• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Dinamika Hukum dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

MAHASISWA BERSUARA: Dinamika Hukum dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Kasus kekerasan seksual di Indonesia masih menjadi problematika yang sangat krusial. Kebanyakan korban masih sulit mendapatkan keadilan.

Laura Michelle Kezia Simonaji

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Sejumlah aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

6 Januari 2024


BandungBergerak.id – Kekerasan seksual sudah bukan menjadi hal asing yang kita dengar. Sudah banyak sekali berbagai macam kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia terutama kekerasan seksual pemerkosaan. Pemerkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual di mana pelaku melakukan pemaksaan terhadap korban untuk melakukan suatu hubungan seksual.

Dalam pandangan hukum, kekerasan seksual pemerkosaan merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang diatur pada Pasal 285 KUHP yang menyatakan bahwa  “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Pemerkosaan merupakan salah satu bentuk tindakan kekerasan seksual yang dapat merugikan dan mengganggu korbannya. Pelaku pemerkosaan pun juga tidak mengenal usia, profesi, gender, status sosial dalam masyarakat.

Pemerkosaan dapat memberikan dampak fisik maupun psikologis bagi korbannya. Secara fisik, korban dapat mengalami luka-luka seperti memar, lecet atau luka sayatan maupun pukulan akibat kekerasan yang diterapkan oleh pelaku. Pemerkosaan juga dapat meningkatkan risiko penularan penyakit menular seksual (PMS) jika korban terinfeksi. Korban pemerkosaan mungkin akan dihadapkan pada keputusan sulit terkait dengan kehamilan, seperti keputusan untuk melanjutkan atau mengakhiri kehamilan. Pemerkosaan juga sangat berdampak pada gangguan kesehatan organ reproduksi wanita, seperti terganggunya siklus menstruasi dan juga cedera pada organ reproduksi.

Sementara itu, dampak psikologis dari korban pemerkosaan sering mengalami gejala PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder di mana bentuk dari gejala PTSD ini seperti mimpi buruk, kecemasan dan ketegangan emosional. Pemerkosaan dapat menyebabkan perasaan sedih yang mendalam, putus asa dan kehilangan minat pada aktivitas yang diminati. Korban pemerkosaan sering kali mengalami persepsi negatif terhadap kesucian diri mereka sendiri sebagai dampak dari pengalaman traumatis yang telah mereka alami sehingga, mereka kekurangan minat untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Penting untuk diingat bahwa setiap korban memiliki reaksi yang berbeda terhadap trauma pemerkosaan yang terjadi pada mereka, sehingga memerlukan penanganan yang tepat dari yang ahli dalam bidang pemulihan seperti Psikolog.

Baca Juga: Kurangnya Perlindungan Hukum Membuat Maraknya Kasus Kekerasan Seksual
Melontarkan Ucapan Berbau Seksual di Muka Umum adalah Bentuk Kekerasan Seksual
UPI Sudah Berani Membuka Data Kasus Kekerasan Seksual, Kampus-kampus Lain Kapan?

Minim Edukasi

Hingga saat ini, edukasi mengenai kekerasan seksual pada masyarakat masih sangat minim. Tak jarang juga korban kekerasan seksual tidak mengetahui bahwa dirinya merupakan korban kekerasan seksual.

Pendidikan tentang kekerasan seksual juga memiliki peran krusial dalam upaya pencegahan terjadinya kekerasan seksual dan juga masyarakat luas. Edukasi dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang menghormati hak asasi manusia dan memahami bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak pantas dan melanggar norma-norma sosial yang ada. Edukasi juga dapat membantu memobilisasi dukungan untuk perubahan hukum dan kebijakan yang lebih baik dalam penanganan kekerasan seksual termasuk peningkatan hukuman bagi pelaku dan peningkatan perlindungan bagi korban.

Di samping itu, terdapat banyak hambatan dan kesulitan juga bagi para korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan. Banyak hal yang menjadi faktor hambatan dalam menangani kasus pemerkosaan seperti proses hukum yang terlalu berlarut, tidak adanya pasal yang mengatur bentuk kekerasan seksual tertentu. Kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar korban juga menjadi dapat menjadi hambatan dalam menangani kasus pemerkosaan. Karena, apabila korban tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitarnya, susah bagi korban sendiri untuk mengungkapkan apa yang terjadi dan akan menjadi hambatan juga untuk diproses oleh pihak yang berwenang.

Kasus kekerasan seksual di Indonesia masih menjadi problematika yang sangat krusial dan belum memiliki kepastian hukum yang kuat terutama dalam pembuktian di proses peradilan. Banyak korban yang sudah menuntut atas hal yang terjadi namun, korban malah dituntut kembali oleh pelaku kekerasan seksual dengan memberikan tuntutan pencemaran nama baik, dan lain tuntutan sebagainya. Dan juga masih ada pihak yang pemahamannya masih kurang terhadap posisi korban sehingga sulit bagi kebanyakan korban untuk mendapatkan keadilan.

Hak Para Korban

Hukum memberikan perlindungan bagi para korban melalui disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sekarang dikenal sebagai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di mana dalam Pasal 70, korban pemerkosaan dan juga korban kekerasan seksual lainnya mendapatkan hak pemulihan. Hak pemulihan yang didapatkan oleh para korban berupa layanan yang dapat diakses oleh para korban yaitu

  1. Rehabilitasi medis
  2. Rehabilitasi mental dan sosial
  3. Pemberdayaan sosial
  4. Restitusi dan/atau kompensasi; dan
  5. Reintregasi sosial

 Dan pada Pasal 70 ayat 3, korban juga mendapatkan pemulihan setelah peradilan berupa,

  1. Pemantaan, pemeriksaan, serta pelayanan kesehatan fisik dan psikologis korban secara berkala dan berkelanjutan;
  2. Penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan korban;
  3. Pendampingan penggunaan restitusi dan/atau kompensasi
  4. Penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen  pendukung lainnya yang dibutuhkan oleh korban
  5. Penyediaan layanan jaminan sosial berupa jaminan kesehatan dan bantuan sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan berdasarkan penilaian tim terpadu
  6. Pemberdayaan ekonomi; dan
  7. Penyediaan kebutuhan lain berdasarkan hasil identifikasi UPTD PPA dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat

 Dari kedua pasal yang telah diatur, dapat dilihat bahwa hukum memberikan hak pemulihan bagi para korban. Hal ini penting untuk memulihkan kondisi psikologis korban dan mengatasi trauma yang terjadi pada korban. Hak pemulihan memberikan perlindungan kepada korban pemerkosaan. Ini mencakup perlindungan fisik, emosional dan psikologis untuk membantu korban pulih dari dampak traumatis kejahatan. Korban pemerkosaan juga mengalami dampak psikologis yang serius. Sehingga, hak pemulihan memberikan akses seperti layanan kesehatan mental, konseling dan juga dukungan emosional untuk membantu mendukung pemulihan psikologis korban.

Pentingnya juga para korban diberikan perlindungan dan penanganan secara intensif juga dapat memberikan mereka validasi untuk diakui sebagai individu yang berharga dan penting. Hal ini dapat membantu korban untuk mengatasi rasa malu atau stigma terhadap korban pemerkosaan dan dengan ini mereka korban menjalankan aktivitas sehari-hari dengan normal dan sejahtera. Dengan adanya hak pemulihan, dapat membantu membentuk sistem keadilan yang responsif, empatik dan peduli terhadap kebutuhan korban kekerasan seksual. Ini merupakan elemen penting dalam menciptakan masyarakat yang aman dan mendukung pemulihan korban.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//