ini bertujuan untuk memberikan efek jera dan melindungi masyarakat dari dampak negatif eksibisionisme.

Di berbagai yurisdiksi, eksibisionisme sering diatur oleh pasal-pasal yang berkaitan dengan pelecehan seksual atau perilaku asusila. Namun, pasal-pasal hukum ini dapat bervariasi antara negara atau wilayah hukum. Di Indonesia, pasal-pasal KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang dapat terkait dengan eksibisionisme, yakni pada pasal 281 KUHP, bahwa “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 tahun dan 8 bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah: 1. Barang siapa dengan sengaja di depan umum merusak kesusilaan, 2. Barang siapa dengan sengaja merusak kesusilaan di depan orang lain yang kehadirannya di situ bukanlah atas kemauannya sendiri”. Perbuatan orang-orang yang dengan sengaja membongkar kesusilaan masyarakat secara tegas dilarang dalam pasal ini.

Berdasarkan argumen pertama artikel ini, dapat dikatakan bahwa eksibisionisme, yaitu menampilkan alat kelamin di depan banyak orang, melanggar kesusilaan publik. Perbuatan yang melanggar kesusilaan di hadapan orang lain yang kehadirannya tidak atas kemauannya dimasukkan dalam butir kedua pasal ini dengan memperluas cakupannya. Ini dapat mencakup situasi di mana seseorang terpaksa menyaksikan tindakan eksibisionisme tanpa persetujuan mereka. Pasal ini menunjukkan komitmen hukum Indonesia dalam melindungi kesusilaan masyarakat dan mencegah tindakan-tindakan yang dapat dianggap sebagai eksibisionisme.

Dalam konteks hak asasi manusia dan privasi, eksibisionisme menghadirkan sebuah dilema yang mencerminkan konflik hak antara kebebasan individu untuk berekspresi dan hak masyarakat untuk melindungi nilai-nilai sosial yang dianggap penting (Hardiman, 2018). Masing-masing dari kita mempunyai hak-hak dasar yang melekat dan merupakan kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk menjunjung dan membelanya. Sebaliknya, setiap orang mempunyai hak yang melekat untuk menjaga kerahasiaan informasi mereka sendiri dan bebas dari akses, pengungkapan, atau perubahan data yang tidak sah.

Pendidikan Seksual untuk Pencegahan Eksibisonisme

Pendidikan seksual memiliki peran krusial dalam upaya pencegahan eksibisionisme. Pemahaman yang lebih baik tentang seksualitas dapat membuka pintu untuk mengurangi ketidaknyamanan dan meningkatkan toleransi dalam masyarakat. Pendidikan seksual bukan hanya tentang memberikan informasi tentang anatomi atau fungsi tubuh, tetapi juga mencakup aspek-aspek psikologis, emosional, dan sosial yang terkait dengan seksualitas manusia. Dengan memberikan pengetahuan yang komprehensif tentang aspek-aspek seksualitas, pendidikan seksual dapat membantu masyarakat untuk memahami dan menerima variasi dalam preferensi dan perilaku seksual. Ini menciptakan landasan pemahaman yang lebih baik tentang kebebasan individu dan hak privasi, yang pada gilirannya dapat membantu mengurangi stigma terhadap topik-topik terkait seksualitas. Selain itu, pendidikan seksual dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang batasan-batasan etika dan norma sosial yang berkaitan dengan ekspresi seksual.

Masyarakat yang teredukasi secara seksual cenderung memiliki perspektif yang lebih terbuka terhadap perbedaan dan lebih mampu menghargai hak individu tanpa merugikan hak-hak orang lain. Pentingnya pendidikan seksual juga terletak pada kemampuannya untuk membentuk sikap yang sehat terhadap tubuh dan seksualitas. Dengan demikian, individu lebih mungkin mengembangkan rasa harga diri yang kuat dan perilaku seksual yang sehat. Ini dapat berperan dalam mengurangi peluang atau keinginan untuk terlibat dalam tindakan eksibisionisme yang mungkin dipicu oleh kurangnya pemahaman atau ketidaknyamanan terkait dengan tubuh dan seksualitas. Dengan merangkul pendidikan seksual yang holistik dan inklusif, masyarakat dapat membangun dasar pengetahuan yang kuat dan sikap yang positif terhadap seksualitas manusia (Diwenia, P., 2022). Pendidikan seksual yang efektif bukan hanya tentang mencegah perilaku yang tidak diinginkan, tetapi juga tentang membentuk individu dan masyarakat yang lebih sadar, responsif, dan terbuka terhadap keragaman dalam segala hal, termasuk ekspresi seksual.

