• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Korelasi Kemiskinan dan Kasus Bunuh Diri

MAHASISWA BERSUARA: Korelasi Kemiskinan dan Kasus Bunuh Diri

Tekanan finansial memicu tindakan tragis bunuh diri atau membunuh orang lain. Membutuhkan perhatian sosial dan pemerintah untuk membentuk lingkungan yang aman.

Ridwan Tri Wibowo

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta

Warga tuna wisma bersama anaknya di atas gerobak melintasi jalanan di Bandung, Jawa Barat, (29/10/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

4 Januari 2024


BandungBergerak.id – Lesotho adalah negara dengan kasus bunuh diri tertinggi di dunia pada 2023. Sekitar 72 orang dari 100.000 orang yang meninggal akibat percobaan bunuh diri. Lesotho memiliki populasi sebanyak 2,1 juta jiwa, dan hampir setengah dari total populasinya terjebak dalam jurang kemiskinan.

Menurut World Health Organization (WHO), setiap detik terdapat satu orang melakukan aksi bunuh diri di seluruh dunia. Angka bunuh diri bahkan lebih parah dibanding jumlah orang yang terbunuh dalam perang. Di setiap tahunnya, aksi bunuh diri berhasil merenggut nyawa lebih dari 800 ribu orang di seluruh dunia. Kasus bunuh diri pun menjadi sorotan serius di berbagai dunia, termasuk Indonesia. 

Rabu, 6 Desember 2023, di Jagakarsa, Jakarta Selatan ditemukan empat anak tewas dibunuh ayahnya di dalam kamar kontrakan. Ayahnya tega melakukan tindakan keji ini karena tidak mampu membayar kontrakan yang sudah menunggak berbulan-bulan. Pelaku sempat mencoba bunuh diri, beruntungnya ia masih dapat diselamatkan. Sebelum membunuh anaknya ia juga melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepadanya istrinya.

Sedangkan di Jawa Timur, Selasa, 12 Desember 2023, seorang guru SD di Desa Saptorenggo, Kecamatan Pakis, Malang bunuh diri bersama istri  dan anaknya. Hutang hingga puluhan juta menjadi pemicu guru tersebut untuk mengakhiri hidupnya. Menurut keterangan polisi guru tersebut berhutang secara perorangan bukan pada aplikasi pinjaman online (pinjol).

Di pulau Sumatera, seorang lelaki paruh baya berinisial bunuh diri dengan  melompat dari area parkir mobil lantai 5 Plaza Medan Fair di Jalan Gatot Subroto, Medan pada Kamis, 21 Desember 2023.  Menurut keterangan adik iparnya, korban diduga nekat melakukan tindakan ini lantaran frustrasi karena banyak utang.

Mengapa kasus-kasus tragis ini terjadi? Apakah faktor-faktor tertentu yang melibatkan persoalan keuangan? 

Baca Juga: Kemiskinan tidak Berbanding Lurus dengan Kemalasan
Pemberdayaan Masyarakat Menjadi Kata Kunci untuk Mengurangi Kemiskinan karena Pandemi
Kemiskinan Mendorong Warga Jawa Barat Meminjam Uang ke Pinjol

Masalah Kemiskinan 

Masalah kemiskinan dapat dipahami dari gambaran tentang kekurangan materi, kebutuhan sosial, dan ketergantungan sosial. Kekurangan materi salah satu ciri utama dari kemiskinan. Masyarakat miskin tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya ekonomi, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka secara layak.

Kekurangan materi juga dapat menyebabkan masyarakat miskin mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sosialnya. Kebutuhan sosial meliputi kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang, penghargaan, dan identitas. Masyarakat miskin sering kali merasa tidak aman, tidak dicintai, tidak dihargai, dan tidak memiliki identitas yang jelas. Hal ini dapat menyebabkan mereka mengalami masalah psikologis dan sosial.

Kekurangan materi juga dapat menyebabkan masyarakat miskin mengalami ketergantungan sosial. Masyarakat miskin sering kali mengandalkan bantuan dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini dapat menyebabkan mereka merasa rendah diri dan tidak memiliki kemandirian.

Masyarakat menjadi miskin bukan hanya karena kekurangan sumber pangan saja tetapi miskin dalam bentuk sandang dan papan. Sandang dan papan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga penting untuk dipenuhi. Masyarakat miskin sering kali tidak memiliki pakaian yang layak dan tempat tinggal yang layak. Hal ini dapat menyebabkan mereka mengalami masalah kesehatan, psikologis, dan sosial.

Condong pada Kelompok Ekonomi yang Dominan

Melansir Kompas, Hendriyo Widi menuliskan bahwa dalam empat tahun terakhir, biaya hidup berumah tangga per bulan naik kisaran Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta.  Kenaikan biaya hidup ini menimbulkan dampak yang negatif bagi masyarakat, terutama bagi kelas pekerja. Kelas pekerja biasanya memiliki penghasilan yang terbatas, sehingga kenaikan biaya hidup ini dapat membuat mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Di negara-negara maju, pemerintahnya mengambil langkah-langkah untuk menekan biaya hidup masyarakatnya. Langkah-langkah tersebut, memberikan subsidi secara besar-besaran dan menaikkan upah minimum. Pemberian subsidi secara besar-besaran dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan pokok dengan harga yang lebih terjangkau. Sedangkan, kenaikan upah minimum dapat meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan lebih baik.

Di Indonesia, peningkatan upah tinggi memiliki kendala dalam Undang-undang Cipta Kerja. Situasi ini mengindikasikan bahwa pemerintah cenderung lebih mengakomodasi kepentingan kelompok ekonomi yang dominan. Jadi, ini mencerminkan pemerintah sering kali membuat kebijakan yang lebih menguntungkan bagi kelompok-kelompok tertentu, dibandingkan dengan kebutuhan rakyat.

Dalam teori konflik, hukum dan pemerintah lebih banyak berpihak pada kaum borjuis. Marx menjelaskan bagaimana borjuis menyempurnakan negara agar sesuai dengan kepentingannya. Kelompok yang memiliki kekayaan dan kekuasaan akan berusaha mempertahankan posisinya dengan mengeksploitasi kelompok yang kurang berdaya.

Dalam konteks persaingan global, Indonesia terlibat dalam perlombaan menekan upah buruh dengan membandingkan standar upah seperti India, Bangladesh, dan Sri Lanka. Meskipun ini dapat menguntungkan perusahaan, namun berpotensi merugikan pekerja.

Kondisi ini mencerminkan dinamika sosial dan ekonomi di mana pemerintah, terkait dengan kebijakan yang ada, cenderung terjebak dalam mendukung kepentingan ekonomi yang dominan. Hal ini berdampak pada keterbatasan upaya untuk meningkatkan upah minimum secara signifikan sesuai kebutuhan hidup layak. Pandangan Marx tentang persaingan antar-kelompok dalam masyarakat untuk mempertahankan kekayaan dan kekuasaan mereka sendiri menjadi relevan dalam situasi di Indonesia saat ini.

Kemiskinan bukan hanya soal kurangnya uang, tapi juga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan. Itu bisa bikin seseorang merasa tidak aman, tidak dihargai, dan tergantung pada bantuan orang lain. Kesenjangan ini dapat memicu rasa frustrasi dan tekanan psikologis yang mendalam, seperti yang tampak pada kasus di Indonesia, di mana masalah hutang yang membebani hingga menimbulkan tindakan tragis seperti bunuh diri atau membunuh orang lain. Situasi ini perlu perhatian bersama dari masyarakat, pemerintah, dan lembaga sosial agar kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi semua orang.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//