Evaluasi berkelanjutan terhadap kebijakan hukum yang menangani eksibisionisme menegaskan pentingnya keterbukaan terhadap perubahan nilai dan norma masyarakat. Penelitian oleh Adella (2023) membahas kasus eksibisionisme di Bandar Lampung, dengan penekanan pada diperbolehkannya rekaman televisi sirkuit tertutup (CCTV) dalam kasus-kasus yang melibatkan perilaku tidak bermoral atau ilegal.

Dalam satu contoh, pelaku dengan sengaja memperlihatkan dirinya di depan butik, memperlihatkan organ dalamnya kepada banyak wanita di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap variabel-variabel yang menghalangi penggunaan CCTV sebagai alat bukti dalam persidangan, sekaligus menyoroti pentingnya CCTV sebagai alat bukti elektronik. Analisis terhadap peraturan yang mengatur kewenangan hukum CCTV menjadi relevan dalam kerangka pembahasan ini. Mengutip Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, penelitian ini menetapkan bahwa CCTV memiliki bobot hukum sebagai alat bukti yang dapat diterima. Meskipun demikian, wawancara dengan para sumber menunjukkan adanya permasalahan kecil, seperti kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai peraturan perundang-undangan dan implikasinya terhadap pemberitaan atau kesaksian di persidangan dan buruknya kualitas video CCTV, yang menyulitkan aparat penegak hukum untuk melihat dengan jelas.

Penting untuk meninjau secara berkala undang-undang mengenai penggunaan CCTV sebagai bukti. Disarankan agar pemerintah dan kepolisian bekerja sama dalam hal ini untuk memudahkan penggunaan CCTV di wilayah yang rawan kejahatan. Selain itu, salah satu cara untuk menjadikan undang-undang ini lebih berhasil dalam menangani contoh-contoh eksibisionisme dan hal-hal serupa adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya melaporkan tindakan pidana pelanggaran moral dan bersiap untuk memberikan informasi.

Perlindungan terhadap norma sosial merupakan langkah krusial dalam menjaga keseimbangan nilai. Norma-norma ini mencerminkan nilai-nilai masyarakat terkait kesusilaan dan tatanan sosial. Mempertahankan norma sosial yang sehat adalah landasan bagi keberlanjutan tatanan sosial yang harmonis. Pelanggaran terhadap norma-norma tersebut dapat merusak keseimbangan sosial dan menciptakan ketidakstabilan dalam masyarakat. Hak asasi manusia, termasuk hak untuk berekspresi, ialah hak yang harus dijaga dan dihormati. Memastikan bahwa individu memiliki kebebasan untuk berekspresi tanpa adanya ancaman terhadap hak-hak mereka adalah esensial dalam masyarakat yang demokratis dan inklusif. Namun, menemukan titik tengah dalam menangani eksibisionisme menjadi tantangan utama. Proses ini membutuhkan pendekatan yang matang dan komprehensif melalui perancangan kebijakan yang bijaksana, penegakan hukum yang adil, dan pendekatan sosial yang mendukung kesadaran masyarakat. Dengan demikian, eksibisionisme tidak hanya melibatkan aspek hukum, tetapi juga merupakan isu etika dan sosial yang kompleks. Menjaga keseimbangan nilai adalah kunci untuk menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan, sehingga norma sosial tetap terlindungi dan hak individu tetap dihormati tanpa mengorbankan kebebasan atau ketertiban sosial.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//